FILSAFAT ILMU
1.1.
Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris,
yaitu philosophy, adapun istilah
filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philosophia, yang terdiri atas dua
kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada)
dan shopia
(hikmah, kebijaksanaan,
pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis,
inteligensi). Jadi secara
etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau
kebenaran. Plato menyebut
Socrates sebagai philosophos (filosof) dalam
pengertian pencinta
kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan arabisasi
yang berarti pencarian yang
dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata
filsafat menunjukkan pengertian yang
dimaksud, yaitu pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi
mengenai hakikat segala yang
ada, sebab asal dan hukumnya. Manusia
filosofis adalah manusia yang
memiliki kesadaran diri dan akal sebagaimana ia
juga memiliki jiwa yang
independen dan bersifat spiritual.
Sebelum Socrates ada satu
kelompok yang menyebut diri mereka
sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan
persepsi manusia sebagai ukuran
realitas dan menggunakan hujah-hujah
yang keliru dalam kesimpulan
mereka. Sehingga kata sofis mengalami
reduksi makna yaitu berpikir
yang menyesatkan. Socrates karena
kerendahan hati dan
menghindarkan diri dari pengidentifikasian dengan
kaum sofis, melarang dirinya
disebut dengan seorang sofis
(cendekiawan). Oleh karena itu
istilah filosof tidak pakai orang sebelum
Socrates (Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat
berarti segala ilmu pengetahuan yang
dimiliki manusia. Mereka
membagi filsafat kepada dua bagian yakni,
filsafat teoretis dan filsafat
praktis. Filsafat teoretis mencakup: (1) ilmu
pengetahuan alam, seperti:
fisika, biologi, ilmu pertambangan, dan
astronomi; (2) ilmu eksakta dan
matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan
dan metafisika. Filsafat
praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2)
urusan rumah tangga; (3) sosial
dan politik.
Secara umum filsafat berarti
upaya manusia untuk memahami
segala sesuatu secara
sistematis, radikal, dan kritis. Berarti filsafat
merupakan sebuah proses bukan
sebuah produk. Maka proses yang
dilakukan adalah berpikir
kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan
mengikuti pronsip-prinsip
logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu
informasi dengan tujuan
menentukan apakah informasi itu diterima atau
ditolak. Dengan demikian
filsafat akan terus berubah hingga satu titik
tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat bisa
dikatakan merupakan sebuah masalah
falsafi pula. Menurut para ahli
logika ketika seseorang menanyakan
pengertian (defenisi/hakikat)
sesuatu, sesungguhnya ia sedang bertanya
tentang macam-macam perkara.
Tetapi paling tidak bisa dikatakan bahwa
“falsafah” itu kira-kira
merupakan studi yang didalami tidak dengan
melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi
dengan mengutarakan masalah
secara persis, mencari solusi untuk ini,
memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan
akhirnya dari proses-proses
sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah
dialektika. Dialektika ini
secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah
bentuk daripada dialog.
Adapun beberapa pengertian
pokok tentang filsafat menurut
kalangan filosof adalah:
1. Upaya spekulatif untuk
menyajikan suatu pandangan sistematik
serta lengkap tentang seluruh
realitas.
2. Upaya untuk melukiskan
hakikat realitas akhir dan dasar secara
nyata.
3. Upaya untuk menentukan
batas-batas dan jangkauan pengetahuan
sumber daya, hakikatnya,
keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas
pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang
diajukan oleh berbagai bidang
pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya
untuk membantu Anda melihat apa
yang Anda katakan dan untuk
menyatakan apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan
filsafat ialah pengetahuan yang
bersifat untuk mencapai
kebenaran yang asli. Sedangkan Aristoteles
(382–322 SM) mendefenisikan
filsafat ialah ilmu pengetahuan yang
meliputi kebenaran yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika,
logika, retorika, etika,
ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof
lainnya Cicero (106–043 SM) menyatakan filsafat ialah
ibu dari semua
ilmu pengetahuan lainnya.
Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan
keinginan untuk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650),
filsafat ialah kumpulan segala
pengetahuan di mana Tuhan, alam
dan manusia menjadi pokok
penyelidikannya. Sedangkan
Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat
filsafat ialah ilmu pengetahuan
yang menjadi pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang tercakup di
dalamnya 4 persoalan:
a. Apakah yang dapat kita
ketahui?
Jawabannya termasuk dalam
bidang metafisika.
b. Apakah yang seharusnya kita
kerjakan?
Jawabannya termasuk dalam
bidang etika.
c. Sampai di manakah harapan
kita?
Jawabannya termasuk pada bidang
agama.
d. Apakah yang dinamakan
manusia itu?
Jawabannya termasuk pada bidang
antropologi.
