Selamat Datang Pada BLOG SYAFA'AT semoga bermanfaat
Home » » WAHDAT AL-ADYAN

WAHDAT AL-ADYAN


WAHDAT AL-ADYAN
PLURALISME DALAM DUNIA SUFI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester Gasal
Pada Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Guru Besar Pengampu : PROF.DR. HJ.TSUROYA KISWATI, M.A.


 









Oleh :
MOHAMMAD FAUZI
FO.6.4.09.076

Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Konsentrasi : Aqidah Akhlaq

PROGRAM PASCA SARJANA
IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN 2010




WAHDAT AL- ADYAN :
PLURALISME DALAM DUNIA SUFI

I.                  PENDAHULUAN
Semakin merebaknya konflik dan ketegangan di berbagai belahan dunia dewasa ini, dengan berbagai latar belakang, modus, pola dan karakternya,  menjadikan kita harus makin serius mencarikan solusi. Menarik diamati, bahwa konflik dan ketegangan tersebut hampir selalu melibatkan agama dan politik. Agama yang pada asalnya diturunkan untuk kemaslahatan manusia, justru seringkali menjadi vareabel penting dari munculnya perang, gnosida, aneksasi, terorisme dan semacamnya.
Kepentingan mencari solusi tersebut juga dirasakan oleh hampir setiap Negara-bangsa (nation-state) yang mengimpikan kehidupan kemanusiaan yang damai, sejahtera dan harmoni.
Akhir-akhir ini muncul pemikiran tentang etika global (Global-ethic) yang dikenal juga dengan Teologi Global ( Global Theology ) atau etika bersama (Common Etic)[1]. Pemikiran ini  juga didasari oleh keprihatinan akan masa depan ummat manusia yang terus-menerus dihantui ketidak-pastian oleh karena prilaku manusia sendiri. Peradaban modern yang agung-agungkan, ternyata hanya mengantarkan manusia ke jurang kehancurannya sendiri. Sementara ideologi-ideologi besar yang semula  dianggap bisa menyediakan pandangan hidup yang lebih menjanjikan, justru sebaliknya, semakin menjauhkan manusia dari identitas primordialnya sendiri, sekalipun tetap dianut oleh bagian terbesar ummat manusia. Etika Global menawarkan  sebuah konsep yang terbuka, universal dan melintasi batas-batas lokal.
Hanya saja masalahnya adalah bahwa konsep Etika Global tersebut hanya akan bisa landing di dalam masyarakat yang menyadari pluralitas. Jika Etika Global bisa diibaratkan sebuah tanaman, maka pluralisme adalah lahannya.  Pluralisme merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan, jika kita ingin menyemai bibit-bibit kadamaian di masa mendatang. Pluralisme adalah paham yang mengakui kenyataan pluralistik.
Penolakan terhadap paham pluralisme, didasari alasan bahwa ia merupakan ideology yang lahir dari Kristen- Barat, dan oleh karenanya ia mengandung berbagai ajaran yang bertentangan dengan keyakinan Islam, seperti ajaran bahwa semua agama benar, semua agama sama dan sebagainya. Para pelopor pluralisme juag adalah para teolog Kristen sepeti W.C.Smith, John Harwood Hick, Hans Kung, Leonard Swindler. Fatwa MUI mengenai pengharaman mengikuti paham Pluralisme juga didasari kekhawatiran akan munculnya sinkretisme.
Secara umum, penerimaan  terhadap pluralisme bisa dirumuskan dalam tingkat dan perspektif  yang berbeda-beda.[2]
Pertama, perspektif Agama Publik ( public religion). Gagasan ini sebenarnya adalah reaksi terhadap skularisasi agama yang dalam hal kredo dan sistem peribadatan telah mengalami skularisasi dan privatisasi, namun lewat bagian-bagian tertentu, agama ingin diwjudkan kembali dalam kehidupan publik, di tingkat kebangsaan maupun global. Tetapi berbeda dengan agama privat yang sifatnya suci, konsep agama privat bersifat profan. Di dalam dunia Islam, konsp “ekonomi syari’ah” dapat disebut sebagai salah satu contoh Agama public yang bisa diikuti tidak saja oleh orang Islam, tetapi juga pemeluk agama lain. Dosen-dosen ekonomi syari’ah di Wollongong University Australia, adalah para pastor. Pada tahap ini, ekonomi syari’ah dianggap sebagai suatu “kebenaran obyektif”. Dalam teorinya, unsure-unsur agama lain, misalnya manajemen Taoisme, dapat pula diintegrasikan ke dalam ekonomi syari’ah, sepanjang tidak menyangkut aqidah yang mensyaratkan keimanan, sebab ekonomi syari’ah sendiri juga tidak mensyaratkan keimanan. Ekonomi syari’ah dilaksanakan oleh City Bank atau HSBC (Hongkong Shanghai Banking Corporation), bukan karena nasabah percaya kepada kebenaran ayat suci Al-qur’an, melainkan karena penilaian bahwa sistim syari’ah itu mencerminkan keadilan dan kebersamaan.
