Mata masih terasa
ngantuk saat telepon berdering ditengah malam sekira Jam 2 PM (Post Meidiem) sepertinya dari rumah
pemandian jenazah yang beberapa jam lalu kami tinggalkan. Saya agak kesulitan
bercakap dengan orang diseberang, bahasanya terlalu cepat sehingga agak sulit
aku mencernanya, maklumlah Bahasa Arabku pas pasan, bisa dikatakan kurang untuk
ukuran ketua Kloter. Saya hanya bisa menangkap bahwa orang tersebut menanyakan
posisi saya, saya hanya bisa menjawab Ana fi funduk Masakin Al hayat. Selebihnya
saya tidak biosa menjawab meski saya mengerti maksudnya. Saya membangunkan Gus
Siddiq, TPIHI yang kebetulan pimpinan pondok pesantren yang Bahasa Arabnnya
lumayan. Kami diminta segera ke Rumah pemandian jenazah karena akan segera di
Sholatkan di Masjidil Haram usai Sholat Subuh. Kami diminta segera kesana.
Segera kami ambil seragam kebesaran
sebagai petugas kloter, saya menyiapkan tanda pengenal yang biasanya ditanyakan
saat menghadapi masalah. Sementara para jamaah sudah banyak yang berangkat ke
Masjid untuk Tahajut diteruskan Sholat Subuh. Saya kesulitan mencari baju saya,
entah mungkin efek dari tergesa gesa sehingga baju itu tak ditemukan juga,
sementara waktu terus berjalan tanpa kompromi. Gus Sddiq sudah ada di Lift,
sementara saya belum menemukan baju saya. Di almari memang ada beberapa baju
seragam, namun saya tidak menemukan baju saya, padahal jam sebelas tadi masih
saya pakai untuk mengurusi jenazah dari Rumas Sakit Arab Saudi Al Noor hingga
ke Pemakaman. Tidak mungkin baju itu tertukar dengan dokter Idha yang bersama
sama dengan Mas Hari Santosomengurusi jenazah pertama yang wafat di kloter
kami.
Mungkin pandangan mata ini yang mulai
kabur akibat kurang tidur, maklumlah mulai sehabis maghrib kami berada di Rumah
sakit Al Noor mengurusi jenazah hingga dibawa ke Rumah Pemandian Jenazah. Dan ini
adalah pengalaman pertama kami dalam pengurusan jamaah yang wafat dalam
pelaksanaan Ibadah Haji, kami juga tidak tahu bagaimana tatacara pemakaman
disini, karena setahu kami butuh lobi khusus agar jenazah dapat di sholatkan di
Masjidil Haram, namun penjelasan dari Maktab bahwa saat ini semua jamaah yanbg
wafat dalam Ibadah Haji akan disholatkan di Masjidil haram tanpa biaya. Saya ingin mengikuti semua proses perawatan
jenazah disini, dan ketika saya berada di Rumas Sakit Arab Saudi Al Noor saya
agak kaget ketika mendapati jenazah sudah dibungkus dengan kain putih, saya
hanya diperlihatkan wajahnya, untuk memastikan bahwa itu benar benar jebazah
jamaah saya. Saya agak kaget ketika diperlihatkan jenazah dengan perawakan
brewok, sebab seingatku jamaah saya yang wafat tidak berewok, kemudian petugas
rumah sakit mengecek kembali ke administrasi untuk mengecek data yang benar,
dan ahirnya kami dapat menemukan jenazah yang kami maksud. Jenazah itu
sepertinya belum dimandikan, namun sudah terbungkus kain kafan, saya tidak tahu
apakan jenazah itu benar benaqr sudah dimandikan atau belum, hingga kami diajak
bersama jenazah tersebut ke suatu tempat dengan menggunakan kereta jenazah.
Malam itu benar benar menyita waktu
dan tenaga, kami berempat berada di Rumah Pemandian Jenazah, saya menyelesaikan
administrasi sebelum jenazah dimandikan. Saya menemui pihak administrasi yang
sepertinya orang Afrika, saya menggunakan Bahasa Inggris dicampur bahasa Arab,
yang penting kami mengeti maksudnya, kadangkala kami tersenyum karena bahasa
yang nggak nyambung tersebut. Dokter Idha dan Mas Hari Santoso yang menemani
Ibu dari jamaah yang berada diluar mungkin mendengar saat petugas tersebut
tertawa, namun mereka nggak tahu kenapa ada tawa saat pengurusan jenazah
tersebut, sayapun terpaksa ikut tertawa dengan bahasa yang saya miliki yang
setelah saya reviw kembali ternyata artinya nggak nyambung dengan pertanyaan petugas
tersebut.
Kuakui bahwa saya tidak terlalu
mahir Bahasa Inggris, tidak seperti Mbak Sari Nurani yang begitu mudah cas cis
cus, atau dokter Idha yang nyambung bila diajak bahasa Inggris, di Kantor
biasanya jika ada orang luar negeri yang berurusan dengan kantor, memang saya
yang menangani, namun hanya menanyakan identitas dan yang berkaitan dengan
keperluan lainnya, harus kuakui bahwa bahasa Inggrisku sangat jauh dengan yang
dikuasai istri saya, maklumlah mertua saya adalah Guru Bahasa Inggris, dulu
saat masih pacaran saya pernah dikirimi surat dengan bahasa inggris oleh calon
istrti saya, dan saya membalasnya dengan ucapan singkat “Yes I Love you”. Dan saat
seperti inilah saya benar benar merasakan bahwa Bahasa Inggris dan Bahasa Arab
sangatlah perlu, saya tidak dapat selalu mengandalkan Gus Siddiq yang bahasa
Arabnya agak lumayan, sebab kami tidak selalu bisa bersama sama,
Saat pemandian jenazah, dari pihak
nkeluarga atau tim klrter yang laki laki dipersilahkan ikut memandikannya, saya
tidak menyia nyiakan kesempatan ini, karena saya ingin tahu bagaimana tata cara
memandikan jenazah di rumah pemandian jenazah ini. Mas Hari Santoso saya tawari
untuk ikut masuk ke kamar pemandian jenazah tidak bersedia, sehingga sayya dan
dua orang petugas yang sepertinya berkebangsaan Afrika yang memandikannya, diruangan
itu karena jenazah yang dimandikan adalah laki laki, maka perempuan tidak
diperkenankan untuk masuk.
Barangkali benar yang disampaikan
banyak orang, bahwa apa yang kita lakukan di tanah air juga akan kita dapatkan
di tanah Arab, namun menurut saya itu hanyalah kebetulan saja, saya ikut
memandikan jenazah bukan semata mata saat ditanah air salah satu tugas saya
sebagai Pembantu PPN ditingkat desa adalah merawat jenazah, namun hanya
kiebetulan saja jamaah saya ada yang meninggal, dan saya berkesempatan ikut
memandikan ahli surga yang dimandikan dan dikafani dengan layak tersebut.
Hari sudah larut malam, jenazah
barusaja selesai dikafani, Istri almarhum yang diberi kesempatan melihat wajah
suaminya untuk terahir kalinya juga tidak mau melihatnya, dia sangat takut jika
akan menangis saat melihat wajah almarhum suaminya, Bel;liau menelpon anaknya
yang berada di tanah air, saya yang diminta untuk berbicara untuk menjelaskan
kondisi almarhum ayahnya. kami hanya bisa menghiburnya, dan berpamitan kepada
petugas rumah pemandian jenazah untuk pulang ke Hotel dengan naik taksi.
Jam 12 malam atau jam 12 PM (Post Meidiem) saya bersama rombongan baru
sampai hotel, sebenarnya kami sudah pasrah dan percaya bahwa jenazah akan
disholatkan di Masjidil Haram dan dimakamkan dengan layak, namun petugas tetap
menginginkan petugas dan keluarga mengikuti prosesi pemakaman jenazah, dan kini
hampir jam setengah tiga kami haruss kembali ke Rumah Pemandian jenazah, bisa
dimaklumi jika saya masih lelah menahan kantuk untuk sekedar mencari baju
seragam, sementara Gus Siddik yang berada di Lift sudah siap untuk turun, dan
ternyata baju saya dipakainya, sehingga saya harus membawa baju Gus Siddiq dan
berlari kearah Lift.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana
saat kami bertukas baju didalam Lift tersebut diketahui orang lain, bisa bisa
terjadi salah faham dan kami dianggap apalah kok bertukas baju sesama jenis,
namun kondisi tergesa yang mengakibatkan kami harus melakukann hal ini. Belum lagi
saat mencari kendaraan yang dapat mengantarkan kami ke Rumah Pemandian jenazah,
tidak ada sopir taksi yang dapat mengenali tempat tersebut, seandainya tidak
secara kebetulan ada polisi yang kebetulan berpakaian sipil dan sedang
mengendarai mobilnya dan bersedia mengantarkan kami ke rumah pemandian jemnazah
tersebut, belum tentu kami dapat datang kesana sebelum sholat subuh dimulai.
No comments:
Post a Comment