Mengejar dokter Idha
Sekilas
dia tidak nampak seperti dokter, pembawaannya yang kalem dan wajah yang
standard tidak nengurangi daya tarik bagi siapapun yang memandangnya. Ditambah
dengan pembawaannya yang cepat akrab dengan siapapun. Saya tahu bahwa team kami
berubah baru beberapa hari sebelum keberangkatan. Dokter muda berkacamata yang
sehari hari bertugas di Puskesmas ini nampak seger dan tangguh. Saya bersyukur
bisa satu team dengannya. Sepuluh hari bersama dalam pelatihan integrasi di
Asrama haji juga tidak membuat saya mengenal wajahnya, karena saat itu dia
belum menjadi team saya.
Sore
itu saya berjanji mengantar Ibu Salma yang terkena penyakit tumor kandungan
untuk Thowaf dan Sai, setelah beberapa hari harus tertunda. Maklumlah 445
jamaah yang harus kami jaga sangat beragam, apalagi banyak yang sudah tua dan
butuh perhatian khusus. Saya menghubungi Ustad Choironi yang dipercaya sebagai
Top Leader kloter 32 SUB. Dan kita sepakat bertemu di pintu Marwah, sebuah pintu keluar masuk Masjidil Haram yang
terletak di bukit Marwah. Ibu Salma adalah Jamaah titipan yang tertunda
keberangkatannya karena saat di Embarkasi dia sakit sehingga tidak dapat
berangkat bersama kloternya, dan baru sampai makkah dia bisa bergabung kembali
ke kloter asal.
Saya
akan membawa B Salma ke Masjidil Haram. Saya ingin Ibu Salma dapat Umroh,
sebuah Ibadah yang sudah di cita citakan sejak lama, dia mendaftar ketika
badannya masih segar, dan kebetulan dia di berangkatkan ketika Tuhan mengujinya
dengan penyakit yang dialaminya. Dia pasrah, dia rela jika harus berpulang
disini. Ditanah kelahiran para Nabi. Di tempat paling mustajabah dimana banyak
orang bermimpi dijemput malaikat Israil dengan cara yang paling indah.
Saya
menyadari bahwa membawa Ibu Salma dengan Kursi Roda dengan kondisi seperti ini
amat beresiko, meski beliau sadar dengan resiko tersebut, meski keluarganya
rela dengan kepergiannya. Namun saya tetap harus melalui prosedur. Ibu Salma
harus didampingi team medis, sehingga saya membawa Ibu Salna dengan didampingi
dokter kloter yang cantik meski hidungnya minimaalis. Terlebih pengurus KBIH
yanng ada di Indonesia mempercayakannya kepada kami untuk menuntaskan umroh
wajib sebelum dikembalikan ke kloternya.
Saya
berangkat ke haram diiringi doa dalam hati yang tak henti hentinya. Kulihat
dokter Idha tersenyum penuh makna, saya hanya ingin pastikan bahwa senyumnya
bukan untuk menutupi rasa khawatir seperti yang saya pikirkan. Bis sholawat
berhenti saat adzan berkumandang. Sang sopirpun berhenti untuk nenunaikan
sholat, sedangkan kami sebagai penumpang harus menunggu di dalam bus. Kami
melihat sopir bus berwudlu hanya dengan sebotol air untuk sekali wudlu, seperti
orang yang hanya meembahasi bagian bagian wudlu saja, untuk kemudian dia
menunaikan sholat ditrotoar.
Bakda
Isya bus hampir memasuki termibal Syir Amir dekat Bukit Marwah, saya agak kaget
ketika bus tidak boleh masuk terminal yang sedang padat nerayap mengantar
jamaah pulang ke pemondokan setelah Sholat Isya. Kamipun diturunkan dipintu
masuk terminal, dan cukup jauh kami harus mendorong Ibu Salma untuk sampai ke
Pintu Marwah. Kulihat dokter Idha nampak semangat mengantar B Salma. bersyukur
saya menpunyai team yang solit. Sehingga semua masalah akan terasa ringan. Perjalanan
ke Masjidil haram tidak membosankan. Sampai terminal Sib Amir saya ketempat
yang tinggi, menaiki tugu kecil pembatas kendaraan, tempat dimana kemarin saya
juga berdiri disitu agar bisa terlihat oleh jamaah yang baru pertama kami ke
Masjidil haram., kamipun dapat bertemu dengan rombongan Ustad Choironi, untuk bersama
sama menghantarka Ibu Salna Thowah dan Sai.
Satu setengah jam Thowaf
dan Saipun usai, Ustad Choironi menginginkan Ibu Salma ikut dengannya. Namun
dengan berbagai pertimbangan, kami belum mengizinkannya, kamipun beranhak ke
terminal.
Di
terminal masih ranai jamaah, saya naik bus dari arah depan, berharap dapat membantu Ibu Salma bauk Bus dari pintu
tengah. Namun rencana saya beda dengan rencana sopir bus yang sepertinya orang
Afrika, saya mengira ngira saja karena sopir itu berkulit hitam, meski tidak
semua yang berkulit hitam adalah orang Afrika. Di Indonesia pun banyak suku
yang berkulit hitam dan berambut keriting.
Pintu
bus ditutup dan sang sopir melajukan kendaraannya, sementara B Salma dan dokter
Idha masih diluar bus, saya teriak kepada sopir agar bus berhenti. Namun sopir
lebih takut kepada polisi daripada kepada petugas haji. Teriakanku nyaris tak
berguna, hanya menghabiskan jatah suara saja. Bus berhenti diluar terminal dan
nembukakan pintu otomatis, dan sayapun turun dari bus seperti pedagang asongan
yang selesai menjahakan dagangannya.
Saya
berjalan kembali ke terminal, terngiang bagaimana pikiran dokter Idha yang saya
tinggal di terminal bersama B Salna dan Ustad Choironi. Dari Jaih Jam Tower
terlihat Indah di malam hari. Dan sayapun mengeluarkan android untuk
mengabadikan pemandangan langka tersebut.pemandangan yang hanya ada di Masjidil
haram dan pada posisi tertentu saja. Andoidpun sudah keluar dari sarang, dan
siap untuk berselfi ria. Namun harus berhenti sebelum menjalankan aksinya karena
Ustad Choironi mengirimkan berita bahwa dokter Idha dan B Salma sudah berada
diatas bus. Sayapun berlari ke terminal seperti saat sai di lampu hijau. Dengan
meninggalkan monent selfi yang nyaris dikakukan. Ustad Choironi mengirimkan
nomor bus dimana dokter cantik berkaca nata itu naik bus yang akan melaju. Dan
benar juga, sesampai di terminal yang penuh sesak itu bus yang menbawa dokter
Idha dan B Salma yang sudah lega melaksanakan Thowaf, Sai dan Cukur ada dalam
Bus yang melaju. Saya dan ustad Choironi mengejar bus yang mulai melaju, dengan
tenaga seadanya, dengan sumpah serapah dalam hati yang nggak mungkin
dikeluarkan, karena kami sedang haji dimana tidak boleh mengucapkan sumpah
serapah, sehingga yang keluar dari mulut kami hanya dzikir dan istighfar sambil
mengejar bus yang melaju.
Dan
pada ahirnya buspun berhenti tanpa harus menunggu nafas kami berhenti, hasil
perjuanganpun tidak sia sia ketika saya berhasil naik kedalam bus dengan gaya
kenek bus atau kondektur di Indonesia, capek karena berlarian seakan sirna ,terlebih
nelihat senyum dokter Idha.
No comments:
Post a Comment