Setidaknya ada tiga
karakteristik berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh: seseorang
ilmuwan tidak akan pernah puas jika
hanya mengenal ilmu hanya dari
segi pandang ilmu itu sendiri.
Dia ingin tahu hakikat ilmu
dari sudut pandang lain, kaitannya
dengan moralitas, serta ingin
yakin apakah ilmu ini akan
membawa kebahagian dirinya. Hal
ini akan membuat ilmuwan
tidak merasa sombong dan paling
hebat. Di atas langit masih ada
langit. contoh: Socrates
menyatakan dia tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat
yang tidak saja begitu percaya bahwa
ilmu itu benar. Mengapa ilmu
itu benar? Bagaimana proses
penilaian berdasarkan kriteria
tersebut dilakukan? Apakah
kriteria itu sendiri benar?
Lalu benar sendiri itu apa? Seperti
sebuah pertanyaan yang
melingkar yang harus dimulai dengan
menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun
sebuah lingkaran dan menentukan
titik awal sebuah lingkaran
yang sekaligus menjadi titik akhirnya
dibutuhkan sebuah sifat
spekulatif baik sisi proses, analisis
maupun pembuktiannya. Sehingga
dapat dipisahkan mana yang
logis atau tidak.
Sir Isacc Newton, seorang
ilmuwan yang sangat terkenal,
President of the Royal Society
memiliki ketiga karakteristik ini. Ada
banyak penyempurnaan
penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang
dilakukannya. Dalam
pencariannya akan ilmu, Newton
tidak hanya
percaya pada kebenaran yang
sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia
menggugat (meneliti ulang)
hasil penelitian terdahulu seperti logika
aristotelian tentang gerak dan
kosmologi, atau logika cartesian tentang
materi gerak, cahaya, dan
struktur kosmos. “Saya tidak mendefenisikan
ruang, tempat, waktu dan gerak
sebagaimana yang diketahui banyak
orang” ujar Newton . Bagi Newton tak ada keparipurnaan,
yang ada hanya
pencarian yang dinamis, selalu
mungkin berubah dan tak pernah selesai.
“ku tekuni sebuah subjek secara
terus menerus dan ku tunggu sampai
cahaya fajar pertama datang
perlahan, sedikit demi sedikit sampai betulbetul
terang”.
1.2.
Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama filsafat
Barat muncul di Yunani semenjak kirakira
abad ke-7 SM. Filsafat muncul
ketika orang-orang mulai berpikirpikir
dan berdiskusi akan keadaan
alam, dunia, dan lingkungan di sekitar
mereka dan tidak menggantungkan
diri kepada agama lagi untuk mencari
jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya
mengapa filsafat muncul di
Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain
kala itu seperti Babilonia,
Yudea (Israel )
atau Mesir. Jawabannya
sederhana: di Yunani, tidak
seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta
pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa
diberi gelar filosof ialah Thales
dari Mileta, sekarang di
pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani
yang terbesar tentu saja ialah:
Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates
adalah guru Plato sedangkan
Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa sejarah
filsafat tidak lain hanyalah “komentarkomentar
karya Plato belaka”. Hal ini
menunjukkan pengaruh Plato yang
sangat besar pada sejarah
filsafat.
1.3.
Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang
yang menanyakan pertanyaan
yang sama dan membangun tradisi
filsafat, menanggapi dan meneruskan
banyak karya-karya sesama mereka.
Oleh karena itu filsafat biasa
diklasifikasikan menurut daerah
geografis dan budaya. Pada dewasa ini
filsafat biasa dibagi menjadi:
“Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan
“Filsafat Islam”.
Filsafat
Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang
biasa dipelajari secara akademis
di universitas-universitas di
Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka.
Filsafat ini berkembang dari
tradisi falsafi orang Yunani kuno.
Menurut Takwin (2001) dalam
pemikiran barat konvensional
pemikiran yang sistematis,
radikal, dan kritis seringkali merujuk
pengertian yang ketat dan harus
mengandung kebenaran logis. Misalnya
aliran empirisme, positivisme,
dan filsafat analitik memberikan kriteria
bahwa pemikiran dianggap
filosofis jika mengadung kebenaran
korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni sebuah pengetahuan
dinilai benar jika pernyataan
itu sesuai dengan kenyataan empiris. Contoh
jika pernyataan ”Saat ini hujan
turun”, adalah benar jika indra kita
menangkap hujan turun, jika
kenyataannya tidak maka pernyataannya
dianggap salah. Koherensi
berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan
itu mengandung koherensi logis
(dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara
sistematis terbagi menjadi tiga bagian
besar yakni: (a) bagian
filsafat yang mengkaji tentang ada (being), (b)
bidang filsafat yang mengkaji
pengetahuan (epistimologi dalam arti luas),
(c) bidang filsafat yang
mengkaji nilai-nilai menentukan apa yang
seharusnya dilakukan manusia
(aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat
barat yaitu:
1. Wittgenstein
mempunyai
aliran analitik (filsafat analitik) yang
dikembangkan di negara-negara
yang berbahasa Inggris, tetapi
juga diteruskan di Polandia.
