PERATURAN MENTERI AGAMA NO. 1 TAHUN 1952
TENTANG
WALI HAKIM
MENTERI AGAMA
Menimbang:
1. bahwa Peraturan
Menteri Agama No 4 tahun 1947 tentang wali hakim harus dirobah, sebab tidak
sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini.
2. bahwa pengangkatan
wali hakim di daerah-daerah dengan berbagai corak, seharusnya dilakukan oleh
ahlul halli wal ‘aqdi menurut petunjuk-petunjuk agama.
Mengingat:
1. Pasal 1 ayat 2 dan
pasal 5 dari Undang-Undang No 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan
rujuk.
Memutuskan:
1. Mencabut Peraturan
Menteri Agama no 4 tahun 1947 tentang wali hakim.
2. Menetapkan
Peraturan tentang wali hakim sebagai berikut:
PERATURAN TENTANG WALI HAKIM
Pasal 1
1. Apabila
seorang mempelai perempuan tidak punya wali nasab yang berhak, atau wali yang
aqrab: mafqud, sedang menjalankan hukuman dan tidak dapat dijumpai, atau jauh
(masafat qasar) dan sebagainya maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan wali
hakim.
2. Jikalau
seorang wali nasab adhal (menolak, tidak mau menikahkan), maka nikah dari mempelai
itu boleh dilangsungkan dengan wali hakim, setelah diadakan pemeriksaan
seperlunya kepada yang berkepentingan.
Pasal 2
1. Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan, yakni para Naib yang menjalankan pekerjaan
pencatatan nikah, ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya masing-masing
untuk menjalankan nikah sebagai tersebut dalam pasal 1 ayat 1 Peraturan ini.
2. a. Penghulu pada
Kantor Urusan Agama Kabupaten ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya
untuk menjalankan nikah yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 2 Peraturan ini.
2. b. Nikah ini harus
dihadiri oleh Naib atau wakilnya dari tempat kediaman mempelai dan
pencatatannya dimasukkan dalam daftar nikah Kantor Urusan Agama itu.
Pasal 3
1. Apabila di
salah suatu Kecamatan, di luar Kotapraja Jakarta Raya Kepala Kantor Urusan
Agamanya berhalangan, sakit atau tidak ada, maka nikah wali hakim seperti
dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 dapat dilakukan buat sementara waktu oleh Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan lainnya yang ditunjuk oleh penghulu Kabupaten.
2. Apabila
Penghulu pada Kantor Urusan Agama Kabupaten berhalangan, sakit atau tidak ada,
maka penghulu muda daerah itu ditunjuk untuk menjalankan pasal 2 ayat 2
Peraturan ini.
Pasal 4
1. a. Penghulu
muda di Kotapraja Jakarta Raya ditunjuk menjadi wakil hakim dalam wilayahnya
untuk menjalankan nikah yang dimaksud pasal 1 ayat 2.
1. b. Nikah itu harus
dihadiri oleh Kepala Kantor Urusa Agama Kecamatan, atau wakilnya dari tempat
kediaman mempelai dan pencatatannya dimasukkan dalam Daftar Nikah Kantor Urusan
Agama Kecamatan itu.
2. Apabila
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan di Kotapraja Jakarta Raya yakni Naib,
berhalangan atau tidak ada, maka nikah wali hakim diselenggarakan oleh Penghulu
muda yang mewilayahinya, dengan catatan bahwa pendaftaran nikah itu dibukukan
dalam daftar Nikah Kantor Urusan Agam Kecamatan itu.
Pasal 5
Peraturan ini
disebut "Peraturan tentang wali hakim" dan berlaku di Jawa Madura
mulai tanggal 1 Pebruari 1952.
Ditetapkan di Jakarta,
tanggal 14 Januari 1952.
MENTERI AGAMA Ri
ttd
(A. Wahid Hasyim)
|
PENJELASAN
ATAS PERATURAN MENTERI AGAMA
NO 1 TAHUN 1952
TENTANG WALI HAKIM
Berhubung dengan
timbulnya pertanyaan sekitar Peraturan Menteri Agama No 1 tahun 1952 tentang
Wali Hakim maka untuk sedapat mungkin menghindarkan kekeliruan faham, kami
menganggap perlu mengeluarkan penjelasan sekedarnya atas Peraturan tersebut
sebagai berikut:
Pasal 1
Baik ayat 1 atau pun
ayat 2 dalam fasal ini semata-mata memberi uraian, di dalam hal-hal manakah
nikah mempelai perempuan dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim, dengan
perbedaan bahwa hal-hal termaksud di dalam ayat 2 berkehendak atas pemeriksaan
yang lebih jauh dan teliti daripada yang tersebut di dalam ayat 1, sebelum
nikah boleh dilangsungkan.
Di dalam Instruksi
Menteri Agama No 4 tahun 1947 tentang kewajiban-kewajiban para pegawai pencatat
nikah antara lain ditetapkan, bahwa oleh pegawai itu atau pembantu-pembantunya
harus diusahakan, supaya orang yang hendak nikah selambat-lambatnya seminggu
sebelum pernikahan dilangsungkan, melaporkan kehendak itu kepada Kenaiban
dengan maksud, agar supaya pegawai pencatat nikah atau pembantunya yang
bersangkutan lebih dahulu dapat mengadakan pemeriksaan seteliti-telitinya dan
menentukan harinya, jika perlu juga saatnya perkawinan dengan pasti untuk menghindarkan
kekecewaan bagi para mempelai berhubung dengan persiapan mereka di dalam
peralatannya.
Jika ketentuan
tersebut diadakan untuk perkawinan biasa maka lebih-lebih untuk perkawinan Wali
Hakim pemeriksaan itu hendaknya dilakukan dengan lebih teliti lagi, sebelum
mereka dapat dinikahkan, karena kesemuanya itu adalah dimaksudkan untuk
kebahagiaan mereka sendiri.
Di dalam Negara Hukum
segala sesuatu yang telah ditetapkan dengan Peraturan harus dijalankan dengan
tertib sekalipun pelaksanaannya memakan waktu dan meminta kesabaran yang cukup
dari para pelaksanaannya. Sedangkan terlaksananya hukum dengan tertib serta
kemurnian tidaklah boleh tersingkirkan atau dialahkan oleh kesulitan-kesulitan
yang menurut pikiran sehat serta ikhlas masih mungkin dapat diatasi.
Pasal 2
Di dalam ayat 1 dari
pasal ini yang ditunjuk sebagai Wali Hakim biasa untuk menjalankan nikah
sebagai termaksud di dalam ayat 1 pasal 1 ialah semua Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan (yaitu para Naib atau akting Naib), masing-masing di dalam
wilayahnya, penunjukan mana dilakukan dengan mengingat akan syarat-syaratnya
dan seimbang dengan pertanggungjawab yang ada pada mereka itu, sedangkan yang
lebih berat, yang termaksud di dalam ayat 2 pasal 1 diserahkan kepada penjabat
yang lebih tinggi, yaitu penghulu, akting atau Pejabat Penghulu pada Kantor
Urusan Agama Kabupaten/Kota Besar.
Sebutan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan di dalam peraturan ini adalah secara kebetulan saja,
karena Naib itu pada umumnya menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Berlainan halnya
dengan Penghulu. Sengaja di sini disebut Penghulu, oleh karena kedudukan Kepala
Kantor Urusan Agama Kabupaten adalah lebih mengenal soal-soal umum administrasi
dan organisasi, daripada soal-soal yang bersangkut-paut dengan urusan perkawinan.
Pasal 3
Di dalam ayat 1 pasal
ini ditentukan, bahwa di dalam hal Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang
satu berhalangan, sakit atau tidak ada, ia untuk ketika itu diwakili oleh
Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan
lainnya yang ditunjuk oleh Penghulu Kabupaten, sedangkan di dalam ayat 2
ditunjuk Penghulu Muda Kabupaten, sebagai pengganti Penghulu Kabupaten itu,
jika ia berhalangan mengingat apa yang telah diuraikan di dalam penjelasan atas
pasal 1.
Untuk mencapai
ketertiban yang termaksud di dalam penjelasan atas pasal 1 itu, haruslah para
Penghulu, Penghulu Muda dan Naib, memberikan bantuan tenaga dan usaha
sebaik-baiknya, karena terhadap hukum nikah termasuk pula urusan Wali dan Wali
Hakimnya, adalah semata-mata tanggungjawab mereka di dunia dan akhirat. Oleh
karena itu maka Naib yang telah diangkat ditunjuk sebagai akting Naib sebagai
Wali Hakim tidaklah boleh diwakili oleh penjabat di bawahannya Imam, Khotib dan
lain-lain.
Kemungkinan-kemungkinan
bahwa para mempelai, karena berhalangan Naib dalam wilayahnya terpaksa harus
menghadap kepada Naib yang lain, dapatlah kiranya dikurangkan, apabila segala
sesuatu yang dimaksudkan di dalam penjelasan atas pasal 1 dijalankan oleh para
pegawai pencatat nikah atau pembantu-pembantunya sebaik-baiknya, dengan
kesabaran dan keikhlasan yang cukup.
Tetapi, jika sesudah
dilakukan segala ikhtiar, Naib Kecamatan yang bersangkutan pada hari yang telah
ditetapkan untuk perlangsungan perkawinan berhalangan juga, maka barulah
pernikahan itu harus dilakukan oleh Naib Kecamatan lain, yang hanya ditunjuk
oleh Penghulu atau, jika ia berhalangan, oleh Penghulu Muda di tempat itu.
Baiknya penunjukkan pengganti Naib yang berhalangan, berhubung dengan apa yang
terurai di atas dilakukan secara insidentil.
Pasal 4
Cukup jelas.
Semoga penjelasan ini
cukuplah kiranya untuk menjadi pendorong bagi segenap Penghulu, Penghulu Muda
dan Naib seluruh Jawa-Madura, untuk daerah-daerah mana Peraturan Menteri Agama
No. 1 tahun 1952 dimaksudkan, guna memberikan bantuan dan usahanya masing-masing
sebaik-baiknya di dalam menjalankan serta menetapi Peraturan tersebut, dengan
keikhlasan serta kesabaran yang cukup di dalam mengatasi setiap kesulitan yang
mungkin timbul dengan tidak terduga semula.
No comments:
Post a Comment