Problematika
yang sering timbul dalam masalah pengangkatan anak dalam pernikahan, terutama
bagi anak perempuan adalah ketika sebuah keluarga mengangkat anak, yang tidak
melalui sidang di Pengadilan, kemudian dicarikan Akta kelahiran dengan diakui
dalam Akta Kelahiran sebagai anak kandung, sehingga semua surat surat tentang administrasi
kependudukan dan ijazah akan tertulis anak kandung dari orang tua angkatnya ( meskipun dalam Ijazah tidak secara tersurat berbunyi anak kandung dari, tetapi Nama Orang tiia), ketika
akan menikah, dalam penentuan wali nikah menurut Hukum Islam harus dilakukan
oleh orang tua kandungnya, sering terjadi problem tarik ulur masalah penulisan
orang tua dalam Akta nikahnya, apakah ditulis nama Orang Tua angkatnya sesuai
dengan surat surat administrasi kependudukan dan Ijazah yang terlanjur tertulis
nama orang tua angkatnya? Ataukah ditulis nama Orang Tua kandungnya.
Penulisan anak
angkat kedalam anak kandung dalam Akta Kelahiran dan akta akta outentik
merupaksan kesalahan dalam administrasi, yang tidak menutup kemungkinan akan
menimbulkan akibat pidana apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan
timbulkan akta dimaksud, hal ini diakibatkan adanya mekanisme yang salah dalam
proses adopsi anak yang pada akhirnya akan merugikan anak angkat tersebut.
Anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Anak angkat masuk kehidupan
rumah tangga orang tua yang mengambilnya, sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid),
akan tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk
meneruskan turunan bapak angkatnya. Anak angkat di sini telah menjadi bagian
keluarga dari orang tua yang mengangkatnya. Sebagai bagian dari keluarga
(anak), iapun berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua seperti yang
lainnya serta hak-hak dan kewajiban anak pada umumnya yang merupakan jaminan
yang terdapat dalam ketetentuan perundangan yang berlaku. Orang tua angkat/wali
yang telah mengangkat seorang anak secara legal formal dan dengan perbuatan hukum
tersebut telah mendapatkan hak asuh terhadap anak angkatnya, yang mana mereka
tersebut (orang tua angkat/wali dengan anak) memiliki efek kausalitas pada
hubungan hokum, hak dan kewajiban hokum yang melekat layaknya orang tua
terhadap anaknya dalam komunitas keluarga.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, pengertian
Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak
dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkat ( Pasal 1 butir 2), sedangkan Menurut
Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002, pengertian anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
pembesaran anak tersebut, ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. (Pasal 1 butir 9), Tujuan Pengangkatan Anak adalah untuk tujuan
kepentingan kebaikan anak angkat tersebut dalam rangka melindungi kesejahteraan
anak dan perlindungan anak tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dan
ayat (3) Undang-Undang Kesejahteraan Anak dan juga sesuai dengan Edaran
Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 (bagian IV. A.2.2.2.) kemudian Undang-Undang
Perlindungan Anak Pasal 39 ayat (1).
Sifat pengangkatan anak menurut peraturan perundang undangan
di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Pengangkatan anak
adalah suatu perbuatan hukum. (Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54
Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak).
2. Pengangkatan anak
adalah untuk melindungi kepentingan anak (Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak); dan Pasal 39 ayat
(1), (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jo dan
Pasal 5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007.
3. Pengangkatan anak
harus menjaga kesamaan agama yang dianut oleh calon anak angkat dan calon orang
tua angkat (Pasal 39 ayat (3), Pasal 19 butir d, Pasal 42, Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Pasal 3Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007)
4. Pengangkatan anak
tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya (Penjelasan
Pasal 12 ayat (1), Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 : Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 : Jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007).
Dari segi hukum ini menimbulkan konsekensi sebagai berikut :
·
Berlaku larangan perkawinan karna hubungan
darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang Undang nomor 1 Tahun
1974:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman
susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang;
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan
lain yang berlaku dilarang kawin (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.) .