Filsafat analitik menolak setiap
bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”. Filsafat analitik
menyerupai
ilmu-ilmu alam yang empiris,
sehingga kriteria yang berlaku
dalam ilmu eksata juga harus
dapat diterapkan pada filsafat.
Yang menjadi obyek penelitian
filsafat analitik sebetulnya bukan
barang-barang,
peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan,
aksioma, prinsip. Filsafat
analitik menggali dasar-dasar teori ilmu
yang berlaku bagi setiap ilmu
tersendiri. Yang menjadi pokok
perhatian filsafat analitik
ialah analisa logika bahasa sehari-hari,
maupun dalam mengembangkan
sistem bahasa buatan.
2. Imanuel
Kant mempunyai
aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak
mau melewati batas kemungkinan
pemikiran manusiawi.
Rasionalisme dan empirisme
ingin disintesakannya. Untuk itu ia
membedakan akal, budi, rasio,
dan pengalaman inderawi.
Pengetahuan merupakan hasil
kerja sama antara pengalaman
indrawi yang aposteriori dan
keaktifan akal, faktor priori.
Struktur pengetahuan harus kita
teliti. Kant terkenal karena tiga
tulisan: (1) Kritik atas rasio
murni, apa yang saya dapat ketahui.
Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat diketahui. Manusia
hanya dapat mengetahui
gejala-gejala yang kemudian oleh akal
terus ditampung oleh dua wadah
pokok, yakni ruang dan waktu.
Kemudian diperinci lagi
misalnya menurut kategori sebab dan
akibat dst. Seluruh pengetahuan
kita berkiblat pada Tuhan, jiwa,
dan dunia. (2) Kritik atas
rasio praktis, apa yang harus saya buat.
Kelakuan manusia ditentukan
oleh kategori imperatif, keharusan
mutlak: kau harus begini dan
begitu. Ini mengandaikan tiga
postulat: kebebasan, jiwa yang
tak dapat mati, adanya Tuhan. (3)
Kritik atas daya pertimbangan.
Di sini Kant membicarakan
peranan perasaan dan fantasi,
jembatan antara yang umum dan
yang khusus.
3. Rene
Descartes. Berpendapat
bahwa kebenaran terletak pada diri
subyek. Mencari titik pangkal
pasti dalam pikiran dan
pengetahuan manusia, khusus
dalam ilmu alam. Metode untuk
memperoleh kepastian ialah
menyangsikan segala sesuatu. Hanya
satu kenyataan tak dapat
disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku
ada. Dalam mencari proses
kebenaran hendaknya kita
pergunakan ide-ide yang jelas
dan tajam. Setiap orang, sejak ia
dilahirkan, dilengkapi dengan
ide-ide tertentu, khusus mengenai
adanya Tuhan dan dalil-dalil
matematika. Pandangannya tentang
alam bersifat mekanistik dan
kuantitatif. Kenyataan dibaginya
menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”.
Filsafat
Timur
Filsafat Timur adalah tradisi
falsafi yang terutama berkembang di
Asia, khususnya di India ,
Tiongkok, dan daerah-daerah lain yang pernah
dipengaruhi budayanya. Sebuah
ciri khas filsafat timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa
dikatakan untuk filsafat barat,
terutama di Abad Pertengahan, tetapi di
Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Namanama
beberapa filosof: Lao Tse, Kong
Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain.
Pemikiran filsafat timur sering
dianggap sebagai pemikiran yang
tidak rasional, tidak
sistematis, dan tidak kritis. Hal ini disebabkan
pemikiran timur lebih dianggap
agama dibanding filsafat. Pemikiran
timur tidak menampilkan
sistematika seperti dalam filsafat barat.
Misalnya dalam pemikiran Cina
sistematikanya berdasarkan pada
konstrusksi kronologis mulai
dari penciptaan alam hingga meninggalnya
manusia dijalin secara runut
(Takwin, 2001).
Belakangan ini, beberapa
intelektual barat telah beralih ke filsafat
timur, misalnya Fritjop Capra,
seorang ahli fisika yang mendalami
taoisme, untuk membangun
kembali bangunan ilmu pengetahuan yang
sudah terlanjur dirongrong oleh
relativisme dan skeptisisme (Bagir,
2005). Skeptisisme terhadap
metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene
Descartes dan William Ockham.
Filsafat
Islam
Filsafat Islam ini sebenarnya
mengambil tempat yang istimewa.
