Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) yang mengakui anak dari hubungan
diluar perkawinan, baik dari hubungan perzinahan, pernikahan siri maupun
perslingkuhan menjadi isu nasional, hal ini disamping adanya penafsiran baru
mengenai hubungan hukum anak yang dilahirkan diluar perkawinan, juga karena
pemohon dari putusan tersebut adalah artis terkenal pada tahun sembilan puluhan
( Machicha Mochtar ) dari akibat perkawinan siri yang bersangkutan dengan mantan
menteri sekretaris negara era orde baru ( Moerdiono ) dimana pernikahan siri
yang dilakukan pada tanggal 20 Desember 1993 tersebut membuahkan seorang
keturunan yang tidak diakui oleh ayah biologisnya dan diabaikan hak hak
perdatanya.
Perlu difahami kembali bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK )
Nomor 46/PUU/IX/2011 bukan merubah pasal 42 Undang undang Nomor 1 Tahun 1974,
tentang anak sah yakni “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, tetapi merubah Pasal 43 ayat
(1) Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang anak yang dilahirkan diluar
perkawinan dari bunyi asal “anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya” menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuandan
tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Sehingga dalam penentuan anak sah tetap berpedoman pada pasal 42
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan putusan Mahkamah konstitusi
mengatur kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan, khususnya bagi yang
tidak melakukan pernikahan secara sah pasca kelahiran anak sehingga sebelum
keluarnya putusan MK tidak dapat melakukan pengakuan anak yang lahir diluar
perkawinan sebagaimana telah diatur dalam Burgerlijk Wetboek ( BW ). Karenanya
anak yang lahir diluar perkawinan ( yang tidak diakui ) hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Masalah tanggung jawab suami, baik dari pernikahan resmi maupun
bukan, memang menjadi sebuah masalah tersendiri. Dan jika terjadi suatu
permasalahan dimana seorang suami meninggalkan kewajibannya, dengan
menterlantarkan keluarganya, seakan tidak ada dampak hukum kecuali dibidang
keperdataan saja. Meskipun sudah diatur dalam peraturan perundang undangan,
masalah nafkah anak yang terjadi dalam kegagalan rumah tangga, akan menjadikan
sebuah problem rumah tangga dan problem hukum yang rumit, hal ini dikarenakan
putusnya sebuah ikatan perkawinan tidak memutus hubungan dan kewajiban orang
tua terhadap anaknya, apalagi hubungan orang tua yang diakibatkan perzinahan,
kawin siri dan perselingkuhan.
Sebelum keluarnya putusan MK tersebut anak yang lahir diluar
perkawinan dapat diakui sebagai anak kandung oleh ayah biologisnya setelah
terjadi pernikahan dengan ibunya dan dituangkan sebagai catatan yang tidak
terpisahkan dengan Akta Kelahiran anaknya hal ini dimungkinkan karena pasal 66
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa segala sesuatu yang belum
diatur dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 masih berlaku, sehingga ketentuan
dalam BW mengenai pengakuan anak sebelum perkawinan masih digunakan. Dengan
keluarnya Putusan MK tersebut dapat dimaknai bahwa pengakuan anak bukan hanya
dapat dilakukan setelah diadakan perkawinan sah dari ayah biologis terhadap
ibunya, namun juga apabila tidak terjadi perkawinan yang sah antara ibunya dan
ayah biologisnya, dengan cara pembuktian
Ilmu Pengetahuan dan tehnologi atau alat bukti lain, sehingga jelas
kedudukan anak tersebut yakni meskipun hanya anak dari seorang perempuan, namun
juga diakui sebagai anak kandung dari ayah biologisnya, baik setelah kelahiran
anak dilakukan pernikahan maupun tidak.
Alasan MK dalam memutuskan perkara bertujuan untuk melindungi hak
hak anak, sebab anak dari akibat hubungan suami istri baik dalam perkawinan
maupun diluar perkawinan, sehingga tidak adil jika ayah biologis dari hubungan
diluar pernikahan dibebaskan dari tanggung jawab, dan hanya membebankan
tanggung jawab kepada Ibunya. Dengan keluarnya putusan MK ini, mau tidak mau
ayah biologis harus memberikan nafkah yang layak da dilarang keras untuk
mengabaikannya.
Persoalan yang timbul dari akibat tersebut adalah dengan diakuinya
anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya, baik terjadi
pernikahan setelah kelahiran anak maupun tidak adalah apakah hubungan
keperdataan tersebut juga hubungan nasab menurut hukum Islam?, sebab hal ini
berkaitan erat dengan wali nikah, dimana juga menyangkut sah tidaknya
pernikahan yang dilakukan oleh wali yang tidak berhak.
Tes DNA ( Deoxyribo Nucleic
Acid ) untuk mengetahui hubungan
darah, saat ini diakui sebagai salah satu mekanisme yang akurat untuk
mengetahui hubungan darah seseorang. DNA merupakan proses pemeriksaan yang
dilakukan secara ilmu kedokteran yang memperlihatkan sifat genetika sebagai
proses penurunan sifat sifat dari orang tua kepada anaknya yang dilakukan
melalui pemeriksaan. Dalam tes ini tingkat akurasi kebenaran sudah mencapai
99,9 persen dan ini sudah bisa menjadi penetapan bahwa seseorang itu mempunyai
hubungan darah dengan orang lain.
Persoalan wali nikah dari ayah kandung bukan hanya timbul dari
akibat putusan MK, namun juga perbedaan penafsiran dan maksud dari pasal 42 Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974, maupun pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, dimana mengenai anak
sah menurut adalah “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”, sehingga konsekwensi Hukumnya adalah anak
yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah meskipun dibuahi sebelum terjadinya
perkawinan ( semisal anak lahir satu hari setelah perkawinan ) dianggap anak
yang sah, sepanjang tidak ada penyangkalan dari ayahnya, hal ini sangat berbeda
dengan asal hukum Islam yang tidak mengakui hubungan hukum dari akibat
perzinahan dan perselingkuhan.
Penerapan mengenai anak sah yang berkaitan dengan wali nikah
sebagaimana diatur dalam Undang undang Nomor 1 Tahun 1974, serta diatur juga
dalam kompilasi hukum Islam, ada beberapa penafsiran yakni apakah anak sah yang
dimaksud dalam Undang undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam
tersebut dimana dengan diakuinya anak sah tersebut berarti anak tersebut
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya adalah mempunyai
hubungan nasab yang dimaksud dengan hubungan nasab menurut hukum Islam?,
konsekwensi dari maksud hubungan perdata disamakan dengan hubungan nasab dalam
hukum Islam adalah hak ayah biologis atas perwalian dalam pernikahan.
Sebab jika yang dimaksud
dalam ( terutama ) kompilasi hukum Islam mengenai anak sah dalam hubungannya
dengan keperdataan dengan suami ibunya adalah hubungan nasab menurut Hukum Islam,
maka anak tersebut bukan hanya saling mewarisi, namun apabila anak tersebut
adalah perempuan juga mempunyai perwalian dalam pernikahan. Begitu juga dengan
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai kedudukan anak yang dilahirkan diluar
perkawinan yang sah. Para Penghulu dan Kepala KUA untuk penerapan perwalian
dalam pernikahan dari anak yang lahir dalam perkawinan namun dari akibat
pembuahan sebelum perkawinan banyak yang ragu untuk mengakui mempunyai hubungan
nasab, apalagi dengan anak diluar kawin yang diakui, meskipun pengakuan anak tersebut dilakukan
oleh ayah biologisnya dan dituangkan dalam sebuah akta yang diakui sebagai akta
yang outentik.
Dalam muktamar NU ke 31 telah diputuskan bahwa tes DNA
boleh dan halal dilakukan, tetapi tidak dapat ditetapkan secara syar’i ( Hukum
Islam ) sebagai ketentuan untuk menentukan seorang itu mempunyai hubungan nasab
atau tidak dengan orang lain, dengan demikian meskipun menurut tes DNA
seseorang dapat dipastikan ayah biologisnya, namun jika pembuahan dilakukan
bukan dalam perkawinan yang sah, maka dianggap tidak mempunyai hubungan nasab.( Syaf )
No comments:
Post a Comment