Kedua, perspektif Agama Kewargaan (civil religion). Konsep ini berkembang di Amerika serikat. Bahan bakunya diambil dari ajaran agama Kristen dan Yahudi yang telah “dibumikan” dan mengalami rasionalisasi dan obyektivasi dalam konteks Amerika serikat. Dalam masyarakat yang lebih plural, bahan bakunya bisa digali dari semua agama-agama dunia. Konsep ini menghimpun semua elemen kebenaran inklusif dari semua agama untuk dijadikan pedoman prilaku bagi warga Negara. Tapi “agama” ini tidak disucikan sebagai aqidah keagamaan. Namun pihak Kristen banyak yang keberatan dengan konsep ini, karena dianggap melemahkan kedudukan agama-agama, khususnya Kristen.
Perspektif ketiga adalah harapan terbentuknya Etika global (global etihic). Konsep ini sebenarnya berlatar belakang Eropa, karena di kawasan itu, agama-khususnya Kristen- mengalami marjinalissasi yang ditandai oleh tutupnya greja-greja, karena sepi pengunjung. Masyarakat Eropa tidak lagi menjadi penganut agama formal, tapi mengikuti etika umum. Di Jepang, agama-agama Shinto, Budha atau Konfusianisme, juga mulai menyurut sebagai agama formal, ttapi masyarakat Jepang memiliki etika yang sangat tinggi. Di tingkat global, agama formal tampaknya juga menyurut, karena banyaknya konflik, tetapi spiritualisme semakin marak.
Keempat, perspektif yang paling dikenal dari pluralisme adalah untuk mencapai kesetaraan agama-agama, toleransi dan kerukunan antar umat beragama serta kerjasama untuk kepentingan bersama yang di Indonesia didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan menyadari perbedaan maupun persamaan agama-agama, terbuka ruang bagi dialog.
Perspektif kelima, yang menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan ini, adalah perspektif kesatuan agama-agama (unity of religion, wahdat al-adyan). Konsep ini telah lama berkembang, terutama di dunia Sufi. Konsep ini berusaha melihat agama dari sudut pandang spiritualisme dan kedalaman makna. Terdapat banyak dogma, hukum, moral, ritus agama dan ekspresi yang berbeda-beda, akan tetapi jauh di kedalaman masing-masing terdapat “common ground” yang mempertemukan semuanya.
Filsafat perennial, menurut Charles B. Schmitt[3], diperkenalkan pertama kalinya oleh Agostino Steuco dengan karyanya De perenni philosophia (mengenal Filsafat Abadi) dan diterbitkan pada tahun 1540. Pada akhir abad 20 Ananda Kentish Commaraswamy dan Rene Guenon mengeksplorasi ide tersebut dengan beberapa istilah Philosophia Perennis ( Filsafat Abadi) dan Primordial Tradition (Tradisi Primordial).
Ide ini begitu populer di tangan seorang jenius besar  Frithjof Schuon yang kemudian menjadi muslim dengan nama Muhammad Isa Nuruddin. Pandangannya tentang hal ini bisa dibaca dalam berbagai karyanya yang mendapat banyak pujian. Antara lain;  Islam and The Perennial Philosophy[4], Understanding Islam, dan The Transendent Unity of Religions[5].
Sesungguhnya, konsep hubungan antar ummat beragama telah digagas oleh para Sufi sejak lama. Dalam khazanah tasawwuf, terutama tasawwuf falsify, banyak sekali tebaran pemikiran yang bisa dijadikan pijakan dalam merenda hubungan antar ummat beragama. Para Sufi, dengan menekankan pandangan esoteric, melihat segala sesuatu dengan sangat terbuka, tulus dan tanpa hambatan apapun.
Salah satu untaian pemikiran tasawwuf yang mengambarkan paham mereka tentang  pluralisme adalah Wahdat al-adya>n.                       

