Cinta
tak butuh kata
Saya mendapat laporan bahwa satu jamaah tidak ada di Tenda ( camp ) saat di Mina
beliau adalah kakek tua yang tidak banyak bicara. Saya sangat mengenalnya
karena beberapa kali saya harus mengurus kakek
ini sejak di embarkasi surabaya. Dia berangkat dengan istrinya yang juga sudah
tua, lumpuh dan harus memakai kursi roda, keberangkatannya ke tanah sucipun
harus terpisah kloter karena kakek tua ini harus dirawat di Rumah Sakit Haji
karena kondisi kesehatan yang tidak mungkin untuk diterbangkan. Saya sempat
menjenguk beliau di RS Haji, sekedar untuk berpamitan kalau istrinya sebentar
lagi akan terbang ke Madinah bersama rombonganku, kakek ini begitu tenang
mengizinkan isterinya berangkat duluan, saya sampaikan kepadanya bahwa Insyaallah
kita akan bertemu di Makkah, dan saya berjanji akan menjaga isterinya sebaik
baiknya.
Ketika di kota Madinah saat kakek ini datang pada kloter terahir
gelombang pertama, waktu itu hampir tengah malam, sang nenek ingin dipertemukan
dengan suaminya, mungkin rasa kangen yang menghimpit tak memperdulikan waktu
hanya ingin bertemu dengan orang yang sudah puluhan tahun hidup bersamanya,
menikmati surga kecil dalam rumahnya saya meng iyakan, meski tubuh yang capai
dan mata yang wajib menahan kantuk, kami hantarkan nenek ini menemui suaminya, Saya
bersama Ketua KBIH yang juga pengasuh Pondok Pesantren terbesar di Banyuwangi
dan Ketua Kloter yang mendorong nenek ini dengan kursi rodanya menyusuri
halaman Masjid Nabawi meski hampir 1 kilometer jauhnya. Saya tidak tahu apa
yang berkecamuk didalam hatinya, hendak bertemu dengan lelaki yang paling
dicintainya, mungkin sama dengan perasaanku dulu saat ingin bertemu dengan
perempuan yang aku cintai, bukankah manusia mempunyai perasaan yang sama ??.
Ahirnya Mereka bertemu di Kamar Petugas Kloter untuk
beberapa saat, tanpa. Ada cipika cipiki, tanpa peluk mesra bahkan nyaris tanpa
kata kata. Meskipun saya yakin ada getar getar yang
memautkan hati mereka, sayapun tidak tahu apa yang harus saya sampaikan kepada
mereka. Kami diruangan itu hanya terdiam dengan perasaan dan pikiran masing
masing, tidak sampai satu jam kemudian
kembali ke penginapan
kami.
Ketika di Makkah saat sang suami yang berangkat ke Makkah 4 hari
setelah kami berada di kota Makkah, saya menjemput kakek ini di Mahbas Jin yang
jaraknya sekitar 2 km dari hotel kami. Saya berangkat jalan kaki karena tidak
ada biaya untuk naik taksi. Bus sholawatpun belum saya ketahui harus kemana,
saya hanya mengandalkan google Maps dan filling bahwa saya bisa menemukannya,
saya hanya yakin bahwa jika kita berniat memudahkan urusan orang lainb, maka
urusan kita juga akan dimudahkan-Nya. Meski
pulangnya saya naik taksi karena terlalu menyiksa jika saya mengajak kakek tua
ini jalan kaki dengan membawa tas kopor menuju hotel kami.
Ketika di Tenda ( camp ) Mina kakek ini hilang, saya tidak
mencarinya, karena mencari yang tidak
pasti adalah tindakan sia sia, dan saya yakin tersesatpun tidak ajan terlalu jauh,
karena camp Mina diberi pagar pembatas, sehingga jamaah tidak dapat keluar jika
bukan pada jam keluar. Namun sesuatu yang tidak mungkin terjadi bisa terjadi
ketika salah satu petugas kloter yang pulang dari jamarat menemukan
kakek tua ini di terminal dan bermaksud pulang ke desanya. Kamipun
lega karena kakek tua ini kembali ke tenda, sehingga kami bisa istirahat dengan
tenang dalam tidur diatas permadani yang panas karena banyaknya jamaah seperti
ikan pindang yang ditata dan berjajar rapi. Kami harus rela berbagi, bahkan beberapa jamaah juga
hrus rela tidur beratap langit di gang gang diantara tenda.
Ketia terbangun Kamipun terkejut ketika bangun dari tidur. Kakek tua itu tidak ada
dalam tenda, kami cari disekitar tenda juga tidak ada, sehingga kami biarkan
semua berlalu. Biarlah kami
menunggu angin yang akan mengabarkan dimana kakek tua itu berada. Kami harus
terap di tenda, beberapa orang jamaah tua butuh perhatian ekstra. Team medis
seakan tak boleh beristirahat meski untuk sementara. Ketika saya sedang berada di Tenda maktab,
Ada kabar bahwa asa kakek tua di (tenda ) camp
Medan
dan tidak tahu bahasa Indonesia ketika diajak bicara, dia hanya bisa berbahasa Jawa, sehingga
Jamaah Orang Medan tidak tahu harus dibawa kemana Orang ini, sehingga yang
dilakukannya adalah mengajak orang ini kedalam tenda. Saya ke tenda teesebut, dan
benar saja bahwa kakek tua itu adalah jamaah kami. Saya menjaga kakek tua ini
agar tidak keluar dari tenda, sedangkan sang istri diatas kursi roda ada di
pojok tenda yang jaraknya beberapa puluh meter.
Kakek tua itu tertidur dalam kelelahan, kamipun
lega karena dia dan beberapa orang tua lainnya tidak kemana mana. Hingga saya
dapat kabar dari WA vahwa kakek tua ini telah berada di camp solo.
Ternyata
kami terlena, seharusnya kami mengawasi para kakek tua ini tanpa berkedip mata,
namun apa daya, banyak jamaah tua yang sakit yang butuh diperhatikan juga.
Sayapun mengambil kakek tya ini untuk kembali ke tenda.
Saya
tidak tahu, kenapa kakek tua ini selalu keluar dari tenda, dan tidak mau bicara
apa sebenarnya yang dicari. Saya
kumpulkan kakek tua ini dengan istrinya, dia tidur tepat di kaki istrinya yang
juga tertidur di kursi roda. Mereka tidak bertegur sapa hanya berdekatan saja.
Seharian kakek ini tidak kemana mana. Ternyata kakek ini hanya ingin dekat dengan
isterinya.
No comments:
Post a Comment