Seribu Kisah Dalam Secangkir Kopi
Beliau
sudah tidak dapat dikatakan muda,, usianya mungkin sepantaran bapak saya, namun
tenaganya sungguh luar biasa, Malam itu saya diseduhkan kopi oleh beliaunya,
ketika saya berkunjung ke kamarnya. Saya lupa telah berapa kali saya berkunjung
ke kamarnya. Kopi yang diseduh memang biasa saja,kopi sachet yang dibagikan
hotel kepada para penghuninya. Sachetnya kecil, kira kira separuh dari kopi
yang biasa di jual di Indonesia, namun pahit kopinya dan rasanya sangatlah
berbeda. Aroma kopi yang sedap menggoda melupakan keikhlasan gula yang tidak
disebut namanya sebagai pemanisnya, atau air hangat yang mengakibatkan kopi
tersebut terseduh dengan sempurna. Saya selalu menghabiskan kopi yang diseduh
sendiri oleh beliaunya, hal yang rasanya tidak mungkin dilakukan dikediamannya
ditanah air, dan mungkin saya termasuk salah satu orang yang sangat istimewa,
karena diseduhkan kopi oleh salah satu pengasuh pondok pesantren terbesar di
Banyuwangi yang juga ketua KBIH pesantren tersebut.
Saya
pertama bertemu beliau saat Manasik Haji tingkat Kabupaten. Mungkin karena nama
Abah beliau sebagai pendiri Pondok Pesanter Darussalam yang sama dengn nama
saya yang membuak kami mudah akrab, kakek saya Pengagum Pendiri Pesantren di
Blokagung ini dan menamakan saya sebagai cucunya dengan nama yang sama dengan pendiri
pondoik tersebut. Dan mungkin doanya juga sehingga saya bisa berangkat ke tanah
suci bersama KH Hasyim Syafaat selaku Ketua KBIH Darus salam. Memang ada
pepatah yang berbunyi apalah arti sebuah nama, namun bagi saya Nama adalah
sebuar arti. Nama adalah rangkaian dari doa yang disematkan dalam diri kita.
Beberapa
kali saya menyempatkan berkunjung ke kamar para ketua KBIH, bagi saya menjadi
Ketua Kloter bukan sekedar mengemban tugas negara, namun kesempatan untuk
menimba pengalaman dari para Ketua KBIH yang sudah sering mengantarkan
jamaahnya ke tanah suci. Obrolan kecil yang kami lakukan sangat bermanfaat
untuk menjaga tali silaturahim dan saling memahami watak kita masing masing.
Ada empat KBIH yang bergabung di kloter kami, dan jamaah non KBIH pun juga
sudah terorganisir dengan baik. Dan secara bergantian saya ke kamar beliaunya
sekedar ngopi bersama, sekedar saling berbagi.
Sebagai
kloter terahir di Kabupaten Banyuwangi, untuk mencukupi jumlah satu kloter
harus ditambah dengan jamaah dari Surabaya sebagai daerah penyangga, dan
kebetulan ada satu KBIH untuh yang bergabung bersama kami. Itupun masih
ditambah beberapa jamaah titipan dari kloter sebelumnya yang tertunda bernngkat
karena sakit, menggantikan posisi jamaah kami yag juga tertunda dan harus
dirawat di RS Haji karena sakit. Sebuah tugas yang berat karena harus
mengorganisir jamaah dari berbagai macam latar belakang daerah, terlebih ada
beberapa jamaah titipan yang tidak dapat berbahasa Indonesia sama sekali,
sehingga dalam keseharian harus saya campurkaan dengan jamaah dengan suku yang
sama. Bisa dibayangkan bagaimana jika jamaah tersebut bercampur dengan jamaah
yang tidak diketaahui apa yang dikatakannya, mereka akan terasa asing di negeri
asing.
Lebih
cepat mengenal jamaah yanng berasal dari satu wilayah, karena disetiap
kesempatan manasik Tingkat Kecamatan, kami berusaha untuk selalu hadir, namun
untuk jamaah dari surabaya, kami baru bertemu saat berada di Embarkasi, saya
masih ingat betul bagaimana Abah Anis, ketua KBIH dari Surabaya tersebut sempat
beradu argumen dengan petugas PPIH embarkasi, dan masalah selesai setelah saya
mengambil alih permasalahan. Mungkin bagi yang belum mengenal watak dan
kebiasaan orang Surabaya, aqgak terkejut dengan kepribadian beliau yang sedikit
berbeda dengan orang Banyuwangi, namun setelah beberapa lama kami ngopi bersama
dihalaman embarkasi saya merasakan bahwa beliau orang yang berpengalaman dan
enak diajak diskusi. Beberapa kali saya ngopi di Kamar beliau baik di Makkah
maupun di Madinah. 72 orang anggota KBIH nya dan beberapa jamaah Banyuwangi
hingga berjumlah 100 orang berada di hotel yang berbeda dengan tempat kami
menginap, yang berjarak sekitar 100 meter yang dipisahkan dengan jalanan
simpang enam.
Setelah
ngopi bersama beliaulah saya berani komunikasi dengan orang orang Arab
menggunakan Bahasa Arab pasaran dengan kosa kata yang sedikit masih saya ingat
ketika di Madrasah. Untungnya yang paling bbanyak kita komunikasikan dengan
para sopir taksi dan pedagang tidak lenih dari bahasa sehari hari dan yang
berkaitan dengan angka angka karena menawar harga. Dan bagi orang KUA yang
sehari hari berkaitan dengan akad nikah memang harus hafal betul dengan
hitungan dalam bahasa arab, karena hampir semua maskawin dari mempelai adalah
uang yanng kadangkala menggunakan uang dengan bilangan yang rumit. Apalagi
bahasa arab yang dipakai adalah bahasa arab pasaran yang terlepas dari tatanan
tata bahasa.
Pernah
suatu ketika KH Syaifudin Zukri kietua KBIH yang juga Pebbgasuh Pondok
Pesantren Bustanul Makmur butuh perawatan ke KKHI hingga RSAS, kebetulan saya
ada kegiatan yang tidak dapat ditinggalkan, sehingga beliau berangkat bersama
dokter klorer dn Ketua Regu yang juga santri beliau. Bersyukur P kiai tidak
jadi rawat inap di RSAS, karena ketua regu tidak berani berkomunikasi dengan
berbahasa arab, bisa dibayangkan bagaimana jika pak kiai dirawat di RSAS,
bagaimana dokter klorter dan Ketua Regu kembali ke hotel naik taksi, sedangkan
mereka karena tergesa lupa membawa kartu hotel yang bisa ditunjukan ke sopir
taksinsaat mau kembali. Bersyukur karena Ketua KBIH ini tidak dirawat di RSAS,
saya beberapa kali berkunjung ke kamarnya, disamping bersilaturahmi juga ingin
mengetahui perkembangan kesehatannya. Saat di tanah air sebelum beraangkat saya
sempat bersilaturahim ke pesantrennya, namun beliau berhalangan menemui karena
sakit, dan membaik mendekati keberangkatannya melaksanakan Ibadah haji.
No comments:
Post a Comment