Hari itu
menjelang sholat dhuhur saya sudah siap Sholat di Masjid Nabawi, didalam Masjid
sudah sangat padat, saya kebagian tempat didekat pintu, disamping saya
sederetan galon air zamzam dingin yang disiapkan untuk jamaah. Saya mengambil
botol semprotan yang diberikan PPIH saat di Embarkasi, kuisi penuh dengan air
zamzam dingin, dan setelah penuh saya juga kuteguk segelas zamzam yang tidak
dingin. Botol semprotan berisi 650 ml itu sangat berguna bukan saja menyemprot
wajah saat kepanasan, namun juga bisa digunakan untuk air minum.
Saya ingin
kembali ketempatku semula yang ternyata sudah ditempati orang lain, seorang
negro duduk tenang sambil merapalkan doa doa, padahal didepannya ada tas yang
kugunakan sebagai tanda agar tempat tersebut tidak ditempati. Biasanya di
Indonesia hal semacam ini sudah biasa, sebuah tempat jika sudah diberi tanda
barang, maka orang lain tidak akan menempatinya, namun disini bukan Indonesia.
Kita orang asing disini yang berbeda adat dan tradisinya,saya bergeser dan
duduk ditempat lain meski saya tahu tempat itu sangat sempit, dan mungkin nggak
cukup untuk jamaah dzuhur nantinya. Saya sholat sunnah dua rokaat dan
merapalkan doa doa untukku sendiri, mengambil tas bermaksud mengambil HP
android untuk melihat catatan titipan doa dari teman teman yang ingin didoiakan
di Masjid Nabawi dan Masjidil haram.
Ketiga
memegang android, tergoda juga untuk menggunakan fasilitas HP pintar tersebut
untuk menggunakan selfie didalam Masjid, cekrak cekrek hingga ahirnya saya puas
dan bermaksud membuka catatan titipan doa. Tiba tiba ada panggilan masuk dari
seorang ketua regu, dia menyampaikan bahwa ada satu anggotanya yang stress dan
mau pulang jalan kaki ke kampung halamannya, sekarang dia berada trotoar toko menghindari
sengatan matahari yang mencapai 48 derajat. Saya menyuruh ketua regu tersebut
untuk membawa orang tua yang tidak ingat tersebut untuk kembali ke hotel, namun
berbagai cara bujukan disampaikan tidak membuahkan hasil.
Adzan dzuhur
mulai dikumendangkan, pratanda sebentar lagi dimulai jamaah sholat, sepertinya
saya tidak dapat mengikuti sholat jamaah dengan Imam Besar Masjid Nabawi pada
hari pertama di Kota Madinah ini, saya harus mendatangi jamaah yang sakit
tersebut, padahal tinggal beberapa menit lagi Sholat jamaah dimulai. Okey saya
sampaikan ke ketua regu agar tidak kemana mana agar saya mudah mencarinya.
Saya bergegas
meninggalkan Massjid, menuju lokasi jamaah tersebut, sementara orang orang
bergegas menuju Masjid agar bisa menggenapi Sholat Arbain, yakni Sholat Jamaah
di masjid Nabawi selama 40 waktu sholat. Jamaah dari berbagai negara
berdatangan disini, sesekali saya berpapasan dengasn jamaah perempuan yang
wajahnya menurut saya lebih cantik dari
perempuan Indonesia. Mungkin ini hanya pandangan saya saja yang jauh dari istri
dan keluarga. Toh setiap orang mempunyai keistimewaan sendiri sendiri, dan
sudah dijelaskan dalam kitab suci bahsa kita diciptakan bersuku suku dan
berbangsa bangsa agar bisa saling mengenal. Dalam perjalanan saya bertemu dengan
Amrin, Mahasiswa Al Azhar yang sedang tugas sebagai PPIH Madinah, saya
mengajaknya serta mencari jamaah yang sakit tersebut, dan alhamdulillah dia
tidak berkeberatan.

Saya mencoba
menghubungi dokter Idha, namun HP nya sedang tidak aktif, saya minta bantuan
Amrin untuk menyusul dokter Idha dengan memberikan alamat hotel tempat kami
menginap. Sambil menunggu dokter Idha datang, saya mengajak ngobrol nenek tua
ini dan membujuknya untuk kembali ke hotel, meski usaha saya sia sia, kamipun
ngobrol dan saya mengimbangi seolah olah juga masih berada di tanah air. Banyak
sekali yang kami perbincangkan dan sesekali saya menyemprot wajah nenek tua ini
dengan zamzam yang saya bawa dari Masjid hingga Amrin dan Dokter Idha datang.
Dokter Idhapun
tidak dapat memberikan solusi kecuali membawa yang bersangkutan ke Kantor
Sektor yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat kami. Kamipun mrmbujuk nenek
tua ini untuk ke berjalan menuju kantor sektor, meski harus dengan bahasa bahwa
jalan itu menuju rumahnya, dan nkepada Amrin saya menyuruhnya untuk ke Kasjid,
karena saya merasa butuh waktu lama untuk membawa nenek tua ini hingga sampai
ke Kantor sektor.
Sebanarnya
untuk sampai ke Kantor sektor 5 tidaklah jauh, namun nenek tua tersebut tidak
melalui jalur tersebut, maunya ke arah lain yang menurutnya menuju kerumahnya,
okelah kita mengikuti langkah nenek ini, meski jalur yang kita lalui harus
memutar, saya ingin menggandeng tangannya agar perjalanan kami semakin cepat,
namun nenek ini tidak mau, dia ingin berjalan sendiri. Beberapa puluhh meter
kita harus berhenti untuk beristirahat, terlebih sengatan matahari nggak mau
kompromi, jalanan mulai ramai, orang orang sudah mulai pulang dari Masjid. Toko
toko sudah mulai buka, sehinngga kami lebih sulit untuk berteduh di emperannya.
Nenek tua itu ingin mencari jalan lain dan kita tahu bahwa kalau kita menuruti,
maka jalan menuju Kantor Sektor semakin jauh, kita terus membujuknya bahwa
jalan kerumahnya adalah jalan yang kita tunjukkkan.
Nenek tua itu
duduk terdiam di emperan toko, mungkin dia sudah sangat capek, beberapa kali
kita berhenti dan duduk duduk saja, namun yang terahir ini dia benar benar
tidak mau jalan, sudah beberapa cara kami membujuknya, nammun dia tak
bergeming. Kami tidak bisa terus terusan seperti ini. Rasanya lebih mudah
membujuk anak anak yanng merajuk daripada membujuk orang tua yanbng demensia. Dulu
saat pacaran pernah pacar saya merajuk, ngambek, dan dengan telaten aku
berhasil membujuknya. Tetapi yang ini, haruskan saya berdua mengurusi satu
jamaah ?? perlu adanya langkah revolusioner untuk menyelesaikannya, segera saya
bopong nenek tua ini hingga ahirnya sampai ke Kantor Sektor.
No comments:
Post a Comment