Selamat Datang Pada BLOG SYAFA'AT semoga bermanfaat
Home » » Gratifikasi ; sebuah Cerita.

Gratifikasi ; sebuah Cerita.

Post  24

Gratifikasi ; sebuah Cerita.

Dapat inbox dari seorang teman bahwa di Group sebelah ada yang bikin status dengan seri seperti yang saya tuliskan (seperti simkah saja yang berseri). Dan bagi saya itu bukanlah sebuah masalah, apalagi ditulis oleh “anak anak muda” yang sedang mencari “entah apa”, yang sering salah faham dengan apa yang saya sampaikan yang seolah olah saya memusuhi kelompok “mereka’ dimana dulu saya juga sama seperti mereka. Saya yakin jika nantinya mereaka sudah benar benar agak dewasa akan “mengerti benar” dengan  yang saya maksudkan. Dalam satu kantor sebenarnya mempunyai tujuan yang sama, meskipun dengan kedudukan yang berbeda.
Lain cerita di Facebook, lain pula cerita di “Warung kopi” yang kebetulan pada sebuah malam saya ngopi dipinggir jalan. Kebetulan Si Penjual kopi adalah Tukang foto yang saat saya masih sering menyaksikan pernikahan sering bertemu dengan orang ini. Dan orang ini sering menghubungi saya tentang jadwal pelaksanaan pernikahan dimana dia juga diundang untuk mengabadikan pelaksanaan pernikahan. Rupanya Pak Penghulu dan juru Foto adalah “Orang penting” dalam prosesi pernikahan. Dan saking akrabnya, sering juga acara akad nikah baru saja selesai, Juru Foto baru saja dating. Dan Nggak mungkin Akad nikah diulang gara gara belum di foto, namun kasihan juga jika akan nikah tersebut tidak diabadikan dalam sebuah foto. Dengan menyadari bahwa kita mempunyai “tujuan” yang sama, maka pura pura saja sang manten menanda tangani berkas, dan sang Penghulu berjabat tangan lagi dengan mempelai pria (seperti waktu akad nikah). 
Ternyata si Juru Foto ini mempunyai pada malam hari Usaha Sampingan jualan kopi dan makanan ringan, dan ternyata ramai juga warung kopi ini, apalagi ada fasilitas WIFI dari Kantor Kelurahan secara gratis yang nyampai juga sinyalnya di warung ini, sehingga meskipun warung ini adanya malam hari, karena tempatnya di trotoar, namun nggak kalah ramai dengan yang lain. Dan si Juru foto ini (menurut saya) juga pandai memanfaatkan peluang, bukan hanya warungnya mendapat faslitas wifi gratis, namun juga bekerja “secara kompak” sekeluarga. Sang Istri menggoreng makanan ringan, anaknya yang masih kelas 5 SD juga ikut membantu, meskipun kadang kadang juga sambil baca buku. Dan yang lebih menarik adalah sang pelayan yang juga anak pertamanya yang masih Kepas 10 (1) sekolah disebuah SMA dilingkungan pondok Pesantren.   Mungkin gadis cantik dengan rambut sebahu dengan penampilan menarik (tanpa jilbab) ini yang membuat warung ini (lebih) ramai. Bayangkan ada puluhan anak anak muda ngopi sambil OL gratis disini, denga dilayani anak SMA yang lumayan sedap untuk dipandang.
Lain anak muda lain pula yang dewasa, saya ngalor ngidul membagi cerita dengan siempu penjual kopi yang juga juru foto yang dulu sering bertemu dalam acara akad nikah. Banyak hal yang dibicarakan, dan secangkir kopi hangat yang satu jam nggak habis habis membuat pengobrolan tambah Gayeng, bukan hanya masalah (P)ekerjaan (K)erja (S)ampingan saja yang kita bicarakan. Maklumlah, sekarang memang “banyak” yang kerja sampingan, dan bukan “hanya” si juru foto saja yang boleh kerja sampingan disamping menghadiri ritual akad nikah. (P)ak (K)arto (S)ontoloyo, yang punya jabatan juga boleh “membantu” mencarikan jalan bagi (P)engadaan (K)ebutuhan daging (S)api, sambil “ngelus-2” ayam kampu(s)ng muda yang lagi ngetren.
Lagi enak enaknya kita ngerumpi masalah kerja sampingan, dating “kawan lama” yang juga “mungkin” juga akan ngopi ditempat itu. Dan kitapun semakin “gayeng” untuk terus ngobrol berbagai masalah seputar pekerjaan, sambil sesekali melirik anak sipenjual kopi yang lagi asik melayani para pebeli kopi yang seolah nggak ada surutnya. Saya sih maklum saja dengan keadaan tersebut, memang warung kopi ini “asik” untuk ngobrol kok. (dosa apa nggak ya ngopi disini?).