II.   WAH{DATUL ADYA<N
A. Dasar-dasar Filosofis Wah{dat al-adyan
         1.  Al-Wahdah
Dalam dunia tasawwuf, dikenal konsep al-wahdah ( kesatuan) seperti wahdat al-wuju>d, ittiha>d, wahdat al-shuhu>d, wahdat al-ummah dan wahdat al-adya>n. Menuru Ahmad Amin[6], konsep al-wahdah ini dijiwai oleh kalimat tauhid, La ilaha illallah yang berarti tdak ada Tuhan selain Allah. Kalimat tauhid yang mengandung makna negasi dan affirmasi ini, bermakna penegasan dan pengakuan akan hanya adanya satu Tuhan. Konsep kesatuan Tuhan ini membawa konsekwensi  penegasan akan adanya kesatuan ajaran dan cita-cita.
Wahdat al-wuju>d adalah konsep yang diperkenalkan oleh Ibnu Araby, seorang sufi besar dari Andalusia. Konsep ini akan bisa dipaham dengan baik, jika kita memahami teori emanasi yang dijadikan dasar pijakkannya[7], juga konsep al-jam’u bain al-addad ( coinsidentia oppositorum)[8].Konsep ini lalu dikembangkan oleh Ibnu Sab’in dengan al-wahdat al-mutlaqah dan Ibn al-farid dengan konsep wahdat al-shuhu>d.[9]
Martir Sufi Al-Hallaj juga memperkenalkan konsep Hulu>l ( infusion) sebagai puncak dari pengalaman sufi. Baginya, dalam diri manusia ada dua potensi dasar yang saling melengkapi; unsur nasu>t (kemanusiaan) dan unsur lahu>t (ketuhanan). Nasut mengandung tabiat kemanusiaan, baik yang rohani maupun jasmani. Tuhan tidak dapat menyatu dengan tabi’at ini, kecuali dengan jalan “melimpahkan” diri atau “dengan jalan merasuknya roh suci yang bersemayam dalam ruh jasmani”[10]

2.      Haqiqat Muhammadiyah

Haqiqat berarti “makna sesungguhnya dari sesuatu” sebagai lawan dari makna maja>zy>.[11] Yang dimaksud Haqiqat Muhammadiyah dalam konteks pembahasan ini adalah keyakinan akan adanya substansi  yang bersifat hakiki di alam azaly.[12] Dalam Shorter Encyclopedia of Islam, diartikan sebagai “ The tehnical term for the pre-existence of the soul of the prophet Muhammad; the predestined essence of the last of the prophet is said to have been created first of all, in the form of a dense and luminous point; all the predestined souls are said to have emanated from this.[13].

Haqiqat Muhammadiyah pertama kali diperkenalkan oleh Al-Hallaj, setelah konsepnya yang lain, Hulul. Bagi Al-hallaj, bahan dasar dari alam ini adalah Nur Muhammad. Ia merupakan cahaya purbayang melewati nabi satu ke nabi yan lain, dan berlanjut sampai kepada para imam / wali, yang merupakan rantai pentahbisan (silsilah). Cahaya ini melindungi paa Nabi dan para Imam dari perbuatan dosa atau maksum, dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tenang rahasia-rahasia Ilahi.[14]
Menurut Al-Hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat, yakni, pertama, hakikat cahaya azali yang telah ada sebelum adanya segala sesuatu dan menjadi landasan ilmu dan ma’rifat. Kedua, Hakikat yang baru dalam kedudukannya sebagai seorang Nabi, pada waktu dan ruang tertentu. Cahaya yang pertama itulah yang menjadi landasan semua para nabi dan para imam / wali yang lahir sesudahnya.[15]Dalam syair indahnya Al-Hallaj mendendangkan :

“Tha’ mim Sin
Sinar cahaya gaibpun tampak dan kembali
Sinar itupun melintas dan mendominasi segala sesuatu
Sebuah bulan bersinar cemerlang di antara berbagai bulan
Zodiaknya ada dalam  bintang rahasia
Yang Maha benar memberi nama “Ummy” (yang tidak ditandai dengan huruf)
Kepada sinar itu, untuk menghimpun aspirasi-Nya
Dan dia juga diberi nama “Hurmy” ( Muhammad )
Karena keagungan karunia-Nya
Serta “Makky” karena tempat kelahirannya pada kedekatan-Nya[16]




Lebih lanjut dia menegaskan,
انوارالنبوة من نوره برزت وانوارهم من نوره ظهرت وليس في الانوار نوراانورواظهرواقدم من القدم سوى نورصاحب الكرم همته سبقت الهمم ووجوده سبق العدم واسمه سبق الكلم لانه كان قبل الامم  العلوم كلها قطرة من بحره الحكم كلها غرفة من نهره الازمان كلها ساعة من دهره    الحق به الحقيقة هوالاول فىالوصلة هوالاخرفى النبوة والباطن بالحقيقة والظاهربالمعرفة[17]
Konsep Haqiqat Muhammadiyah juga disuarakan oleh Ibnu ‘Araby, seorang sufi filosofis yang banyak dipengaruhi oleh Al-Hallaj. Bagi Ibnu ‘Araby, Nur Muhammad adalah inti yang aktikf dalam setiap pewahyuan dan inspirasi. Nur Muhammad merupakan jalan yang dilalui semua pengetahuan suci diturunkan kepada semua nabi dan orang-orang suci. Hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan Jawami’ al-kalim / aveba dei (firman universal)[18].
Argumen-argumen yang diajukan oleh para sufi, mengenai Haqiqat Muhammadiyah / Nur Muhammad antara lain : ayat 46 dari surat al-ahzab dan ayat 15  dari surat al-ma’idah.
وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيرًا[19]
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ[20]


Pada ayat pertama Nabi SAW disebut sebagai sira>jun muni>r, kemudian yang dimaksud lafaz “nur” pada ayat kedua, menurut para mufassir adalah Nabi Muhammad SAW,
 القول في تأويل قوله عز ذكره : { قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
قال أبو جعفر: يقول جل ثناؤه لهؤلاء الذين خاطبهم من أهل الكتاب:"قد جاءكم"، يا أهل التوراة والإنجيل"من الله نور"، يعني بالنور، محمدًا صلى الله عليه وسلم الذي أنار الله به الحقَّ، وأظهر به الإسلام، ومحق به الشرك، فهو نور لمن استنار به يبيِّن الحق. ومن إنارته الحق، تبيينُه لليهود كثيرًا مما كانوا يخفون من الكتاب.[21]

Konsep Haqiqat Muhammadiyah / Nur Muhammad juga berkembang di dunia syi’ah, melalui pemikiran para Sufi seperti Al-Kulayny dan Hasan ‘Askary. Hanya saja, berbeda dengan Sunni, Syi’ah membawa-bawa nama Ahl al-bayt, yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husein.[22]


B. Wahdat al- Adyan

            1. Al- Hallaj
Dengan bertolak pada  teori hulul dan Nur Muhammad, Al-hallaj membangun konsep wahdat al-adya>n-nya. Semua Nabi merupakan manifestasi dari “emanasi wujud” dan oleh karenannya agama-agama yang mereka bawa, bagaimanapun tingkat perbedaannya, berasal dari dan akan kembali pada yang satu, karena memancar dari cahaya yang satu. Baginya, perbedaan dalam agama-agama hanyalah sekedar perbedaan dalam bentuk dan namanya, sedangkan hakekatnya sama, brtujuan sama, yakni mengabdi pada Tuhan yang sama pula.[23]Al-Hallaj tidak membedakan antara kufr dan iman. Menurutnya :

الكفروالايما ت يفثرقان من حيث الاسم واما من حيث الحقيقة فلا فرق بينهما[24]
Dia juga tidak membedakan antara durhaka dan kufur-nya Fir’aun dengan keimanan Musa yang monotheis. Dari Usman bin Mu’awiyah, dia berkata: dalam suatu kesempatan dengan para jama’ahnya, Al-Hallaj ditanya: “wahai guru.,apa pendapat engkau tengtang ucapan Fir’aun ?”, Al-Hallaj menjawat :”itu kalimat haqq”. Lalu dia ditanya lagi: “apa pendapat tuan  tentang ucapan Musa?” ,beliau menjawab: “kalimat haqq”, karena keduanya telah terjadi, sebagaiman keduanya ditentukan di alam azaly”[25]
Bagi Al-Hallaj, tauhid tidaklah hanya mengesakan Allah, tetapi harus disertai peleburan diri ke dalam Allah. Kalau dalam bertauhid, seseorang tidak disertai peleburan diri, maka berarti ia meletakkan dirinya di “luar”, dan itu bertentangan dengan Tauhid.

ان العبد اذا وحد ربه فقد اثبت نفسه ومن اثبت نفسه فقد اتى بالشرك الخفى وانما الله تعالى هو الذي وحد نفسه على لسا ن من شاء من خلقه [26] 

