Penutupan Lokalisasi Merupakan Sebuah Keniscayaan ( Radar Banyuwangi )
Saya telat datang dalam pertemuan rutin yang dilakukan FSUB (Forum Silaturahim Umat Beragama) Kecamatan Cluring yang juga diikuti Forum Pimpinan Kecamatan serta para Tokoh pemuda yang dilaksanakan di Pendopo Kecamatan Cluring beberapa waktu yang lalu, meskipun saya dapat mendengarkan semua paparan dari para peserta yang fokus pada permasalahan adanya lokalisasi yang ada di wilayah Kecamatan Cluring yang juga konon merupakan lokalisasi terbesar kedua yang ada diwilayah Kabupaten Banyuwangi, yang membuat nama lokalisasi tersebut lebih terkenal daripada nama desanya, yang juga memberikan kontribusi terhadap Anggaran Pendapatan Desa, yang memberikan penghidupan bagi warga yang mengggantungkan hidupnya pada bisnis haram tersebut, baik para PSK yang oleh salah satu pemapar diskusi disebut senok, para germo yang yang memperbudak para senok dengan tidak manusiawi, para centheng yang bertindak sok pahlawan yang konon bertindak membela hak hak para lonthe di tempat lokalisasi.
Adanya Lokalisasi tersebut juga membuat tempat yang ada di pelosok tersebut ramai dikunjungi orang, sehingga beberapa penduduk setempat dapat menjajakan dagangan kepada para penikmat syahwat haram yang dijajakan para lonthe yang tentunya membutuhkan beberapa keperluan hidup selama di lokalisasi, membutuhkan beberapa makanan dan minuman yang tidak dijual secara bebas diluar lokalisasi, dan juga membuat beberapa warga sekitar malu karena lahir dan bertempat tinggal disekitar lokalisasi yang dianggap bermoral bejat sama dengan para lonthe, germo dan centheng lokalisasi, membuat beberapa penyakit menular seperti HIV (Human Immunodefficiency Virus) sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deviciency Synndrome) menyebar kepada masyarakat tak bedosa, karena suami, atau bapaknya sering wisata di lokalisasi.
Sambil mendengarkan pemaparan anggota FSUB, terlintas juga dalam pikiran, kenapa juga lokalisasi tersebut harus ditutup secara resmi, toh dulu waktu didirikan sepertinya juga tidak dimulai dengan musyawarah yang melibatkan para tokoh agama dan semua elemen masyarakat, sepertinya lokalisasi adalah tempat yang istimewa, sehingga harus ditutup secara resmi oleh pejabat, Toh seharusnya para Lonthe yang mereka sendiri terasa malu jika disebut Lonthe ataupun senok dan germonya itu bubar sendiri, tanpa harus dibubarkan oleh aparat, tanpa harus ditutup oleh pejabat, tanpa harus di demo oleh masyarakat.
Alih Fungsi dan Alih Profesi.
Usulan alih fungsi lokalisasi menjadi lokasi non maksiat yang tetap dapat dijadikan sandarah hidup warga sekitar nampaknya juga menemui banyak kedala, hal ini dikarenakan lokasi lokalisasi yang terpencil yang memang pas untuk tempat maksiat, begitu juga dengan alih profesi para germo dan lonthe yang meskipun tidak jadi mucikari dan Pekerja Sex Komersial mereka tidak akan mati. Hal ini dikarenakan tidak adanya ketegasan dari pengambil kebijakan ( Pemerintah ) untuk membubarkan ( kalau tidak mau dengan istilah penutupan ) lokalisai, sehingga akan lebih mudah bagi para germo dan lonthe melakukan alih profesi untuk menyambung hidup, sebab jika tetap seperti sekarang dimana akan diberikan bantuan dana bagi yang mau bertobat untuk meninggalkan profesi hina yang dilakukannya, akan sulit dilakukan, sebab profesi maksiat akan lebih menggoda dilakukan daripada profesi lainnya, apalagi jika terus berdatangan pendatang baru dilokalisasi dimaksud.