Obrolanpun ngelantur nggak karuan, maklumlan obrolan diwarung kopi memang tidak dibatasi, sehingga kita bebas ngobrol apa saja, ganti tema apa saja nggak ada larangan. Toh sebenarnya kita dating diwarung kopi ini dengan maksud dan tujuan utama yang sama, yaitu “ngopi” dan menikmati “makanan ringan” yang dihidangkan didepan mata.
Dan ketika obrolan sampai pada masalah pernikahan, kawan lama yang baru dating tersebut terus saja bicara seperti radio yang nggak bisa dihentikan, tidak member kesempatan bagi saya untuk menyela, untuk sekedar memberikan titik maupun koma dari pembiaraannya. Maklumlah baragkali dia barusaja melihat berita di TV tentang gratifikasi pada pelayanan pernikahan yang “dianggap” terlalu mahal tersebut. Bayangkan 1,2 Trilyun dana Pungutan Liar yang diperoleh dari pernikahan. Dan mungkin juga kawan lama tersebut tidak dapat membayangkan berapa uang 1,2 Trilyun tersebut. Lebih mudah membayangkan si penyaji kopi yang ada didepan mata daripada membayangkan uang sebanyak itu yang seumur hidup tidak akan pernah melihatnya.
Kawan lama terus saja berceloteh mengenai hal ini, mengapa harus ada pungungutan liar dalam pelaksanaan pernikahan? Bukankah Penghulu yang PNS itu sudah mendapatkan “gaji yang layak”? bukankah melaksanakan pernikahan dan semua yang berkaitan dengan itu, baik jadi MC, Khutbah nikah, menjadi wakil wali, membaca Doa “sudah menjadi tugasnya”, kalau bukan tugasnya mengapa seorang penghulu harus menguasai kbutbah nikah?, mampu membaca Doa? Dan lain lain? Kalau bukan tugasnya seorang Penghulu juga boleh dijabat oleh seorang perempuan? Toh nanti untuk yang hutbah dan wakil wali  kalau itu kewajiban yang mempunyai hajat bisa mencari orang “yang mampu” untuk melakukannya?
Saya ingin menyela, memberikan tanggapan atas yang disampaikan kawan lama saya ini, namun kawan lama saya ini seperti “mendapatkan baterai baru” dari secangkir kopi yang disuguhkan anak si Juru Foto yang lumayan bagus bodynya, dan terpaksalah saya hanya diam sambil sesekali menikmati secangkir kopi yang semakin lama “semakin pahit”.   
Kawan lama terus saja berceloteh masalah transport pak penghulu seolah olah dia sangat faham semuanya. “bukankah kalau seorang PNS menjalankan tugas diluar kantor sudah dibekali dengan SPPD yag sudah ada anggarannya yang sudah diatur oleh undang undang? Mengapa harus meminta uang Bensin hingga Rp 500.000,- ? untuk apa beli bentin hingga rp 500.000,-?”
Saya ingin komentar. Sebetulnya saya ingin enjalaskan masalah tesebut, atau setidak tidaknya saya ingin bertanya kepada kawan ama saya ini apakah SPPD itu? Sebab sayapun nggak begitu faham dengan mekanisme SPPD dan keuangan dari SPPD dimaksud, dan untuk agar saya nggak kelihatan gugup, saya mencoba minum kopi dalam gelas yang ternyata sudah habis tak tersisa. Kawan lama saya terus saja berceloteh.
Apabila pelaksanaan pernikahan dilakukan di hari libur, diluar jam kerja. Bukankan bagi PNS yang melaksanakan pekerjaan diluar jam kerja dan dihari libur bisa mendapatkan “uang lembur” yang mekanismenya diatur dalam peraturan perundang undangan?, mengapa harus “minta lagi” kepada yang punya rumah dengan dalih sebgai “jasa pelayanan”, “Transport lembur” dan lain lain? Ini adalah GRATIFIKASI, Dengan dalih bahwa tuan rumah rela dan puas dengan layanan yang diberikan? Bukankah ini adalah antarodin yang dipaksakan?
Sekali lagi saya ingin menyela celoteh kawan lama saya ini. Saya ingin menjelaskan permasalahannya, saya ingin ngopi dulu, dan tidak mungkin saya minum kopi pada gelas yang sudah kosong.Post 24

Gratifikasi ; sebuah Cerita.

