Bagian kedelapan pada paragraph ke empat mulai Pasal 50
dan 51 Undang undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
mengatus tentang pengesahan anak. Yang bunyi lengkapnya sebagai berikut : Pasal 50 (1) Setiap pengesahan anak wajib
dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga
puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak
yang bersangkutan melakukan perkawinan dan
mendapatkan akta perkawinan. (2) Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang
orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum
negara. (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan
kutipan akta pengesahan anak.
Berdasarkan
penelitian penulis terhadap pengesahan anak yang terjadi di Catatan Sipil
Kabupaten Banyuwangi, sebagai salah satu contoh adalah Akta Kelahiran Nomor
14457/I/2010/05 tanggal Sembilan juni tahun 2010 tentang kelahiran anak pertama
dari seorang perempuan yang lahir pada tahun 2005, yang kemudian perempuan
tersebut menikah dengan laki laki yang mengakibatkan anak tersebut lahir
tersebut pada bulan Juni tahun 2010, kemudian diurus pengesahan anak oleh kedua
orang tuanya tanpa harus melalui sidang pengesahan nikah di Pengadilan, dan
muncul catatan pinggir dari akta kelahiran dimaksud yang intinya bahwa
berdasarkan Daftar Pengesahan anak Nomor 14/2011 tercatat pengesahan anak
pertama oleh seorang laki laki sebagai anak kandung kesatu saat terjadi
perkawinan dengan Ibunya yang dilangsungkan di KUA Kecamatan pada tahun 2010.
Dari
Pengesahan anak diluar pernikahan tersebut dapat dipahami bahwa catatan sipil
masih memperhatikan ketentuan mengenai pengesahan anak anak luar kawin
sebagaimana diatur Burgerlijk Wetboek
( BW ) atau Kitab Undang Undang Hukum perdata, sehingga sebagaimana diatur
dalam 277 Burgerlijk Wetboek ( BW ),
berbunyi : “Pengesahan anak baik dengan
kemudian kawinnya Bapak dan Ibunya, maupun dengan sarat pengesahan menurut
pasal 274, mengakibatkan bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan
ketentuan undang undang yang sama seolah olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan”.
Hal ini diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor
46/PUU/IX/2011 tentang anak sah, dimana MK tetap mempertahankan pasal 42 Undang
undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang anak sah
yakni “anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, tetapi MK merubah
Pasal 43 ayat (1) Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang anak yang dilahirkan
diluar perkawinan dari bunyi asal “anak
yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya” menjadi “anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan
laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuandan
tehnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Sehingga menurut
penulis, dengan keluarnya Putusan Mahkamah konstitusi tersebut seorang anak
yang dilahirkan yang diluar perkawinan juga mempunyai hubungan perdata terhadap
laki laki yang mengakibatkan dia dilahirkan jika dapat dibuktikan secara hukum.
Pengesahan
anak yang dilakukan seorang ayah terhadap anak biologisnya sesuai dengan
ketentuan Burgerlijk Wetboek ( BW )
hanya dapat dilakukan apabila laki laki tersebut menikahi Ibu dari anak yang
bersangkutan dengan dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah ( Akta Perkawinan ),
hal mana tidak dapat dilakukan apabila yang bersangkutan tidak dapat
melaksanakan pencatatan pernikahannya. Pengesahan sebagai anak kandung ini
dilakukan sebagai rasa pengakuan yang bersangkutan dan tanggung jawab yang
bersangkutan bahwa anak yang lahir dari istri/calon istrinya adalah benar anak
biologis dari laki laki tersebut, sehingga dengan adanya pengesahan anak ini
menurut Burgerlijk Wetboek ( BW ),
laki laki tersebut mempunyai tanggung jawab yang sama dengan anak kandung yang
dilahirkan setelah terjadinya pernikahan.
Dalam hal tidak terjadi pengesahan pernikahan
atau kedua orang tua tidak menikah, Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan
perkara bertujuan untuk melindungi hak hak anak, baik anak yang lahir dari
akibat hubungan suami istri baik dalam perkawinan maupun diluar perkawinan,
sehingga tidak adil jika ayah biologis dari hubungan diluar pernikahan (yang
tidak melakukan pengesahan anak saat pernikahan dengan Ibu dari anak dimaksud
atau tidak melakukan pernikahan dengan Ibu yang melahirkan anak dimaksud)
dengan dibebaskan dari tanggung jawab, dan hanya membebankan tanggung jawab
kepada Ibunya. Dengan keluarnya putusan MK ini, mau tidak mau ayah biologis
harus memberikan nafkah yang layak da dilarang keras untuk mengabaikannya.
Persoalan yang
timbul dari akibat tersebut adalah dengan diakuinya anak tersebut mempunyai
hubungan perdata dengan ayah biologisnya, baik terjadi pernikahan setelah
kelahiran anak maupun tidak adalah apakah hubungan keperdataan tersebut juga
hubungan nasab menurut hukum Islam?, sebab hal ini berkaitan erat dengan wali
nikah, dimana juga menyangkut sah tidaknya pernikahan yang dilakukan oleh wali
yang tidak berhak. Dalam Hukum Islam dikenal dengan adanya hubungan nasab
antara anak dan orang tuanya, secara normal kelahiran seorang anak dapat
terjadi setelah hubungan suami istri yang dilakukan oleh pasangan yang sudah
menikah, namun secara kodrati kehamilan dapat terjadi setelah hubungan seks
yang dilakukan laki=-laki dan perempuan baik dalam pernikahan maupun diluar
pernikahan.
Persoalan wali
nikah dari ayah kandung bukan hanya timbul dari akibat adanya pengesahan anak
menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata maupun putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU/IX/2011 , namun juga
perbedaan penafsiran dan pemahaman sebagaimana dimaksud dari pasal 42 Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974, maupun pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, dimana mengenai anak
sah menurut adalah “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah”, sehingga konsekwensi Hukumnya adalah anak
yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah meskipun dibuahi sebelum terjadinya
perkawinan ( semisal anak lahir satu hari setelah perkawinan ) dianggap anak
yang sah, sepanjang tidak ada penyangkalan dari ayahnya, hal ini sangat berbeda
dengan asal hukum Islam yang tidak mengakui hubungan hukum dari akibat
perzinahan dan perselingkuhan.
Penerapan
mengenai anak sah yang berkaitan dengan wali nikah sebagaimana diatur dalam
Undang undang Nomor 1 Tahun 1974, serta diatur juga dalam kompilasi hukum Islam,
ada beberapa penafsiran, yakni apakah anak sah yang dimaksud dalam Undang
undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam tersebut dimana dengan
diakuinya anak sah tersebut berarti anak tersebut mempunyai hubungan perdata
dengan ayahnya dan keluarga ayahnya adalah mempunyai hubungan nasab yang
dimaksud dengan hubungan nasab menurut hukum Islam?, konsekwensi dari maksud
hubungan perdata disamakan dengan hubungan nasab dalam hukum Islam adalah hak
ayah biologis atas perwalian dalam pernikahan.
Sebab jika yang dimaksud dalam ( terutama )
kompilasi hukum Islam mengenai anak sah dalam hubungannya dengan keperdataan
dengan suami ibunya adalah hubungan nasab menurut Hukum Islam, maka anak
tersebut bukan hanya saling mewarisi, namun apabila anak tersebut adalah
perempuan juga mempunyai perwalian dalam pernikahan. Begitu juga dengan putusan
Mahkamah Konstitusi mengenai kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan
yang sah. Para Penghulu dan Kepala KUA untuk penerapan perwalian dalam
pernikahan dari anak yang lahir dalam perkawinan namun dari akibat pembuahan
sebelum perkawinan banyak yang ragu untuk mengakui mempunyai hubungan nasab, apalagi
dengan anak diluar kawin yang diakui,
meskipun pengakuan anak tersebut dilakukan oleh ayah biologisnya dan
dituangkan dalam sebuah akta yang diakui sebagai akta yang outentik.
Dalam hal ini
penulis berpendapat bahwa hubungan perdata berbeda dengan hubungan nasab, yakni
jika seseorang mempunyai hubungan nasab, maka secara otomatis mempunyai
hubungan perdata, namun hubungan perdata dari akibat pengesahan anak luar kawin
tidak secara otomatis (terutama dalam hal pernikahan) tidak berakibat yang
bersangkutan secara otomatis berhak menjadi wali nikah dari anak perempuan yang
dilahirkan diluar perkawinan tersebut, hal ini sangat berbeda dengan status
hukum tentang adanya pernikahan yang dilakukan sebelum terjadinya kehamilan
yang tidak diawasi oeleh pejabat yang berwenang ( nikah siri ) yang hanya sah
menurut hukum masing masing agamanya dan kemudian disahkan oleh Pengadilan,
sehingga anak yang lahir tersebut termasuk anak sah yang mempunyai hubungan
nasab dengan ayah kandungnya, dan dalam Akta Kelahiran anak yang lahir dari
pernikahan yang disahkan oleh Pengadilan Agama ini bukan anak luar kawin yang
diakui oleh ayah kandungnya, tetapi tertulis anak kandung dari pernikahan kedua
orang tuanya.
No comments:
Post a Comment