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Al-Hallaj melihat seorang muslim sedang bertengkar dengan seorang yahudi, dan memaki-makinya. Seketika itu juga ia memalingkan muka dari orang tersebut seraya berkata : “sesungguhnya orang Yahudi, Nasrani, Islam dan agama-agama lainnya adalah nama yang berbeda-beda, tetapi tujuannya sama.[27]
Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Tahir al-azady, dia pernah berkata: “Aku pernah bertengkar dengan seorang Yahudi di pasar Baghdad, sampai aku melontarkan kata-kata : “wahai anjing”. Seketika itu lewatlah Al-Hallaj dan melihat kepadaku dengan geram dan berkata : “jangan membawa-bawa anjingmu”, lalu dia segera berlalu. Setelah pertengkaran selesai, aku menemuinya, awalnya dia memelingkan muka, setelah aku sampaikan alasannya, maka ia menerimaku dengan baik. Kemudian ia brkata: “Hai anakku, semua agama adalah milik Allah. Masing-masing kelompok dengan agamanya sendiri-sendiri di mana  mereka tidak punya kemampuan untuk memilihnya, tetapi telah dipihkan kepada mereka. Maka barang siapa yang menmyalahkan seseorang karena agama yang dianutnya, maka berarti dia menganggap agama tersebut adalah pilihannya sendiri. Ini adalah anggapan mazhab Qadariyah dan Qadariyan adalah majusinya ummat ini. Ketahuilah juga bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan agama-agama lainnya hanyalah sebutan dan nama yang berbeda-beda. Sedangkan tujuannya tidaklah berbeda.[28]
Dalam sebuah syairnya, Al-Hallaj bersenandung,
تفكرت في الاديان جدا محققا     فالفيتها اصلا له شعب جما
فلا   تطلبن للمرء دينا    فانه     يصد عن الوصل الوثيق وانما  
يطالبه  اصل  يعبر  عنده         جميع المعالى والمعاني فيفهما[29]

2.      Ibnu Araby
Tidak brbeda dengan Al-Hallaj, konsep wahdat al-adyan Ibnu ‘Araby adalah pengembangan lebih lanjut dari teorinya tentang wahdat al-wujud. Semua agama, bagi Ibnu ‘Araby, menyembah Tuhan yang satu yang ber-tajally ke dalam berbagai bentuk yang beraneka . Tujuan hakiki dari ibadah adalah memanifestasikan dan menyatakan ke-esaan. Oleh karenanya, bagi Ibnu ‘Araby, adalah merupakan satu bentuk kebathilan dalam ibadah, manakala seseorang hanya mencukupkan pada locus penampakan (mutajalla) yang satu, dan tidak mengakui yang lain.[30]
Menurut Ibnu ‘Araby, setiap sesuatu memiliki dua sisi yang menyatu dalam satu hakikat atas pondasi al-haqq – al-khalq dan al-batin – al-zahir. Untuk ini, Ibnu ‘Araby memberikan contoh ibadah solat. Ibadah Solat terbagi menjadi dua bagian. Satu bagian untuk Allah dan satu bagian yang lain untuk sang hamba. Anggapan ini didasarkan pada sebuah firman Allah dalam sebuah hadis qudsi

قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين فنصفهالي ة ونصفها لعبدي ولعبدي ماسال: يقول العبد بسم الله الرحمن الرحيم يقول الله :ذكرني عبدي يقول العبد الحمدلله رب العالمين يقول الله حمدني عبدي يقول العبد الرحمن الرحيم بقول الله اثنى علي عبدي يقول العبد مالك بوم الدين يقول الله مجدني عبدي فوض الي عبدي فهذاالنصف كله لله والي خالص ثم يقول العبداياك واياك نستعين يقول الله هذه بيني وبين عبدي ولعبدي ماسال فاوقع الاشتراك في هذه الايه  يقول العبد اهدناالصراط المستقيم صراط الذين انعمت عليهم غيرالمغضوب عليهم ولاالضالين يقول الله فهؤ لاء لعبدي ولعبدي ماسال[31] 
  
   Untuk menjelaskan hadis tersebut, Ibnu ‘Araby menegaskan bahwa,
الصلاة منا ومنه والامر مشترك فانه تعالى امرناان نصلى له واخبرناانه يصلى علينا فالصلاة منا ومنه فاذاكان هوالمصلى فانماكان هو المصلى باسمه الاخر واذا نحن صلينا كان لناالاسم الاخرفكنافيه[32]
              