Dapat inbox dari seorang teman bahwa di Group sebelah ada yang bikin status dengan seri seperti yang saya tuliskan (seperti simkah saja yang berseri). Dan bagi saya itu bukanlah sebuah masalah, apalagi ditulis oleh “anak anak muda” yang sedang mencari “entah apa”, yang sering salah faham dengan apa yang saya sampaikan yang seolah olah saya memusuhi kelompok “mereka’ dimana dulu saya juga sama seperti mereka. Saya yakin jika nantinya mereaka sudah benar benar agak dewasa akan “mengerti benar” dengan yang saya maksudkan. Dalam satu kantor sebenarnya mempunyai tujuan yang sama, meskipun dengan kedudukan yang berbeda.
Lain cerita di Facebook, lain pula cerita di “Warung kopi” yang kebetulan pada sebuah malam saya ngopi dipinggir jalan. Kebetulan Si Penjual kopi adalah Tukang foto yang saat saya masih sering menyaksikan pernikahan sering bertemu dengan orang ini. Dan orang ini sering menghubungi saya tentang jadwal pelaksanaan pernikahan dimana dia juga diundang untuk mengabadikan pelaksanaan pernikahan. Rupanya Pak Penghulu dan juru Foto adalah “Orang penting” dalam prosesi pernikahan. Dan saking akrabnya, sering juga acara akad nikah baru saja selesai, Juru Foto baru saja dating. Dan Nggak mungkin Akad nikah diulang gara gara belum di foto, namun kasihan juga jika akan nikah tersebut tidak diabadikan dalam sebuah foto. Dengan menyadari bahwa kita mempunyai “tujuan” yang sama, maka pura pura saja sang manten menanda tangani berkas, dan sang Penghulu berjabat tangan lagi dengan mempelai pria (seperti waktu akad nikah).
Ternyata si Juru Foto ini mempunyai pada malam hari Usaha Sampingan jualan kopi dan makanan ringan, dan ternyata ramai juga warung kopi ini, apalagi ada fasilitas WIFI dari Kantor Kelurahan secara gratis yang nyampai juga sinyalnya di warung ini, sehingga meskipun warung ini adanya malam hari, karena tempatnya di trotoar, namun nggak kalah ramai dengan yang lain. Dan si Juru foto ini (menurut saya) juga pandai memanfaatkan peluang, bukan hanya warungnya mendapat faslitas wifi gratis, namun juga bekerja “secara kompak” sekeluarga. Sang Istri menggoreng makanan ringan, anaknya yang masih kelas 5 SD juga ikut membantu, meskipun kadang kadang juga sambil baca buku. Dan yang lebih menarik adalah sang pelayan yang juga anak pertamanya yang masih Kepas 10 (1) sekolah disebuah SMA dilingkungan pondok Pesantren. Mungkin gadis cantik dengan rambut sebahu dengan penampilan menarik (tanpa jilbab) ini yang membuat warung ini (lebih) ramai. Bayangkan ada puluhan anak anak muda ngopi sambil OL gratis disini, denga dilayani anak SMA yang lumayan sedap untuk dipandang.
Lain anak muda lain pula yang dewasa, saya ngalor ngidul membagi cerita dengan siempu penjual kopi yang juga juru foto yang dulu sering bertemu dalam acara akad nikah. Banyak hal yang dibicarakan, dan secangkir kopi hangat yang satu jam nggak habis habis membuat pengobrolan tambah Gayeng, bukan hanya masalah (P)ekerjaan (K)erja (S)ampingan saja yang kita bicarakan. Maklumlah, sekarang memang “banyak” yang kerja sampingan, dan bukan “hanya” si juru foto saja yang boleh kerja sampingan disamping menghadiri ritual akad nikah. (P)ak (K)arto (S)ontoloyo, yang punya jabatan juga boleh “membantu” mencarikan jalan bagi (P)engadaan (K)ebutuhan daging (S)api, sambil “ngelus-2” ayam kampu(s)ng muda yang lagi ngetren.
Lagi enak enaknya kita ngerumpi masalah kerja sampingan, dating “kawan lama” yang juga “mungkin” juga akan ngopi ditempat itu. Dan kitapun semakin “gayeng” untuk terus ngobrol berbagai masalah seputar pekerjaan, sambil sesekali melirik anak sipenjual kopi yang lagi asik melayani para pebeli kopi yang seolah nggak ada surutnya. Saya sih maklum saja dengan keadaan tersebut, memang warung kopi ini “asik” untuk ngobrol kok. (dosa apa nggak ya ngopi disini?).
Obrolanpun ngelantur nggak karuan, maklumlan obrolan diwarung kopi memang tidak dibatasi, sehingga kita bebas ngobrol apa saja, ganti tema apa saja nggak ada larangan. Toh sebenarnya kita dating diwarung kopi ini dengan maksud dan tujuan utama yang sama, yaitu “ngopi” dan menikmati “makanan ringan” yang dihidangkan didepan mata.
Dan ketika obrolan sampai pada masalah pernikahan, kawan lama yang baru dating tersebut terus saja bicara seperti radio yang nggak bisa dihentikan, tidak member kesempatan bagi saya untuk menyela, untuk sekedar memberikan titik maupun koma dari pembiaraannya. Maklumlah baragkali dia barusaja melihat berita di TV tentang gratifikasi pada pelayanan pernikahan yang “dianggap” terlalu mahal tersebut. Bayangkan 1,2 Trilyun dana Pungutan Liar yang diperoleh dari pernikahan. Dan mungkin juga kawan lama tersebut tidak dapat membayangkan berapa uang 1,2 Trilyun tersebut. Lebih mudah membayangkan si penyaji kopi yang ada didepan mata daripada membayangkan uang sebanyak itu yang seumur hidup tidak akan pernah melihatnya.
Kawan lama terus saja berceloteh mengenai hal ini, mengapa harus ada pungungutan liar dalam pelaksanaan pernikahan? Bukankah Penghulu yang PNS itu sudah mendapatkan “gaji yang layak”? bukankah melaksanakan pernikahan dan semua yang berkaitan dengan itu, baik jadi MC, Khutbah nikah, menjadi wakil wali, membaca Doa “sudah menjadi tugasnya”, kalau bukan tugasnya mengapa seorang penghulu harus menguasai kbutbah nikah?, mampu membaca Doa? Dan lain lain? Kalau bukan tugasnya seorang Penghulu juga boleh dijabat oleh seorang perempuan? Toh nanti untuk yang hutbah dan wakil wali kalau itu kewajiban yang mempunyai hajat bisa mencari orang “yang mampu” untuk melakukannya?
Saya ingin menyela, memberikan tanggapan atas yang disampaikan kawan lama saya ini, namun kawan lama saya ini seperti “mendapatkan baterai baru” dari secangkir kopi yang disuguhkan anak si Juru Foto yang lumayan bagus bodynya, dan terpaksalah saya hanya diam sambil sesekali menikmati secangkir kopi yang semakin lama “semakin pahit”.
Kawan lama terus saja berceloteh masalah transport pak penghulu seolah olah dia sangat faham semuanya. “bukankah kalau seorang PNS menjalankan tugas diluar kantor sudah dibekali dengan SPPD yag sudah ada anggarannya yang sudah diatur oleh undang undang? Mengapa harus meminta uang Bensin hingga Rp 500.000,- ? untuk apa beli bentin hingga rp 500.000,-?”
Saya ingin komentar. Sebetulnya saya ingin enjalaskan masalah tesebut, atau setidak tidaknya saya ingin bertanya kepada kawan ama saya ini apakah SPPD itu? Sebab sayapun nggak begitu faham dengan mekanisme SPPD dan keuangan dari SPPD dimaksud, dan untuk agar saya nggak kelihatan gugup, saya mencoba minum kopi dalam gelas yang ternyata sudah habis tak tersisa. Kawan lama saya terus saja berceloteh.
Apabila pelaksanaan pernikahan dilakukan di hari libur, diluar jam kerja. Bukankan bagi PNS yang melaksanakan pekerjaan diluar jam kerja dan dihari libur bisa mendapatkan “uang lembur” yang mekanismenya diatur dalam peraturan perundang undangan?, mengapa harus “minta lagi” kepada yang punya rumah dengan dalih sebgai “jasa pelayanan”, “Transport lembur” dan lain lain? Ini adalah GRATIFIKASI, Dengan dalih bahwa tuan rumah rela dan puas dengan layanan yang diberikan? Bukankah ini adalah antarodin yang dipaksakan?
Sekali lagi saya ingin menyela celoteh kawan lama saya ini. Saya ingin menjelaskan permasalahannya, saya ingin ngopi dulu, dan tidak mungkin saya minum kopi pada gelas yang sudah kosong.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

No comments:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2013. Blog Syafa'at - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger