Selamat Datang Pada BLOG SYAFA'AT semoga bermanfaat
Home » » Film I Love Banyuwangi

Film I Love Banyuwangi

Lihat Videonya 
Film Banyuwangi I’m in Love?

Seorang teman di Jakarta berujar, “Wah, bagus sekali view Banyuwangi dalam film itu?” Teman saya langsung menyahut, “Wah luput itu. Itu bukan Banyuwangi.”
Itu memang bukan Banyuwangi. Banyuwangi jauh lebih indah, jauh lebih memukau, dan jauh lebih memesona. View Banyuwangi luar biasa, bahkan melebihi Bali.
Ini tentang film. Film bertema Banyuwangi yang digarap orang-orang yang katanya profesional. Banyuwangi I’m in Love, begitu judul film tersebut. Tentu para pembaca sudah tahu film itu, karena ditayangkan di salah satu televisi swasta secara nasional, tepatnya 5 April siang hari.

Tulisan ini sengaja disusun setelah tukang becak dan tukang sayur tidak memperbincangkan film itu lagi, setelah Facebook dan twiter sepi dari hujat-menghujat film tersebut. Jika disusun saat isu film itu masih hangat, saya khawatir akan ada kubu yang pro dan kontra.

Sesungguhnya bukan kali ini saja Banyuwangi menjadi setting film nasional. Tetapi, kiranya baru kali ini kata “Banyuwangi” menghiasi judul film. Paling tidak dalam dua dekade terakhir. Membanggakan bukan? Tentu, saya pun bangga. Tetapi, apa sebetulnya tujuan film tersebut? Jika sebagai upaya promosi, maka layak diacungi jempol. Tetapi, apa yang dipromosikan film tersebut? Itulah yang layak diperbincangkan.

Lantaran film tersebut mengandung kata “Banyuwangi”, maka semua manusia yang bernama “wong Banyuwangi” berhak merespons dan berkomentar. Tidak terkecuali, tukang becak dan tukang sayur yang tidak memahami ilmu perfilman sekalipun. Sebab, ini bukan Amerika yang memberi kebebasan kepada para sutradara untuk membuat film seenak udelnya. Di Amerika, meski sebuah film menyimpang dari kenyataan dan menyudutkan presiden, itu tidak masalah. Asalkan berlabel “imajinasi”, semua boleh-boleh saja. Pun jika film tersebut mengandung unsur pornografi.

Tetapi, di Dunia Timur, termasuk Indonesia, penciptaan karya sastra (termasuk film) tidak diberi kebebasan melainkan “kewenangan”, yaitu kebebasan yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Jika cerita yang disajikan jauh dari kenyataan, menyinggung golongan dan mencederai budaya tertentu, maka semua makhluk yang bernama manusia berhak merespons.

Nah, kembali ke Banyuwangi I’m in Love. Ternyata penayangan film tersebut di-broadcast di salah satu perusahaan seluler terbesar di Indonesia. Sehingga, tidak sedikit warga Banyuwangi yang mendapat SMS dari operator agar menonton film tersebut. Terlihat bahwa film itu telah direncanakan dan terorganisasi dengan baik. Tentu ada campur tangan pihak di daerah.

Nah, jika dukungan itu hanya sekadar dukungan moral, dan film tersebut murni karya sang sutradara, maka tidak ada yang perlu dibicarakan. Namun, jika film itu pesanan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, maka itu menarik dibicarakan. Sebab, itu satu keputusan yang kurang kreatif. Seolah di Banyuwangi tidak ada yang bisa membuat film. Seolah tidak ada komunitas yang melek film. Padahal, hampir semua sekolah SMA di Bumi Blambangan ini bisa membuat film. Banyak pula komunitas yang bisa menghasilkan film yang sangat bagus dan tidak kering budaya.

Mereka hanya butuh dorongan dan sedikit suntikan dana. Ingat, pembuatan film tidak sesulit yang dibayangkan. Apalagi hanya film sekelas FTV yang tidak memerlukan efek audio-visual yang berlebihan. Hanya butuh dubing yang sederhana. Perlu juga diketahui bahwa menayangkan film di televisi tidak sesulit yang dibayangkan.
Film sesungguhnya alat komunikasi modern yang sangat ampuh. Amerika, Hongkong, dan India adalah beberapa negara yang melejit karena industri film. Tetapi, perlu diketahui bahwa film Tiongkok bisa diidentifikasi hanya dengan melihat pakaian yang digunakan para pemain. Film Jepang bisa diidentifikasi hanya dengan melihat nama-nama para tokoh. Film Amerika bisa diidentifikasi dengan bahasa yang digunakan. Tetapi, apa indikator yang bisa mengidentifikasi Banyuwangi dalam film Banyuwangi I’m in Love? Saya kira tidak ada.

Cerita yang digerakkan sutradara hanyalah cerita populer (tidak berisi) dan tidak ada yang menarik. Film tersebut justru mengidentifikasi Jakarte, bukan Banyuwangi, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Betawi. Film tersebut juga lebih mengidentifikasi Jogjakarta, karena dialek tokoh utama dan keluarganya adalah dialek Jogjakarta. Baju yang digunakan para tokoh sama sekali tidak mengidentifikasi Banyuwangi. Pun nama-nama tokoh tidak mencerminkan nama orang Banyuwangi, melainkan Jogjakarta. Lihat saja nama Ajeng dan Iyem.

Belum pernah kiranya tokoh dalam film India bernama Ronal dan Michael, pasti Vijai dan Mukerji. Film Jepang nama tokohnya pasti Imamoto dan Takesi, bukan Paijo dan Paidi. Sebab, nama mengidentifikasikan latar belakang dan budaya.

Terkait setting; jika film tersebut upaya promosi pariwisata, tentu setting yang digunakan adalah Banyuwangi, bukan daerah lain. Nah, jika setting-nya daerah lain, apa sesungguhnya yang dipromosikan? Pembuatan film yang menyangkut tokoh, budaya, dan agama, selayaknya didahului sebuah riset yang mendalam. Tujuannya, agar skenario yang dihasilkan sesuai empiris dan tidak kekeringan budaya.

Namun demikian, tidak ada gading yang tak retak dan tidak ada tuyul yang tak botak. Bagaimanapun film tersebut harus tetap dihargai. Upaya mempromosikan Banyuwangi ke mata dunia adalah perbuatan mulia. Terlepas dari segala kekurangannya, saya yakin film itu telah mendorong ide kreatif putra daerah untuk membuat film yang jauh lebih baik. Sudah saatnya dunia digerakkan dari Banyuwangi. Ayo dimulai sekarang!

Penulis: MH Qowim (Copy Editor Jawa Pos Radar Banyuwangi)
Selengkapnya 
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

No comments:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2013. Blog Syafa'at - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger