Mobat Mabit di Mina
Ahir dari Armina adalah melontar Small, Midke
and Big jamarat, sebuah istilah yang seakan asing bagi jamaah haji Indonesia, dalam
pembinaan Manasik Haji juga jaranng atau bahkan tidak disunggung dengan istilah
tersebut, karena yang selama ini dikenal adalah Jumroh Ula Wustho Aqobah. Namun itulah realitasnya,
saya sendiri juga kurang memahami mengapa simbol peperangan abadi dengan setan
dan nafsu pada diri sendiri tersebut diganti dengan Basaha Inggris dengan
tulisan besar pada dinding yang berdekatan dengan tugu dimana dulu Nabi Ibrahim
diganggu syetan saat akan melaksanakan perintah Tuhannya untuk menyembelih
putranya tersebut.
Serangkaian ritual Ibadah Haji yang
mengharuskan mabid di Mina dengan fakta bahwa banyaknya jamaah haji
mengakibatkan pengembangan tenda atau camp Mina hingga keluar dari Mina hingga
kewilayah Muzdalifah yang jarak tempuh ke Jamarat hingga hampir sepuluh
kilometer, menimbulkan ide ide menarik dari jamaah haji yang mendapatkan tenda
atau camp di Muzdalifah. Jamaah menghitung secara cermat bahwa jarak dari
tebnda mina di muzdalifah menuju jamarat lebih jauh dibandinbgkan dengan jarak
antaha Hotel ke Jamarat. Para jamaah tersebut sebagian memilih melanjutkan
perjalanan ke hotel setelah melontar jumroh aqobah / Big Jamarat pada tanggal
10 Dzulhijah. Hal ini dianggap lebih aman oleh para jamaah untuk beristirahat
dengan nyaman dibandingkan dengan kembali dan menginap di tenda mina yang
berdesakan, beberapa jamaah disamping istirahat dio hotel juga tidak sedikit
yang melanjutkan Thawaf Ifadah.
Kaharusan Mabid di Mina melahirkan
langkah cerdik dari jamaah haji tersebut agar tetap nyaman di Hotel terapi
masih dapat mabid di Mina, dimana para jamaah tersebut kembali ke jamarat yang
terletak di Mina dan bebeeapa saat bermalam dan tidur di jalanan atau tempat
parkir atau tempat tempat lain yang dapat dijadikan tidur di mina yang dekat
dengan jamarat. Hal ini menimbulkan sedikit kesemrawutan di wilayah tersebut
hingga laskar keamanan Saudi Arabia mengusir jamaah yang mabid ilegal tersebut,
begitu juga dengan beberapa jamaah yang berangkat ke jamarat mendekati tengah
malam, untuk kemudian berdiam di Mina disekitar Jamarat dan setelah lewat
tengah malam kembali melontar Jumroh. Sehingga sekali jalan bisa melontar dua
kali pada hari yang berbeda.
Meskipun mobat mabit menghindari obrakan
laskar tentara seperti pedagang kaki lima yang berpindah pindah saat diobrak
Satpol PP, tidak menyebabkan ciut nyali dari jamaah haji untuk melakukannya,
meski juga sebelum pelaksanaan Armina jjuga sudah ada sosialisasi dari
Muassasah bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan dan akan dikenakan sanksi. Meskipun
menggunakan tahun Hijriyah dalam pelaksanaan Ibadah Haji, namun disaudi Arabiya
pergantian hari juga dimulai setelah jam 12 malam sebagaimana tahun Masehi,
tidak seperti keyakinan orang jawa yang mengganggap pergantian hari menurut
penanggalan qomariyah ( berdasarkan lamanya bulan mengitari bumi ) yang
menganggap pergantian hari dimulai masuknya waktu sholat ashar, dan ada yang
menggunakan panduan setelah masuknya waktu sholat maghrib.
Saya jadi berfikir, Ide para jamaah yang langsung ke Hotel setelah
melontar Jumroh Aqobah atau Big Jamarat dihari pertama melontar jumroh.ini,
mengapa jika dengan alasan pengembangan mina diperbolehkan membuat camp atau tenda
di Muzdalifah, dengan alasan yang sama mengapa belum diperbolehkan mabid di
sysyah dan Raudhoh, dimana sudah tersedia tenda tenda negah dan permanen (
hotel ) untuk tempat yang nyaman dan aman untuk mabid ??? Ah itu hanya angan
angan saya saja.
Para jamaah yang melakukan nafar tsani
juga agak cerdik saat melontar jamarat terahir. Dimana mereka pada pagi hari
pulang dari mina jadid ( istilah pengembangan camp mina yang terletak di
muzdalifah ) nenuju ke hotel untuk istirahat dan kemudian melakukan ritual
melontar jumrah pada sore harinya, dan para ibu banyak yang belanja ke mal mall
di sepanjang jalan sebelum pulang ke hotel.
No comments:
Post a Comment