·
Tindak-tindak pidana yang ditentukan dalam
Pasal 221 ayat (2), (menyembunyikan keluarga yang melakukan kejahatan), Pasal
294 ayat (1), Pasal 295 dan Pasal 356 (penganiayaan dalam keluarga) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
·
Pembuktian dengan saksi dalam Pasal 145 dan
146 Reglement Acara Perdata Indonesia yang diperbarui (HIR), serta Pasal 168
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). tentang hubungan saksi dengan
para pihak karena keluarga
5. Kewajiban terbuka
kepada anak angkat tentang asal-usul dan orang tua asalnya (UU Perlindungan
Anak : Pasal 6 ayat (1) berserta penjelasaannya, Pasal 40 dan Nomor 54 Tahun
2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Pengangkatan Anak.
Dari uraian dan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83
yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi
anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada
Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada, Setelah permohonan
disetujui Pengadilan, maka Salinan yang telah diperoleh ini harus dibawa ke
kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Sehingga
dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam Akta
Kelahiran tersebut disamping tertulis Nama Kedua Orang Tuanya juga disebutkan
pula nama orang tua angkatnya.
Wali Nikah Bagi Anak Angkat.
Apabila anak perempuan akan melaksanakan pernikahan, maka yang
menjadi wali nikah adalah ayah kandungnya sebagaimana telah diatur dalam aturan
Hukum islam tentang pernikahan, hal ini terjadi karena dalam Hukum Islam tidak
mengenal Hukum pengangkatan anak secara penuh yang mengakibatkan dengan
pengangkatan anak tersebut memutuskan semua hubungan perdata dan hubungan
nasab. Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam
hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan
orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan
anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya, namun demikian anak
angkat dapat memperoleh pemberian harta dari orang tua angkatnya dalam bentuk
selain waris.
Masalah anak angkat ini dalam Al Qur’an
dijelaskan dalam Surat Al Ahzab ayat 4-5) yang artinya “Dan Allah sekali-kali
tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri.
Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah
yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak
mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan
maula-maula kalian….”
Dengan demikian maka apabila seorang anak
angkat perempuan akan melaksanakan pernikahan, maka yang menjadi Wali Nikah
adalah ayah kandungnya, dan boleh mewakilkan kepada ayah angkatnya untuk
menikahkannya. Demikian juga dengan penulisan dalam administrasi pernikahannya,
juga harus dicantumkan nama ayah kandung dan Ibu Kandungnya, sebab pencantuman
nama orang tua angkat sebagai orang tua kandung dapat dikatagorikan sebagai
tindak pidana pemalsuan surat surat outentik.
Izin Menikah Anak
Angkat Yang Belum Dewasa.
Usia minimal untuk menikah menurut
UndangUndang nomor 01 Tahun 1974 adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun
bagi perempuan. yang dirubah dengan UU No 16 Tahun 2019 menjadi Usia minimal untuk menikah laki laki dan perempuan adalah 19 tahun, Tetapi berdasarkan pasal
6 ayat (2) undang undang dimaksud, keduanya
harus mendapatkan izin dari kedua orang tua apabila usianya kurang dari 21
tahun. Hal ini disebabkan Orang yang belum dewasa menurut
Pasal 330 KUH Per/BW adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Meskipun perkawinan dibubarkan
sebelum mereka berumur 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa, sehingga untuk
melangsungkan pernikahan diperlukan izin dari kedua orang tua. Persoalannya
adalah untuk anak angkat, siapakah yang lebih berhak untuk memberikan izin bagi
pasangan mempelai yang usianya kurang dari 21 tahun?
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan, sehingga
apabila seseorang yang belum dewasa akan melaksanakan pernikahan, maka yang
lebih berwenang memberikan izin menikah bagi yang belum dewasa adalah orang tua
angkatnya, adapun yang menjadi wali nikah tetap ayah kandungnya (syaf)
No comments:
Post a Comment