Pandangan Ibnu  ‘Araby tentang wahdat al-wujud, tidak terlelakkan, mengantarkanya pada pemikiran wahdat al-adyan. Baginya, agama tidak bisa dipahami secara lokal dan terkotak-kotak. Dia tidak bisa menerima Tuhan yang digambarkan banyak orang dalam bentuk-bentuk yang beraneka ragam sesuai keyakinan mereka, di mana Tuhan tersebut telah “direkayasa” dan dilucuti sifat-sifatnya, sesuai akal dan pemahaman mereka. “Tuhan”  seperti itu bukanlah Tuhan yang sejati, tetapi adalah “ciptaan” manusia yang tergambar pada setiap orang berdasarkan penerimaan, kemampuan dan transendensi spiritual yang dialaminya. Tuhan yang sejati, menurut Ibnu ‘Araby, tidak bisa dibayangkan dengan gambaran apapun, juga tidak bisa diidentifikasi dengan akal atau keinginan yang bagaimanapun juga. Karena hakikat segala yang disembah adalah berada pada yang menyembah, hakikat segala yang dicintai berada pada segala yang mencintai. Maka tidak ada yang bisa disembah kecuali Allah, artinya tidak ada yang bisa dicintai kecuali Allah, tidak ada yang maujud kecuali Allah.[33]
Berbeda dengan para ahli tafsir lain, Ibnu ‘Araby menganggap bahwa wahana (majla) paling agung dan luhur, di mana al-haqq bisa disembah adalah al-hawa. Karena al-hawa adalah pondasi dari setiap ibadah. Sesuatu tidak bisa disembah kecuali dengan al-hawa, sebagaimana Allah juga tidak bisa disembah kecuali dengan dhatnya. Ibnu ‘Araby membedakan antara al-haqq dalam entitas ketuhanan yang tidak bisa disembah kecuali dengan dhatnya dan al-haqq dalam entitas bentuk-bentuk kealaman yang tidak bisa disembah kecuali menggunakan sultan al-hawa dalam hati sang hamba. Al-hawa yang biasa diterjemahkan dengan “hawa nafsu” dan diangap unsur negatif dalam diri manusia, justru oleh Ibnu ‘Araby dianggap sebagai salah satu di antara nama - nama Allah yang paling agung.
افراءيت من اتخذ الهه هواه واضله الله على علم[34]

Firman Allah pada surat al-Jatsiyah (45) ayat 23 di atas ditafsirkan Ibnu ‘Araby, berbeda dengan para ahli tafsir pada umumnya. “Allah menyesatkannya berdasarkan ilmunya” artinya dia tunduk kepada ilmu Allah. Sebaik-baik hamba Allah adalah yang baik kepada hawa-nya, karena ia merupakan penampakan dari-Nya dalam bentuk “hawa”. Ucapan Fir’aun اناربكم الاعلى  [35]dan ibadah Iblis dalam “kemaksiatannya” adalah perwujudan ketaatannya terhadap ketentuan azaliyah Allah.[36]
Menurut Ibnu ‘Araby, segala yang wujud adalah manifestasi dan penampakan dari al-Haqq, juga merupakan satu bentuk dari aneka ragam bentuknya. Ucapan “tidak ada yang disembah kecuali Allah” berada dalam entitas agama, dan ucapan “tidak ada yang mawjud kecuali Allah” berada pada entitas metafisika.[37]
Oleh karenanya, menurut Ibnu ‘Araby, hati seorang ‘Arif adalah pengikat (haykal) bagi seluruh kayakinan, kepercayaan dan peribadatan dalam menemukan Allah, juga sebagai cermin yang memantulkan bentuk-bentuk wujud dari al-Haqq. Dalam syairnya, Ibnu ‘Araby bersenandung,
لقد كنت قبل اليوم انكر صاحبي     اذالم يكن ديني الى دينه دانى
 لقدصارقلبى قابلا كل صورة        فمرعى لغزلان وديرلرهبان
وبيت  لاوثان  وكعبة   لطائف        والواح توراة ومصحف قران      
ادين  بدين الحب  انى توجهت        ركائبه فالحب ديني      
وايماني [38]

Dalam pandangan Ibnu ‘Araby, Seorang ‘Arif yang sampai pada derajat tertinggi dalam ma’rifat adalah : yang bisa memanifestasikan ke-esaan dalam ke-esaan dan mampu melihat ke-esaan dalam ke-anekaan, lalu meletakkan makna al-haqq ( uluhiyah ) pada tempat yang sesungguhnya. Denga kata lain, ia mampu melihat keesaan Tuhan dalam tuhan-tuhan  yang disembah. Sedangkan seorang Jahil adalah orang yang meletakkan ‘ketuhanan’ dan membatasinya dalam bentuk tertentu, baik berupa batu, kayu, binatang, manusia dan semacamnya…[39]
Ibnu ‘Araby juga mengetengahkan konsep ibadah dengan penjelasan sebagai berikut : Apabila al-haqq dan al-khalq, bersenyawa dalam hakikat yang satu, maka keduanya tidak akan bisa dibedakan lagi kecuali dalam wujub al-wujud yang khusus untuk al-haqq. Hakikat al-ma’bud adalah substansi azaly dan qodim yang menegakkan seluruh bentuk-bentuk wujud yang melimpah tanpa batas. Seorang Penghamba (‘abid ) berarti yang mampu menggambarkan bentuk dan sekaligus tegak dengan substansi tersebut. Setiap bentuk dari semua bentuk-bentuk akan menyuarakan ketuhanan al-haqq (uluhiyat al-haqq) dan bertasbih memuji-Nya. Setiap sesembahan dari banyak sesembahan adalah wajah di antara wajah-wajah-Nya. Bentuk ibadah paling tinggi adalah bermanifestasi dengan keesaan dhat (al-tahaqquq bi- al-wahdat al-dhatiyyah), bahwa sesungguhnya engkau adalah Dia dan Dia adalah engkau’
انت هو من حيث صورتك وهو انت بالعين والجوهر فانه هوالذي يفيض عليك الوجود من وجوده[40]
Oleh karenanya, ibadah yang sejati, menurut Ibnu ‘Araby, adalah upaya yang memanifestasikan kebutuhan mutlak dari sisi hamba ( al-‘abd ) dan kekayaan mutlak dari sisi al-haqq. Allah satu-satunya yang Maha Kaya dan maha dibutuhkan. Butuhan kepada sebab berarti butuh kepada hakikatnya. Seperti yang dimaksud dalam firman Allah :
ياايهاالناس انتم الفقراء الى الله                 [41]              
 Menurut Ibnu ‘Araby, yang dimaksud “ Fuqara’ ilallah” adalah mereka yang butuh kepada setiap sesuatu dari segi bahwa segala sesuatu tersebut disebut “Allah”. Allah menjelaskan bahwa manusia butuh kepada Allah secara mutlak. Kita mengerti bahwa al-haqq mengejawantah dalam setiap apa yang kita butuhkan. Kwalitas ibadah paling tinggi–seperti telah disebutkan—adalah memanifestasikan ke-Esaan.

