Revolusi
Mental
(Hari
Kelima)
Saya
terkejut ketika Nomor WA saya du blokir oleh perempuan tersebut. Saya tidak
menyangka bahwa apa yang saya lakukan berdapak demikiaan, mungkin dia yang
sangat sensitive, atau saya yang tidak dapat melakukan komunikasi efektif
dengannya.. kaarena sya yakin bahwa apa yang saya lakukan tidak sewperti yang
dipikirkannya.
Pada
hari kelima kami diajak untuk simulasi tentang disiploin pegawai dan pelayanan
prima, dan kebetulan peremouan tersebut satu kelompok denganku. Bisa dibayangkan
bagaimana hubungan kami setelah perempuan tersebut mengirimkan WA bernada Pedas
tidak seperti “sego tempong” sebelum memblokirnya. Pastinya team kami bukanlah
team yang solid untuk melakukan simukasi tersebu, karena sebuah team tidak akan
berjalan dengan efektif jika dalam team tersebut terdapat “perrmusuhan”
Sebelumnya
kami mengadakan diskusi ringan mengenai disiplin pegawai yang saat ini “diatur
oleh mesin”., dimana mesin tersebut tidak mau kompromi karena sebuah mesin
tidak dapat berfikir sendiri kecuali menjalankan program yang dimasukkannya.
Tidan fleksibel sebagaimana manusia yang mempunyai :kepentingan” yang berbeda
beda. Seperti absensi dimana jika kita datang terlamnat maka otomatis mesin
membaca kita telat, dan jika kita harus pulang lambat karena menyelesaikan
pekkerjaaan, tidak dapat menggantikannya, dan tetap saja dihitung pulang tepat
waktu sebagaimana biasa.
Ada
beberapa pendapat dalam diskusi tersebut, seperti ketika pegawai yang melakukan
absensi elektronik namun tidak langsung menjalankan aktifitas di kantor, namun
harus menyelesaikan “kegiatan” pribadinya. Bahkan ada seorang yang sedang
sakit, tidak dapat menjalankan aktifitas pekerjaannya, “ditolong” oleh rekannya
(yang entah bagaimana caranya) sehingga presensinya tetap utuh dianggap masuk
kerja, karena kasihan dan berharap tunjangan yang diterima dari orang yang
sakit tersebut dapat digunakan untuk keperluannya.
Sepintas
saya mengganggap yag dapat “menolong” presensi tersebut adalah orang yang
peduli dengan nasib rekannya, namun setelah saya renungkan sejenak, saya
berfikir, apakah yang dilakukannya tersebut benar benar ras peduli dan benar
benar dapat menolongnya ? apakan sikap tersebut dapat dibenarkan menurut
atuiran dan agama ??? apakah tidak lebih arif jika pada kasus demikian kita
kembalikan sesuai peraturan yang berlaku, dan sebagai rasa peduli kita
terhadapnya, kita dapat iuran untuk meringankan beban hidupnya ??.
Ternyata
sangat sulit bagi kita untuk benar benar mau menerima atas rizki yang kita
terima, seringkali kita menggunakan rumus rumus matematika apa adanya untuk
menghitung rizki yang kita terima. Kita sering lupa bahwa semakin kecil angka
pembagian maka semakin besar nilai yang akan kita dapatkan. Kkta hanya berfikir
bahwa semakin besar angka penambahan yang dapat kita masukkan akan bernilai
lebih besar.
Saya
menatap wajah perempuan cantik dengan lipstik seimbang tersebut, meski dia
masih menyumbangkan senyumnya, namun saya merasakan tidak semanis sebelumnya,.
Dan saya merasa bahwa untuk memperbaiki sebuah hubungan ini, tidak semudah
ketika kita menjalin huibungan pertemsanan sebelumnya. Sebuah hubungan
seringkali rusak gara gara ucapan atau tigkah laku yang “mungkin” dianggap
sepele bagi kita namun masalah besar bagi lainnya.
No comments:
Post a Comment