Indikator Sebuah Kesuksesan
Indikator Sebuah Kesuksesan
Masih teringat saat pulang dari Kediaman Bu Roro Chumaero
dalam Acara Silaturahim Operator se Indonesia. Setalah menempuh
perjalanan selama dua hari satu malam dari Cipanas sampai Mojokerto,
dengan rombongan Bus Gus Achmad Shampton, Mas Aries Setiyawan
dan kawan kawan. Dan setelah sampai Sidoarjo, perjalanan harus
dilajutkan secara estafet dengan kendaraan Travel menuju Banyuwangi.
Dalam kendaraan Travel ini hanya saya, Gufron El-Gustovi dan dua orang penumpang lainnya yang ada, setelah Mas Wawan Fauzie turun di Pasuruan.
Bukan karena penumpang yang hanya beberapa orang saja yang selalu saya
ingat, dan bukan kerana dalam perjalanan Traver tersebut tidak ada lagi
celotehan Mas Lutfi Ridlo
yang disamping sebagai kepala KUA Juga Jualan akun FB, atau tidak
adanya nyanyian karaoke dari Mbak Rosy Illa dan kawan kawan, yang sangat
menghibur disaat semua penumpang dalam keadaan sangat capek. Perjalanan
kendaraan Travel yang sangat jauh berbeda dengan perjalanan Rombongan
Bus, dimana dalam rombongan Bus ada Gus Anas
Nurul Yaqeen yang banyak cerika masalah pengalaman kerjanya, meskipun
dalam Travel juga ada Mas Muhajir yang juga seorang mubaligh. Namun itu
bukan hal yang sangat urgen saya sampaikan disini.
Pak Supir Travel
yang menjalankan kendaraan diatas kecepatan rata ratalah yang membuat
perjalanan saya pulang sedikit berbeda rasa. Meskipun saya tidak melihat
speedometer yang tempatnya tepat didepan sopir, dimana sang sopir akan
tahu berapa kecapatan kendaraan yang dikemudikannya, namun sebagai
penumang saya merasakan bahwa kendaraan yang saya tumpangi memang dilaju
dengan kecepatan penuh, perasaan was was terus memenuhi otak dan
pikiran saya. Yah Otak dan fikiran, sebab saya (tidak) sangat yakin
bahwa saya berfikir dengan otak, sebab semuan makhluk mempunyai otak,
namun saya (tidak) yakin bahwa semua makhluk mempunyai fikiran.
Ya, begitulah saya, si penumpang itu. Pak supir mungkin yakin dengan
mobilnya dan memang menyetir dengan kecepatan tinggi itu mengasyikkan.
Namun pak supir mungkin belum mengalami apa yang saya alami Saya percaya
bahwa tingkat pencapaian seorang manusia dalam kehidupan ini diawali
dengan kemampuan merumuskan ‘pertanyaan berkualitas’ yang akan memancing
otak super komputer kita untuk mencari jawabannya. Kalau dulu
pertanyaan yang dirumuskan adalah, “Apa sih indikator kita sukses
finansial?” maka pertanyaan kali ini lebih menantang, “Apa sih indikator
sukses kita dalam bekerja?”
Indikator sukses bagi pak sopir akan
berbeda dengan sukses bagi para penumpang, meskipun dalam kendaraan yang
sama melaju dengan kecepatan yang sama, start dari titik yang sama, dan
Finish pada garis yang sama. Namun apa jadinya jika kendaraan tersebut
“gagal”, belum tentu antara sopir dan penumpang mengalami nasib yang
sama. Sukses bagi seorang pimpinan akan berbeda indikatornya dengan
sukses yang dirasakan oleh staf, meskipun dalam Kantor Yang sama, yang
seharusnya mempunyai visi dan misi yang sama, yang seharusnya mempunyai
indicator sukses yang sama.
Saya juga teringat cerita seorang teman
yang ditilang polisi, padahal dia sudah mengenakan Helm, (merasa)
membawa surat surat lengkap. Alangkah kagetnya teman saya ternyata dia
ditilang karena kendaraan roda dua yang dikemudikannya tidak menyalakan
lampu pada siang hari. Teman saya berusaha protes. Mengapa “hanya” tidak
menyalakan Lampu saja dikenakan tilang? Sedangkan surat yang meskipun
STNK nya “masih” hidup namun belum bayar Pajak Kendaraan dibiarkan
saja/tidak termasuk pelanggaran?.
Polisi mengenakan tilang karena
kendaraan roda dua dalam aturan memang harus menyalakan lampu, sedangkan
urusan Pajak Kendaraan bukanlah urusan polisi, Urusannya adalah STNK,
adapun pajak kendaraan yang terlambat dibayarkan aka ada mekanisme
tersendiri. Lantas mengapa kita menyalahkan Pak Polisi yang sudah benar
dalam menjalankan tugas? Menjalankan tugas yang diberikan pimpinannya?
Bukankah itu memang tugas Polisi?. Tidak Lucu jika Polisi dengan pakaian
Lengkap menghadiri dan betindak sebagai Petugas Pencatat Nikah. Juga
sangat mengherankan jika Pak Penghulu tidak dapat membacakan khutbah
nikah.
Lantas mengapa pula ada yang harus marah ketika Pak Jasin
menyampaikan temuan yang ada di Kementerian Agama? Dan kenapa juga harus
heran ketika Dirjen Bimas Islam yang “membela” KUA yang memang berada
dibawah pembinaanya?
Artikel terkait yang mungkin anda cari :
No comments:
Post a Comment