Karakter
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Tabiat; Watak; Sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau Budi Pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.
Karakter kebangsaan menjadi hal penting dalam perkembangan suatu bangsa, sebagai
bangsa yang yang berakhlak mulia, yang bertekat mengutamakan pembangunan jiwa
dan mental sebagai landasan dalam pembangunan Nasional, sudah selayaknyalah
Pendidikan karakter tidak hanya dibebankan kepada lembaga pendidikan formal
belaka.
Reformasi
birokrasi membutuhkan reformasi mendasar yang harus dilakukan terlebih dahulu,
yakni reformasi pola pikir (mindset), (yakni pola-pola dominan yang menjadi
acuan seseorang untuk bertindak) yang terbentuk lebih banyak dipengaruhi oleh
pola asuh, yang dimulai sejak pendidikan tingkat kanak-kanak, baik dari
pendidikan formar, informal maupun lingkungan dimana dia bertempat tinggal.
Cita cita Indonesia bebas
dari korupsi 2025 akan gagal bila dalam pembentukan pola pikir (mindset) yang
dimulai masa anak anak tidak dilandasi dengan pendidikan agama yang kuat. Cita
cita bebas korupsi tersebut bisa gagal atau dapat dilaksanakan dengan lebih
cepat yang salah satunya adalah memberikan peran pendidikan agama yang lebih besar dalam pendidikan
disegala umur, sebab dengan pendidikan agama yang diharapkan juga membekas
dalam keimanan dan ketaqwaannya, maka seseorang akan terbentuk sebuah sikap
yang dilandasi dengan pola pikir yang positif, yang salah satunya adalah tidak
tergoda untuk melakukan tindakan korupsi.
Dalam dunia
kependidikan yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan, belum terlihat adanya
program unggulan untuk memperbaiki pendidikan agama disekolah umum. Padahal
pendidikan agama adalah salah satu upaya membentuk pola pikir (mindset) untuk
membentuk pribadi yang berilmu dan bertaqwa, dan pendidikan agama harus
diberikan seiring sejalan dengan pendidikan dan ilmu lainnya. Dan persoalan
pendidikan agama bukan hanya monopoli atau tugas dari kementerian Agama saja,
namun juga merupakan salah satu tugas dari Pemerintah Daerah.
Pendidikan
karakter dalam pembentukan pola pikir seharusnya dimulai sejak anak usia dini
dengan pendidikan agama yang cukup, sebab dengan pendidikan agama yang cukup
dan berkesinambungan akan mencegah anak anak untuk berbuat yang dilarang oleh
agama, manusia akan berbuat baik bukan sekedar takut dipenjara jika berbuat
yang dilarang, namun jika manusia sudah mempunyai karakter agama yang cukup
kuat, dengan sendirinya akan takut berbuat dosa jika melakukan tindakan yang
dilarang agamanya.
Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sistim pendidikan di Indonesia di bagi
dalam 3 kelompok, yakni Pendidikan Formal, Pendidikan Nonformal dan Pendidikan
Informal.
Taman Pendidikan Al Qur’an yang biasa disingkat
dengan TPQ atau TPA adalah salah satu Pendidikan Informal yang sangat penting
peranannya dalam membentuk karakter pribadi yang memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, kepribadian yang berakhlak mulia, mengingat TPQ khusus mengajarkan Pendidikan
Agama dan keagamaan, yang perannya tidak dapat dipandang remeh dalam dunia
pendidikan. Saat ini TPQ bukan hanya mengajarkan tata cara membaca Al Qur’an
dan tata cara beribadah saja, namun pendidikan di TPQ sudah lebih mengarah pada
pendidikan kepribadian dan karakter anak didik. Sudah ada beberapa TPQ yang
juga mengajarkan Bahasa Inggris dalam materi tambahan pelajarannya. Disamping
pelajaran tata cara berpidato, Kaligrafi
dan lain sebagainya. Dan ketika peserta didik tersebut mengikuti sebuah event
kejuaraan, maka yang bersangkutan tidak membawa nama TPQ dimana yang
bersangkutan dididik, namun lebih membawa nama Sekolah Formal dimana yang
bersangkutan belajar.
Pendidikan Agama di Sekolah Formal hanya 2 jam
pelajaran sangatlah kurang, meskipun materi pelajaran Agama dapat disisipkan
dalam pelajaran lainnya, namun pada kenyataannya sulit untuk diterapkan, dengan
mengingat tidak semua guru selain guru agama mengenal Ilmu keagamaan dengan
baik. Dengan 2 jam pelajaran tersebut seolah olah peserta didik dipaksa untuk
menerima seluruh materi pelajaran yang sebenarnya membutuhkan waktu lebih dari
2 jam Ditambah lagi dengan kurikulum atau buku penunjang yang kurang tepat,
sehingga Pendidikan Agama lebih terkesan lebih sebagai pengetahuan daripada
Pendidikan itu sendiri.
Pada umumnya hanya anak anak di sekolah tingkat
dasar saja yang mau datang ke TPQ, sehingga
pendidikan di TPQ harus dimaksimalkan pada usia ini, namun yang menjadi
permasalahan adalah ; Pertama Tidak ada daya paksa kecuali dari orang
tuanya, sehingga anak mau mengaji di TPQ,
berberda dengan di sekolah umum atau formal dimana kurikulum dan
kedisiplinannya terjaga. Tanda lulus TPQ seakan akan tidak bermakna apa apa
kecuali untuk koleksi dan kepuasan pribadi. Kedua
tidak adanya standart kurikulum yang ada di TPQ, sehingga setiap TPQ terkesan
menggunakan kurikulum dan standart pengajaran yang berbeda beda.
Pendidikan agama pada diri siswa sebenarnya dapat
terlaksana dengan baik jika Pemerintah serius memperhatikan keberadaan TPQ,
memberikan daya paksa terhadap anak anak usia sekolah tingkat dasar untuk
mengaji di TPQ, adanya keterpaduan antara Pendidikan Agama disekolah dengan
Pendidikan di TPQ, sehingga pendidikan agama pada anak anak dapat berjalan
seiring sejalan antara pendidikan disekolah dengan pendidikan di TPQ. Dengan
demikian maka anak anak akan dapat memperoleh pendidikan agama dengan baik
tanpa harus menambah jam pelajaran disekolah formal. Dan hal ini dapat
terlaksana jika Pemerintah (Dalam hal ini Bupati dan Kementerian Agama) serius memberikan pendidikan
yang terbaik bagi masyarakat.
Perkembangan
Tehnologi yang begitu cepat menuntut masyarakat untuk mengantisipasi dampak
negative dari tehnologi tersebut. Melarang anak anak untuk mempelajari dan
menggunakan tehnologi adalah tindakan bodoh, namun membiarkan anak anak
menggunakan tehnologi tanpa dasar pengetahuan dan pengawasan adalah tindakan
yang juga sangat bodoh dan ceroboh.
Namun yang menjadi masalah adalah bagaimana memberikan bekal terhadap
anak anak, sehingga anak anak dapat memanfaatkan tehnologi kepada hal hal yang
positif, dan mengindari penggunaan tehnologi pada hal yang merusak. Banyak
kasus dari akibat penggunaan handphone dan perangkat tehnologi lainnya yang
salah yang mengakibatkan anak terpaksa harus putus sekolah karena terpaksa
nikah. Meskipun sebenarnya pernikahan bukan halangan untuk melanjutkan sekolah,
namun dibanyak kasus anak akan putus sekolah setelah menikah, dan banyak
sekolah yang mengeluarkan anak didiknya ketika anak didiknya tersangkut kasus
pornografi.
Razia
handphone dengan gambar dan video yang tidak pantas yang dimiliki anak anak
sekolah, meskipun kadangkala juga sia sia, dengan mengingat banyak anak anak
sekolah yang mempunyai kartu memory ganda, namun harus tetap dilakukan. Memang
dengan perkembangan tehnologi, kasus pornografi saat ini sangat sulit untuk
dibendung, apalagi perkembangan tehnologi berjalan sangat cepat, sehingga orang
tua sangat sulit untuk mengontrol perilaku yang dilakukan anak-anak terhadap
perkembangan tehnologi tersebut. Bahkan anak anak lebih mahir menggunakan
handphone dan perangkat tehnologi lainnya daripada orang tua. Dan pornografi
disatu sisi juga menjadi pemacu bagi seseorang untuk mempelajari tehnologi
informatika.
Salah satu
cara untuk memberikan bekal bagi anak anak dalam mengikuti perkambangan
tehnologi adalah memberikan pengetahuan dan pelajaran tentang tehnologi dan
pemahaman agama yang kuat, sehingga dalam perkembangannya anak menjadi manusia
yang berkepribadian yang baik, tidak mudah tergoda untuk berbuat dosa, apalagi menyuap
dan korupsi.
Penulis adalah Ketua LPS Widyatama, Sekretaris MUI dan DMI
Kecamatan Muncar
No comments:
Post a Comment