III.             PENUTUP
Walaupun oleh sementara orang, tasawwuf diidentikkan dengan kekalahan, pasivisme, inferioritas dan lari dari kenyataan, akan tetapi justru dari tasawwuf, kita banyak menemukan pernik-pernik pemikiran yang justru dibutuhkan dalam kehidupan dunia yang semakin mekanistik ini.
Ditengah kebutuhan kita akan “modal bersama” untuk menopang kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam Tasawwuf kita menemukan Wahdat al-adyan, sebuah pemikiran radikal yang sudah muncul pada abad ke-9 M / 3 H. Sudah barang tentu, konsep ini tidak bisa langsung bisa kita pakai, akan tetapi bisa menjadi pertimbangan untuk memperkaya perspektif kita tentang kebhinnekaan (pluralisme).
Wallahu a’lam bi al-sawab.











BIBLIOGRAFI

Abd al-qodir Mahmud, al-falsafat al-sufiyyah fi al-isla>m, (Kairo : Dar al-fikr al-‘araby, 1966)

A.E.Afify, Filsafat Mistis Ibnu ‘Araby> (Jakarta :Gaya Media Pratama, 1989 )

Ahmad Amin, Zuhr al-Isla>m, Juz II (Kairo : Maktabah al-nahdah al-misriyyah, 1977)

Ahmad Norma Permata, Perennialisme, Melacak Jejak Filsafat Abadi, ( Yogyakarta : Tiara wacana, 1996

Aly S.K, al-wilayah wa al-nubuwwah ‘ind al-syaikh al-akbar Muhyi al-di>n ibn al-‘araby>, terj. Ahmad Tayyib (Maroko :Dar al-qubbah al-zarqa’,t.t.)

Al-Taftazany, Ab al-wafa al-ghanimy, Madkhal ila al-tasawwuf al-islamy> (Kairo :Dar athaqofah, 1976)

Budhy Munawwar Rahman, Filsafat Perennial sebagai agenda Etika Global, Artikel Kompas, 24 September 1998

Fathimah Usman, Wahdat al-adyan, Dialog Pluralisme Agama (Yogyakarta : LKIS, 2002)
Frithjof Schuon, Islam Dan Filsafat Perennial, terj. Rahmani Astuti ( Bandung : Mizan, 1993)
-------------------, Mencari Titi Temu Agama-agama, terj. Saafroedin Bahar ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1987 )

H.A.R.Gibb and J.H.Kramers, Shorter Ensyclopedia Of Islam, (Leiden E.J.Brill – London : Luzac & Co.,1961)

Ibn al-Manzur, Lisan al-‘arab (Beirut :tp,t.t.)

Kamil Mustafa al-shayby, Al-silah bain al-tas{awwuf wa al-tashayyu’, (Mesir : Dar al-ma’arif, t.t.)

Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Araby, Wahdat al-Wuju>d dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina, 1995)

Louis Massignon, The Passion of Al-Hallaj, Mystic and Martyr of islam, vol III (New Jersey : Princeton University Press, 1982 )

Mahmud Jalal Syaraf, Dirasat fi al-tas{awwuf al-isla>my>, Shakhsiyyat wa madha>hib, (Libanon : Dar al-fikr al-jami’iy, t.t.)

M.Dawam raharjo, Mengapa Semua Agama Benar ?, http://islamlib.com/id

Sayyed Husein Nasr, Tasawwuf Dulu dan sekarang, terj.Abdul Hadi W.M. ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1985)

Tal’at Ghanam, Adwa>’ ala al-tasawwuf, Dira>sat maud{u’iyyah, (Kairo : ‘Alam al-kutb,t.t.)

Tawfiq ‘Iyyad, Al-tasawwuf al-islamy, ( Kairo: Maktabah Anglo al-misriyyah,t.t.)





[1] Budhy Munawar Rahman, Filsafat Perennial Sebagai Agenda Etika Global, Kompas, Kamis 24 September 1998
[2] M.Dawam raharjo, Mengapa Semua Agama Benar ?, http://islamlib.com/id
[3] Charles B. Schmitt, Filsafat Perennial : Dari Steuco Hingga Leibniz, dalam Ahmad Norma Permata (Ed.), Perennialisme, Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996) 33
[4] Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti. Frithjof Schuon, Islam Dan Filsafat Perennial, terj. Rahmani Astuti ( Bandung: Mizan1993)
[5] Fritzjof Schuon, Mencari Titik Temu Agama-Agama, ter. Saafroedin Bahar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987).
[6] Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam, juz II ( Kairo: Maktabah an-nahdlah al-mishriyyah, 1977), 65-66
[7] Al-taftazany, Ab al—wafa al-ghanimy al-taftazany, Madkhal ila al-tasawwu al-islamy,(Kairo: Dar al-tsaqofah, 1976), 244 - 250
[8] lihat Kautsar Azhari Noer, Ibnu Araby, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995)
[9] Al-taftazany, 244 - 260
[10] Louis Massignon, The Passion of al-Hallaj, Mystic and Martyr of Islam, Vol III (New Jersey: Princeton University Press, 1982) 15-16
[11] Ibnu al- Mndzur, Lisan al-arab, juz 10 (Beirur: tp,tt)  52
[12] Ali Sh. Al-wilayah wa al-nubuwwah ‘ind al- sheikh al-akbar Muhyi al-din Ibn al-Araby, terj. Ahmad Tayyib ( Maroko: Dar al-qubbah al-zarqa’,tt) 65
[13] H.A.R. Gibb and J.H. Kramers (Ed.), Shorter Encyclopedia of Islam, volume III (Leiden : E.J.Brill  1961) 452
[14] Sayid Husein Nasr, Tasawwuf dulu dan Sekarang, ter. Abdul Hadi, WM. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985),129
[15] Muhammad Jalal Syaraf, Dirasat fi-al-tasawwuf al-islamy, Syakhsiyyat wa madzahib, (Beirut: Dar al-fikr al-jami’iy, 1983) ,390 ; baningkan dengan :  Fathimah Usman, Wahdat al-adyan, Dialog Pluralisme Agama, (Yogyakarta: LKIS, 2002), 41
[16] Dikutip dari Ibid, 41-42
[17] Ahmad Taufiq ‘Ayyad, Al-tasawwuf al-islamy, tarikhuh wa madarisuh wa tabi’atuh wa atsaruh” (Kairo: Maktabah Anglo-Mesir, t.t), 89
[18] A.E.Afifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Araby, terj. Syahir Mawi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1989), 108-109
[19] Al-ahzab ayat 46
[20] Al-ma’idah ayat 15
[21] Ibnu Jarir al-Tabary, Tafsir al-Tabary, 
[22] Informasi tentang hal ini bisa dibaca dalam Kamil Mustafa al-shayby, Al-silah bain al-tasawwuf wa al-tashayyu’, (Mesir: Dar al-ma’arif, cet III, tt), 449-456
[23] Fathimah Usman, 12
[24] Muhammad Jalal Syaraf, 392
[25] Ibهid, 391
[26] Abd al-Qadir Mahmud, al-falsafah al-sufiyah fi al-islam, (Kairo: Dar al-fikr al-‘araby, 1966), 371
[27] Fathimah Usman, 13
[28] Muhammad jalal Syaraf, 392 ; Al-taftazany, 158-159
[29] Ibid.
[30] Thal’at ghanam, Adlwa’ ‘ala al-tasawwuf, dirasat maudu’iyah. (Kairo: ‘Ala al-kutub,t.t.), 261 - 262
[31] Ibid
[32] Ibid, 362
[33] Ibid. 363
[34] Surat al-Jathiyah (45): 23
[35] Surat
[36] Abd al-qadir Mahmud, 519 ; Tal’at Ghanam, 264
[37] Ibid, 265
[38] Al-taftazany, 248-249
[39] Tal’at Ghanam, 264
[40] Ibid. 266 ;Abd al-qodir Mahmud, 520-521
[41] Surat Fatir ( 35 ) : 15
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

No comments:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2013. Blog Syafa'at - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger