Birokrat Tidak Peduli Hasil
Persoalan utama birokrasi pemerintahan adalah kuatnya
kultur diantara pegawainya bahwa birokrasi tidak perlu menelurkan hasil
yang nyata. Mereka juga cenderung merasa tidak perlu
mempertanggungjawabkan pekerjaan kepada publik. "Ada kultur kuat bahwa
tidak harus menghasilkan sesuatu yang nyata dan tidak harus bertanggung
jawab kepada publik," kata Profesor Robert S Kaplan dari Harvard
Business School, Sabtu (19/1), di auditorium istana Wakil Presiden,
Jakarta.
Kalau diamati, organisasi di pemerintahan itu
mirip sebuah bangunan dimana seharusnya seluruh komponen saling terkait
dan saling melengkapi, tetapi ternyata didalamnya (seperti) tidak ada
kegiatan organisasi yang bernama “kehendak bersama”, yang ada hanyalah
konsep seolah-olah yang menurut istilah Arif Budiman adalah Technokrat
Birokrasi, dimana sebuah kebijakan merupakan (seolah olah) usulan dari
masyarakat yang dituangkan dalam perencanaan kebijakan.
Ketidak kompakan para pengambil kebijakan bahkan terlihat adanya
pernyataan yang kontradiktif antar pejabat pembuat kebijakan yang
(seperti) saling menjatuhkan, tak ubahnya dengan peraturan perundang
undangan yang (banyak) berbenturan antara yang satu dengan lainnya, atau
adanya aturan yang kurang lengkap yang mengakibatkan para pelaksana
berbeda dalam memahami aturan yang sama.
Seluruh aktifitas di
dalam organisasi dijalankan dengan prinsip dimana pegawai hanya
berkewajiban untuk menjalankan perintah tanpa hak usul/melawan.
Implikasinya jauh, dengan perspektif itu, tidak sulit melihat para
pimpinan dan “politisi” di pusat, yang membuat dan mengambil kebijakan,
sebenarnya tak tahu banyak tentang kwalitas para pegawainya, para
punggawanya lebih nyaman membuat laporan yang bisa membuat bosnya
senang, meski kondisi nyatanya tidak seperti demikian, yang lebih para
jika para pengambil kebijakan “hanya’ mencari “nama’ untuk tujuan
tertentu dengan mengabaikan “nama baik” orgnisasi.
Para
pengambil kebijakan sering melakukan penyelesaian Instan dan “populis”
untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, dan sering tampak rasa
“keakuan” dari pejabat dalam melaksanakan sebuah roda organisasi,
sehingga ada istilah “ganti pejabat ganti kebijakan” yang pada akhirnya
akan menyusahkan pegawai pelaksana, apalagi seseorang yang bernasib baik
dan menjadi pejabat tersebut “tidak menguasai dibidangnya”, sehingga
kebijakan dan aturan yang diberikan tidak/kurang sejalan dengan
kebutuhan organisasi yang sesungguhnya, sehingga seringkali terjadi
ketidak sesuaian antara kebutuhan orgaisasi dari pelaksana kegiatan
dengan kebijakan yang dikeluarkan pejabat pengambil kebijakan.
Peran pegawai pelaksana sangat penting bagi tercapainya tujuan
organisasi dalam pemerintahan, dengan kinerja pegawai yang baik, maka
tujuan organisasi yang telah dirumuskan dalam peraturan yang
diperuntukkan untuk itu akan lebih mdah untuk diterapkan, dan pegawai
pelaksana akan dengan mudah melaksanakan tugasnya jika tugas yang
diembannya sesuai dengan kemampuan diri pegawai dimaksud, disamping hal
tersebut juga adanya rasa senang pegawai pelaksana dimaksud dengan
pekerjaan yang diembannya.
Keberhasilan suatu
organisasi (terutama di Pemerintahan) sangat memerlukan semangat dan
disiplin kerja yang tinggi dari para pegawai atau anggota organisasi
yang bersangkutan. Hal ini mengingat semakin kompleksnya kegiatan yang
dilaksanakan dalam pencapaian tujuan organisasi. Pencapaian tujuan
organisasi baik itu tidaklah cukup hanya mengandalkan pegawai yang
berpendidikan tinggi, namun juga memerlukan metode kerja yang baik,
pengalaman manajemen yang baik dan dapat “mengayomi”.
Meskipun suatu organisasi memiliki tenaga kerja atau pegawai yang
berkualitas tinggi di bidang skill, namun bila mereka tidak memiliki
disiplin kerja yang tinggi, kualitas tinggi tersebut akan tidak berarti.
Dengan demikian, disiplin kerja sangatlah diperlukan dalam suatu
organisasi tersebut, dapat bertindak atau bekerja sesuai dengan yang
telah ditentukan sebelumnya. Disamping itu manusia sebagai yang
mempunyai rasional dan rasa sosial yang tinggi dalam melaksanakan segala
aktivitas kerjanya (seharusnya) dengan tanpa harus didorong atau
dipaksa oleh berbagai peraturan atau ketentuan yang ada, tetapi
bertindak atas kesadaran tinggi yang dimilikinya.
Salah
satu kelemahan pemerintah adalah kurangnya evaluasi terhadap hasil
kegiatan yang telah dan sedang dilaksanakannya, yang menjadi target
keberhasilan adalah bagaimana satuan organisasi “dapat menyerap
anggaran”, dan bukan bagaimana kwalitas penyerapan anggaran dimaksud.
Pelaksanaan kegiatan “dianggap” berhasil bila kegiatan dan pertanggung
jawaban kegiatan yang dilaksanakannya sesuai dengan kebijakan para
pengambil kebijakan, dengan (seolah olah) tanpa menghiraukan sasaran
“nyata” yang dicapainya.
Kewajiban Pelaksana kegiatan adalah
bagaimana secara administratif menyampaikan laporan pertanggung
jawabannya kepada atasan, dan (seakan) mengesampingkan pertanggung
jawaban kepada publik. Kebenaran pertanggung jawaban sebuah kegiatan
adalah kebenaran menurut atasan dan(maaf) meskipun ada (sedikit) unsur
penipuan dalam kegiatan dan atau pelaksanaan pertanggung jawaban sebuah
kegiatan.
Dalam tataran tertentu, semestinya pelaksana kegiatan atau
pejabat/pegawai ditingkat rendah diberikan sedikit kebebasan dengan
aturan yang jelas sehingga tidak akan terjerat dalam larangan
“gratifikasi” untuk melakukan sebuah kebijakan yang sesuai dengan
“kearifan” lokal, hal ini diperlukan karena pada tataran tertentu
seorang pejabat/pegawai “dituntut” untuk berbuat yang sesuai dengan
kondisi riil yang ada dalam lingkup pekerjaanya.
SUDAHKAH PENGAMBIL KEBIJAKAN DALAM ORGANISASI KITA DITINGKAT PUSAT MELAKUKANNYA ???????????
No comments:
Post a Comment