Maaf ; Kami tidak taat aturan
Waktu
hampir tengah malam, ketika kami selesai menata tempat jamaah di tenda tenda
Mina. Saya tidur diluar tenda, menatap langit tanpa bintang menikmati hangatnya
udara malam Muzdalifah. Kebetulan maktab kami tidak berada di Mina, namun
diwilayah Muzdalifah, sehinggga kami tidak bermalam pada dua tempat yang
berbeda sebagaimana diajarkan dalam manasik haji, Kalau kloter yang mendapat
tenda di Mina maka akan bermalam di Muzdalifah dan Mina, namun bagi kami yang
mendapatkan tenda di Muzdalifah atau Mina Jadid maka kami hanya bermalam di
satu tempat yakni di Mina Jadid yang masuk wilayah Mudalifah.
Masalah
ini permah kita bahas bersama Muassasah di Hotel Masakin Al Hayat, tentang
bermalam di Mina yang berada di Muzdalifah. Pihak muassasah mengibaratkan Mina
Jadid seperti pengembangan sebuah Masjid dimana jika ada perluasan masjid maka
yang dahulu adalah halaman masjid, namun setelah Masjid diluaskan maka halaman
Masjid tersebut juga menjadi Masjid, begitu juga jika saat berjamaah meluber
hingga ke halaman atau jalan raya, maka orang yang jamaah dijalan raya juga
dianggap sah dan sama sahnya dengan jamaah didalam masjid utama, begitu juga
dengan bermalam di Mina dimana semakin bertambahnya jamaah haji mengakibatkan
daya tampung tenda mina tidak mencukupi, sehingga pengembangannya hingga
kewiayah muzdalifah yang secara administratif telah dimasukkan kewilayah mina
oleh pemerintah Arab Saudi, sehingga kami yang berada di Mina Jadid bermalam di
Muzdalifah dan di Mina cukup dalam satu tempat saja.
Sebenarnya
telah dijadwah oleh pengelola Haji Arab Saudi kapan saatnya kami melontar Jumroh
Aqobah, ada saat saat tertentu kami tidak boleh keluar dari tenda untuk
melontar jumroh, hal ini untuk menghindari kemacetan dijalan menuju jamarot
sehingga terhindar dari berdesakan antar jamaah, ketua kloter juga harus membuat pernyataan
bahwa akan mengatur jamaahnya sesuai dengan jadwal yang ditentukan dengan sanki
jika ada pelanggaran adalah tidak diperkenankan memasuki wiayah saudi Arabia
selama 10 tahun.
Malam
itu para jamaah ingin melontar jumroh, karena jika sesuai dengan jadwal maka
waktu melontar jumroh adalah jam 3 sore esok hari, bisa dibayangkan bagaimana
para jamaah harus berjalan belasan kilometer dalam cuaca panas sekitar 40
derajat. Malam itu Sesuai jadwal bahwa yang boleh keuar melontar jumroh malam itu adalah
orang orang tua dan yang memakai kursi roda, padahal para jamaah yang memakai
kursi roda dan yang tua sudah diwakilkan kepada yanng masih muda.
Saya
ke tenda Maktab mengambil jatah batu kerikil untuk melontar jumroh yang sudah
disediakan maktab, batu kerikil pecah dalam kantung kain berwarna biru itu sangatlah kecil
kecil, sehingga beberapa jamaah protes dengan kerikil yang disediaka maktab.
Para jamaah memilih kerikil kerikik tersebut yang tidak terlalu kecil sehingga
saat dilempat ke dinding jamarat yang berjarak sekitar 3 meter tersebut batu
tidak melayang. Dan saat berada di tenda maktab tersebut nampak kloter lain ada
yang diizinkan untuk keluar, padahal dari rombongan tersebut tidak ada yang tua
atau memakai kursi roda, saya kira pengelola maktab benar benar tidak mau
kompromi, ternyata nggak jauh berbeda dengan di negara kami, musyawarah untuk
mufakat.
Kamipun
nego dengan pihak maktab untuk keluar melontar jumroh pada malam itu juga, kesehatan
dan keselamatan jamaah menjadi alasan utama mengapa kami harus melontar jumroh
aqobah malam hari, pengalaman di Arofah dengan suhu udara hampir 50 derajat
yang mengakibatkan banyaknya jamaah yang mengalami dehidrasi hingga beberapa
jamaah tak sadarkan diri dan demensia adalah alasan yang wajib dipertimbangkan,
dan setelah negosiasi sedikit alot ahirnya diizinkan keluar dari tenda, namun
hanya untuk 50 orang, itupun tannpa pengawalan ( petugas penunjuk arah ) dari
maktab. Kami setuju karena beberapa jamaah kami jugasudah pernah beberapa kali
haji, sehingga tahu arah jamarat, terlebih dari pihak maktab telah dibagikan
peta jalan menuju jamarat. Pada kesempatan berikutnya kami negosiasi lagi agar
diperbolehkan untuk melontar jumroh aqobah yang didinding Jamarot tertulis Big Jamarat bagi jamaah kami, namun lagi lagi
hanya diizinkan untuk maksimal 150 orang tanpa pengawalan dari maktab dan harus
membuat surat pernyataan. Terlalu beresiko jika ketua kloter membuat surat
pernyataan tersebut, maka saya mewakilkan kepada ketua KBIH yang akan membawa
jamaahya melontar jumroh untuk menanda tangani pernyataan tersebut. Sehingga
malam itu telah tiga gelombang jamaah kami yang melontar jumroh, dan sebagian
mereka langsung menuju hotel karena jarak dari Hotel ke Jamarat lebih dekat
daripada Jarah Mina/Muzdalifah ke Jamarat. Dan merekan akan lebih aman dari
cuara ekstrem jika langsung menuju hotel.
Masih
ada satu rombongan KBIH yang ingin melontar jumroh aqobah malam itu, namun
mereka siap setelah lewat tengah malam. Hal yang membuat saya merasa bersalah
adalah saya ikut pada rombongan kedua dalam melontar jumroh, sedangkan
rombingan terahir yang akan melontar jumroh malam itu saya tinggalkan dan saya
serahkan kepada ketua KBIH untuk negosiasi sendiri dengan pihak maktab, karena
saya yakin ketua KBIH yang sudah belasan tahun berangkat haji tersebut mampu
melakukan negosiasi sendiri. Saya merasa bersalah, mestinya saya harus menunggu
rombongan terahir melotar jumroh, meski pada akhirnya rombongan terahir ini
bisa keluar melontar jumroh malam itu dengan membuat surat pernyataan, namun
negosiasi yang dilakukan sangatlan alot. Saya ingin segera melontarjumroh
aqobah malam itu juga karena saya ingin segera berpakaian bebas, bisa istirahat
setelah sehari semalam nyaris tanpa bisa memejamkan mata dan bisa mengurus jamaah.
No comments:
Post a Comment