Beberapa usulan alih fungsi lokalisasi nampaknya juga sulit dilakukan, hal ini dikarenakan lahan tersebut merupakan lahan hak milik beberapa warga, dan jika dialih fungsikan menjadi lokasi yang dapat mendatangkan banyak orang juga akan sulit terwujud, hal ini dikarenakan letak lokasi yang jauh dari akses jalan utama, ditambah tidak adanya daya tarik wisata selain para PSK, misalkan akan dijadikan pasar, siapa yang akan berbelanja???, atau jika dijadikan tempat wisata non maksiat, siapa yang mau berinvestasi ditempat yang sepi? andai juga dijadikan pekuburan khusus penderita HIV, para keluarga dan pemilik lahan dan warga sekitar juga tidak akan rela, sebab Orang yang terkena HIV yang oleh masyarakat akan digebyah uyah sebagai orang yang berperilaku buruk, orang yang terkena penyakit kutukan. Bahkan keluarganya yang tidak berdosa dan tidak berpenyakitpun juga terkena imbas untuk dijauhi oleh masyarakat, apalagi jika pekuburannya dijadikan satu dalam satu lokasi, masyarakat akan takut dating ke pekuburan tersebut.
Alih profesi para PSK dapat dilakukan dengan cara memberikan bekal keterampilan kepada para PSK tersebut pasca penutupan atau pembubaran, bukan saat para lonthe tersebut aktif menjadi PSK, hal ini disebabkan jika pemberian bekal keterampilan dilakukan pasca penutupan atau pembubaran, para bekas PSK akan lebih focus dan lebih bersungguh sungguh untuk menekuni profesi baru yang lebih bermartabat, begitu juga dengan para germo/mucikari dan orang orang yang menggantungkan hidupnya dari bisnis bejat tersebut.
Melebarnya dampak sosial yang ditimbulkan dari penutupan atau pembubaran lokalisasi, kekhawatiran para lonthe tetap beroperasi diperkampungan atau merebaknya perzihahan pada masyarakat, namun setidak tidaknya lokasi yang dianggap legal untuk melakukan perzinahan sudah tidak ada lagi, sehingga jika ada peristiwa dimaksud diserahkan kepada kearifan local dari masing masing wilayah. Begitu juga dengan penyebaran penyakit berbahaya menular dari akibat prostitusi, dengan pembubaran lokalisasi, bukan berarti pengidap HIV/AIDS tidak dideteksi oleh petugas kesehatan, sebab fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pengidap HIV/AIDS sudah tidak berada di lokalisasi.
Pencegahan penyebaran HIV dan IMS (Infeksi menular seksual) bukan sekedar mendata jumlah PSK yang ada dilokalisai, mendata tempat tinggal dan aktifitas pasca pembubaran lokalisasi, namun seharusnya juga laki-laki yang telah menikmati PSK tersebut juga harus didata, seharusnya dilokalisasi juga disediakan semacam resepsionis untuk mendata semua tamu yang berkunjung lengkap dengan identitasnya, sehingga dapat dideteksi kemungkinan penyebaran penyakit tersebut kepada keluarganya.
Waktu tiga bulan yang disepakati dalam Rapat FSUB untuk pembubaran lokalisasi sudah merupakan waktu yang cukup longgar bagi para lonthe untuk memulai hidup baru, tanpa harus menunggu masyarakat ikut membubarkan lokalisasi tersebut, tanpa harus menunggu aparat pemerintah menutup akses menuju lokalisasi. Meskipun dalam pertemuan FSUB tidak melibatkan pihak yang kontra terhadap penutupan atau pembubaran lokalisasi, namun FSUB yang beranggotakan semua unsur Ormas dari berbagai Agama dan aparat pemerintah sudah sangat cukup sebagai alas an untuk pembubaran tempat maksiat, sebab tidak ada satu agamapun yang membolehkan adanya lokalisasi, dan tidak ada aturan perundang undangan yang melegalkan prostitusi.
No comments:
Post a Comment