Sebab dilihat dari sejarah,
para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa
dikatakan juga merupakan ahli
waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).
Terdapat dua pendapat mengenai
sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga
saat ini. Pendapat pertama
mengatakan bahwa orang Eropa belajar
filsafat dari filosof Yunani
seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang
disalin oleh St. Agustine
(354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh
Anicius Manlius Boethius
(480–524 M) dan John Scotus. Pendapat
kedua menyatakan bahwa orang
Eropa belajar filsafat orang-orang
Yunani dari buku-buku filsafat
Yunani yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh filosof
Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.
Terhadap pendapat pertama
Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya,
karena menurutnya salinan buku
filsafat Aristoteles seperti Isagoge,
Categories, dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi
bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang
dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan
bahwa seandainya kitab-kitab
terjemahan Boethius menjadi sumber
perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan di Eropa, maka John
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahanterjemahan
berbahasa Arab, yang telah
dikerjakan oleh filosof Islam
(Haerudin, 2003).
Majid Fakhri cenderung
mengangap filsafat Islam sebagai mata
rantai yang menghubungkan
Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini
disebut europosentris yang
berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak
kematian Ibn Rusyd. Pendapat
ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis
Massignon yang menilai adanya
eksistensi filsafat Islam. Menurut
Kartanegara (2006) dalam
filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1. Peripatetik
(memutar atau
berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu
berjalan-jalan mengelilingi muridnya
ketika mengajarkan filsafat.
Ciri khas aliran ini secara metodologis atau
epistimologis adalah
menggunakan logika formal yang
berdasarkan penalaran akal
(silogisme), serta penekanan yang
kuat pada daya-daya rasio.
Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni:
Al Kindi (w. 866), Al Farabi
(w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn
Rusyd (w. 1196), dan Nashir al
Din Thusi (w.1274).
2. Aliran
Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran ,
Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191).
Aliran ini memberikan tempat
yang penting bagi metode
intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini
terdiri dari cahaya dan
kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya
sebagai satu-satunya realitas
sejati (nur al anwar), cahaya di atas
cahaya.
3. Aliran
Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman
mistis yang bersifat
supra-rasional. Jika pengenalan rasional
bertumpu pada akal maka
pengenalan sufistik bertumpu pada
hati. Tokoh yang terkenal
adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
4. Aliran
Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah
yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya
Qawami yang dikenal dengan nama
Shadr al Din al Syirazi, Atau
yang dikenal dengan Mulla
Shadra yaitu seorang filosof yang
berhasil mensintesiskan ketiga
aliran di atas.
Dalam Islam ilmu merupakan hal
yang sangat dianjurkan. Dalam
Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali.
Hadis juga menyatakan mencari
ilmu itu wajib bagi setiap muslim.
Dalam pandangan Allamah Faydh
Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu
yang diwajibkan kepada setiap
muslim adalah ilmu yang mengangkat
posisi manusia pada hari
akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan
tentang dirinya, penciptanya,
para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam,
sifat Tuhan, hari akhirat, dan
hal-hal yang mendekatkan diri kepada
Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam,
fenomena alam tidaklah
berdiri tanpa relasi dan
relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari
alam berarti akan mempelajari
dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan.
Dengan demikian penelitian alam
semesta (jejak-jejak ilahi) akan
mendorong kita untuk mengenal
Tuhan dan menambah keyakinan
terhadapnya. Fenomena alam
bukanlah realitas-realitas independen
melainkan tanda-tanda Allah
SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat
yang bersifat qauniyyah,
sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat
qauliyah. Oleh karena itu
ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi
yang mulia sebagai obyek ilmu.
1.4.
Filsafat Ilmu
Filsafat mengambil peran
penting karena dalam filsafat kita bisa
menjumpai pandangan-pandangan
tentang apa saja (kompleksitas,
mendiskusikan dan menguji
kesahihan dan akuntabilitas pemikiran serta
gagasan-gagasan yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan
intelektual (Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science
berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa
science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam
arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau
kepercayaan. Namun kata ini
mengalami perkembangan dan perubahan
makna sehingga berarti
pengetahuan yang sistematis yang berasal dari
observasi, kajian, dan
percobaan-percobaan yang dilakukan untuk
menetukan sifat dasar atau
prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam
bahasa Arab, ilmu (ilm)
berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak
terlalu berbeda dengan science yang berasal
dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan
science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme–
positiviesme sedangkan ilmu
melampuinya dengan nonempirisme seperti
matematika dan metafisika
(Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains)
maka tidak akan terlepas dari
filsafat. Tugas filsafat
pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana
“pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya”. Will Duran dalam
bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat seperti
pasukan marinir yang merebut
pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri inilah
sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu.
Filsafat yang memenangkan
tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan.
Semua ilmu baik ilmu alam
maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai
filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam
(natural philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral
philosophy). Issac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika
sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) dan Adam
Smith (1723-1790) Bapak Ilmu
Ekonomi menulis buku The Wealth Of
Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of
Moral Philosophy di
Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion
and Science, 1963 membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan
yaitu: religius, metafisic dan positif. Dalam tahap awal asas
religilah yang
dijadikan postulat ilmiah
sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran
religi. Tahap berikutnya orang
mulai berspekulasi tentang metafisika dan
keberadaan wujud yang menjadi
obyek penelaahan yang terbebas dari
dogma religi dan mengembangkan
sistem pengetahuan di atas dasar
postulat metafisik. Tahap
terakhir adalah tahap pengetahuan ilmiah (ilmu)
di mana asas-asas yang
digunakan diuji secara positif dalam proses
verifikasi yang obyektif. Tahap
terakhir Inilah karakteristik sains yang
paling mendasar selain
matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian
dari filsafat pengetahuan atau sering
juga disebut epistimologi.
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni
episcmc yang berarti knowledge, pengetahuan dan logos yang berarti
teori. Istilah ini pertama kali
dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854
yang membuat dua cabang
filsafat yakni epistemology dan ontology (on =
being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa).
Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah
dasar yang menjiwai dinamika
proses kegiatan memperoleh pengetahuan
secara ilmiah. Ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan
tak-ilmiah. Adapun yang
tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu
pengetahuan atau singkatnya
ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan
yang telah disistematisasi dan
diorganisasi sedemikian rupa; sehingga
memenuhi asas pengaturan secara
prosedural, metologis, teknis, dan
normatif akademis. Dengan
demikian teruji kebenaran ilmiahnya
sehingga memenuhi kesahihan
atau validitas ilmu, atau secara ilmiah
dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah
adalah yang masih tergolong prailmiah.
Dalam hal ini berupa
pengetahuan hasil serapan inderawi yang
secara sadar diperoleh, baik
yang telah lama maupun baru didapat. Di
samping itu termasuk yang
diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran
seperti ilham, intuisi,
wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan
Manusia
Pengetahuan Obyek Paradigma
Metode Kriteria
Sains Empiris Sains Metode
Ilmiah
Rasional empiris
Filsafat Abstrak
rasional
Rasional Metode
rasional
Rasional
Mistis Abstark
suprarasional
Mistis Latihan
percaya
Rasa, iman, logis,
kadang empiris
Sumber: Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu
Dengan lain perkataan,
pengetahuan ilmiah diperoleh secara
sadar, aktif, sistematis, jelas
prosesnya secara prosedural, metodis dan
teknis, tidak bersifat acak,
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji
kebenaran (validitas)
ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang prailmiah,
walaupun sesungguhnya diperoleh
secara sadar dan aktif, namun
bersifat acak, yaitu tanpa
metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga
tidak dimasukkan dalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah
karena tidak diperoleh secara
sistematis-metodologis ada yang cenderung
menyebutnya sebagai pengetahuan
“naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya,
di zaman dahulu yang lazim
disebut tahap-mistik, tidak
terdapat perbedaan di antara pengetahuanpengetahuan
yang berlaku juga untuk
obyek-obyeknya. Pada tahap mistik
ini, sikap manusia seperti
dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya, sehingga semua
obyek tampil dalam kesemestaan dalam
artian satu sama lain berdifusi
menjadi tidak jelas batas-batasnya.
Tiadanya perbedaan di antara
pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai
implikasi sosial terhadap
kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan
dalam pengetahuan untuk
dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui
segala-galanya. Fenomena
tersebut sejalan dengan tingkat kebudayaan
primitif yang belum mengenal
berbagai organisasi kemasyarakatan,
sebagai implikasi belum adanya
diversifikasi pekerjaan. Seorang
pemimpin dipersepsikan dapat
merangkap fungsi apa saja, antara lain
sebagai kepala pemerintahan,
hakim, guru, panglima perang, pejabat
pernikahan, dan sebagainya. Ini
berarti pula bahwa pemimpin itu mampu
menyelesaikan segala masalah,
sesuai dengan keanekaragaman fungsional
yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah
tahap-ontologis, yang membuat manusia
telah terbebas dari kepungan
kekuatan-kekuatan gaib, sehingga mampu
mengambil jarak dari obyek di
sekitarnya, dan dapat menelaahnya.
Orang-orang yang tidak mengakui
status ontologis obyek-obyek
metafisika pasti tidak akan
mengakui status-status ilmiah dari ilmu
tersebut. Itulah mengapa tahap
ontologis dianggap merupakan tonggak
ciri awal pengembangan ilmu.
Dalam hal ini subyek menelaah obyek
dengan pendekatan awal
pemecahan masalah, semata-mata
mengandalkan logika berpikir
secara nalar. Hal ini merupakan salah satu
ciri pendekatan ilmiah yang
kemudian dikembangkan lebih lanjut
menjadi metode ilmiah yang
makin mantap berupa proses berpikir secara
analisis dan sintesis. Dalam
proses tersebut berlangsung logika berpikir
secara deduktif, yaitu menarik
kesimpulan khusus dari yang umum. Hal
ini mengikuti teori koherensi,
yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat
pada sumbernya yang disebut
premis-premis yang telah teruji
kebenarannya, dengan kesimpulan
yang pada gilirannya otomatis
mempunyai kepastian kebenaran.
Dengan lain perkataan kesimpulan
tersebut praktis sudah
diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang
bersangkutan. Walaupun
kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian
kebenaran, namun mengingat
bahwa prosesnya dipandang masih bersifat
rasional–abstrak, maka harus
dilanjutkan dengan logika berpikir secara
induktif. Hal ini mengikuti
teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara
hasil pemikiran rasional dengan
dukungan data empiris melalui penelitian,
dalam rangka menarik kesimpulan
umum dari yang khusus. Sesudah melalui
tahap ontologis, maka dimasukan
tahap akhir yaitu tahap fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap
manusia bukan saja bebas dari
kepungan kekuatan-kekuatan
gaib, dan tidak semata-mata memiliki
pengetahuan ilmiah secara
empiris, melainkan lebih daripada itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu
tersebut secara fungsional dikaitkan dengan
kegunaan langsung bagi
kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap
fungsional pengetahuan
sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi
filsafat ilmu, yaitu yang
membahas amal ilmiah serta profesionalisme
terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita
membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu nafas
tercakup pula telaahan filsafat yang
menyangkut pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Pertama, dari segi
ontologis, yaitu tentang apa
dan sampai di mana yang hendak dicapai
ilmu. Ini berarti sejak awal
kita sudah ada pegangan dan gejala sosial.
Dalam hal ini menyangkut yang
mempunyai eksistensi dalam dimensi
ruang dan waktu, dan terjangkau
oleh pengalaman inderawi. Dengan
demikian, meliputi fenomena
yang dapat diobservasi, dapat diukur,
sehingga datanya dapat diolah,
diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik
kesimpulan. Dengan lain
perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib
seperti soal surga atau neraka
yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
15
Telaahan kedua adalah dari segi
epistimologi, yaitu meliputi
aspek normatif mencapai
kesahihan perolehan pengetahuan secara ilmiah,
di samping aspek prosedural,
metode dan teknik memperoleh data
empiris. Kesemuanya itu lazim
disebut metode ilmiah, meliputi langkahlangkah
pokok dan urutannya, termasuk
proses logika berpikir yang
berlangsung di dalamnya dan
sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.
Telaahan ketiga ialah dari segi
aksiologi, yang sebagaimana telah
disinggung di atas terkait
dengan kaidah moral pengembangan penggunaan
ilmu yang diperoleh.
Epistimologi,
Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
Ontologi
(Hakikat
Ilmu)
􀂃 Obyek
apa yang telah ditelaah ilmu?
􀂃 Bagaimana
wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
􀂃 Bagaimana
hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindera)
yang membuahkan pengetahuan?
􀂃 Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
yang berupa ilmu?
􀂃 Bagaimana
prosedurnya?
Epistimologi
(Cara
Mendapatkan
Pengetahuan)
􀂃 Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu?
􀂃 Bagaimana
prosedurnya?
􀂃 Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan dengan benar?
􀂃 Apa
yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
􀂃 Apa
kriterianya?
􀂃 Sarana/cara/teknik
apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu?
Aksiologi
(Guna
Pengetahuan)
􀂃 Untuk
apa pengetahuan tersebut digunakan?
􀂃 Bagaiman
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral?
􀂃 Bagaimana
penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral?
􀂃 Bagaimana
kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma
moral/profesional?
Sumber: Suriasumantri, 1993
Teori pengetahuan yang bersifat
subjektif akan memberikan
jawaban ”TIDAK”, kita tidak
akan mungkin mengetahui, menemukan
hal-hal yang ada di balik
pengaman dan ide kita. Sedangkan teori
pengetahuan yang bersifat
obyektif akan memberikan jawaban ”YA”.
1.5.
Sumber-Sumber Pengetahuan
pertama, mendasarkan diri
dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan
pengalaman. Kaum rasionalis
mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman
mengembangkan empirisme. Kaum
rasionalis mengembangkan metode
deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide
yang diangapnya jelas dan dapat
diterima. Ide ini menurut mereka bukan
ciptaan pikiran manusia.
Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia
memikirkannya (idelisme).
Di samping rasionalisme dan
pengalaman masih ada cara lain
yakni intuisi atau wahyu.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan
tanpa melalui proses penalaran,
bersifat personal dan tak bisa diramalkan.
Sedangkan wahyu merupakan
pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan
kepada manusia.
Masalah yang muncul dalam
sumber pengetahuan adalah dikotomi
atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama. Bagi agama Islam
sumber ilmu yang paling
otoritatif adalah Alquran dan Hadis. Bagi ilmu
umum (imuwan sekuler)
satunya-satunya yang valid adalah pengalaman
empiris yang didukung oleh
indrawi melalui metode induksi. Sedangkan
metode deduksi yang ditempuh
oleh akal dan nalar sering dicurigai secara
apriopri (yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka,
setinggitingginya
pencapaian akal adalah
filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu
spekulatif untuk bisa
mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang
diminta kaum positivis. Adapun
pengalaman intuitif sering dianggap hanya
sebuah halusinasi atau ilusi
belaka. Sedangkan menurut agamawan pengalaman
intuitif dianggap sebagai
sumber ilmu, seperti para nabi memperoleh
wahyu ilahi atau mistikus
memperoleh limpahan cahaya Ilahi.
Masalah berikutnya adalah
pengamatan. Sains modern menentukan
obyek ilmu yang sah adalah
segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
(the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya muncul penolakan
dari filosof logika positivisme
yang menganggap segala pernyataan yang
tidak ada hubungan obyek
empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan ini
melahirkan metafisik (dianggap
gaib) dan fisik (dianggap science).
Masalah lainnya adalah
munculnya disintegrasi pada tatanan
klasifikasi ilmu. Penekanan
sains modern pada obyek empiris (ilmu-ilmu
fisika) membuat cabang ilmu
nonfisik bergeser secara signifikan ke
pinggiran. Akibatnya timbul
pandangan negatif bahwa bidang kajian
agama hanya menghambat
kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud
yang menyatakan agama dan
terutama pendukungnya yang fanatik
bertanggung jawab terhadap
pemiskinan pengetahuan karena melarang
anak didik untuk bertanya
secara kritis.
Masalah lainnya yang muncul
adalah menyangkut metodologi
ilmiah. Sains pada dasarnya
hanya mengenal metode observasi atau
eksperimen. Sedangkan agamawan
mengembangkan metode lainnya seperti
metode intuitif. Masalah
terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan
ilmu dan agama terutama indra,
intektual dan intuisi sebagai
pengalaman legitimate dan riil dari manusia.
1.6.
Sejarah Perkembangan Ilmu
A.
Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani
merupakan periode sangat penting
dalam sejarah peradaban manusia
karena pada waktu itu terjadi
perubahan pola pikir
mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat
mengandalkan mitos untuk menjelaskan
fenomena alam, seperti
gempa bumi dan pelangi). Gempa
bumi tidak dianggap fenomena
alam biasa, tetapi Dewa Bumi
yang sedang menggoyangkan
kepalanya. Namun, ketika
filsafat diperkenalkan, fenomena alam
tersebut tidak lagi dianggap
sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas
alam yang terjadi secara
kausalitas.
Filosof alam pertama yang
mengkaji tentang asal usul alam
adalah Thales (624-546 SM)
mempertanyakan “Apa sebenarnya asal
usul alam semesta ini?” Ia
mengatakan asal alam adalah air karena
air unsur penting bagi setiap
makhluk hidup, air dapat berubah
menjadi benda gas, seperti uap
dan benda dapat, seperti es, dan bumi
ini juga berada di atas air.
Sedangkan Heraklitos mempunyai
kesimpulan bahwa yang
mendasar dalam alam semesta ini
adalah bukan bahannya, melainkan
aktor dan penyebabnya, yaitu
api. Api adalah unsur yang paling asasi
dalam alam karena api dapat
mengeraskan adonan roti dan di sisi
lain dapat melunakkan es.
Artinya, api adalah aktor pengubah dalam
alam ini, sehingga api pantas
dianggap sebagai simbol perubahan itu
sendiri.
Pythagoras (580-500 SM)
berpendapat bahwa bilangan
adalah unsur utama dari alam
dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur
bilangan merupakan juga unsur
yang terdapat dalam segala sesuatu.
Unsur-unsur bilangan itu adalah
genap dan ganjil, terbatas dan tidak
terbatas. Menurut Abu Al Hasan
Al Amiri, seorang filosof muslim
Phitagoras belajar geometri dan
matematika dari orang-orang mesir
(Rowston, dalam Kartanegara,
2003).
Filosof alam ternyata tidak
dapat memberikan jawaban yang
memuaskan, sehingga timbullah
kaum “sofis”. Kaum sofis ini
memulai kajian tentang manusia
dan menyatakan bahwa ini memulai
kajian tentang manusia dan
menyatakan bahwa manusia adalah
ukuran kebenaran. Tokoh
utamanya adalah Protagoras (481-411
SM). Ia menyatakan bahwa
“manusia” adalah ukuran kebenaran.
Ilmu juga mendapat ruang yang
sangat kondusif dalam pemikiran
kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan
sekaligus merelatifkan teori
ilmu, sehingga muncul sintesa baru.
Socrates, Plato, dan
Aristoteles menolak relativisme kaum sofis.
Menurut mereka, ada kebenaran
obyektif yang bergantung kepada
manusia.
Periode setelah Socrates
disebut dengan zaman keemasan filsafat
Yunani karena pada zaman ini
kajian-kajian yang muncul adalah
perpaduan antara filsafat alam
dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang
sangat menonjol adalah Plato
(429-347 SM), yang sekaligus murid
Socrates. Menurutnya, kebenaran
umum itu ada bukan dibuat-buat
bahkan sudah ada di alam idea.
Puncak kejayaan filsafat Yunani
terjadi pada masa Aristoteles
(384-322 SM). Ia murid Plato,
berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan
besar filsafat yang
dipersatukannya dalam satu sistem: logika,
matematika, fisika, dan
metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada
analisis bahasa yang disebut
silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri
dari tiga premis:
-
Semua manusia akan
mati (premis mayor).
-
Socrates seorang
manusia (premis minor).
-
Socrates akan mati
(konklusi).
Aristoteles dianggap bapak ilmu
karena dia mampu meletakkan
dasar-dasar dan metode ilmiah
secara sistematis.
B.
Zaman Islam
Islam tidak hanya mendukung
adanya kebebasan intelektual,
tetapi juga membuktikan
kecintaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan
sikap hormat mereka kepada
ilmuwan, tanpa memandang agama mereka.
Periode antara 750 M dan 1100 M
adalah abad masa keemasan dunia
Islam. Plato dan Aristoteles
telah memberikan pengaruh yang besar pada
mazhab-mazhab Islam, khususnya
mazhab Peripatetik.
Al Farabi sangat berjasa dalam
mengenalkan dan mengembangkan
cara berpikir logis (logika)
kepada dunia Islam. Berbagai karangan
Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First, dan Second Analysis
telah diterjemahkan Al Farabi
ke dalam bahasa Arab. Al Farabi telah
membicarakan berbagai sistem
logika dan cara berpikir deduktif maupun
induktif. Di samping itu beliau
dianggap sebagai peletak dasar pertama
ilmu musik dan menyempurnakan
ilmu musik yang telah dikembangkan
sebelumnya oleh Phytagoras.
Oleh karena jasanya ini, maka Al Farabi
diberi gelar Guru Kedua, sedang
gelar Guru Pertama diberikan kepada
Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al Farabi
yang dianggap cukup bernilai adalah
usahanya mengklasifikasi ilmu
pengetahuan. Al Farabi telah memberikan
defenisi dan batasan setiap
ilmu pengetahuan yang berkembang pada
zamannya. Al Farabi
mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang yaitu:
logika, percakapan, matematika,
fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqih
(hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi ke
dalam tujuh bagian yaitu: bahasa,
gramatika, sintaksis, syair,
menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu
percakapan dibagi dalam: ilmu
kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan
yang benar, aturan membaca
dengan benar, dan aturan mengenai syair
yang baik. Ilmu logika dibagi
dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori
dan diakhiri dengan syair
(puisi). Matematika dibagi dalam tujuh bagian.
Metafisika dibagi dalam dua
bahasan, bahasan pertama mengenai
pengetahuan tentang makhluk dan
bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.
Politik dikatakan sebagai
bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika
dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab menjadi madani, yang berarti sipil
dan berhubungan dengan tata
cara mengurus suatu kota .
Kata ini
kemudian sangat populer
digunakan untuk menyepadankan istilah
masyarakat sipil menjadi
masyarakat madani. Ilmu agama dibagi dalam
ilmu fiqih dan imu
ketuhanan/kalam (teologi).
Buku Al Farabi mengenai
pembagian ilmu ini telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin untuk
konsumsi bangsa Eropa dengan judul De
Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini
mengulas berbagai jenis ilmu
seperti ilmu kimia, optik, dan geologi. Al
Farabi (w.950) terkenal dengan
doktrin wahda al wujud membagi
hierarki wujud yaitu (1)
dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang
merupakan sebab bagi keberadaan
yang lain, (2) para malaikat di
bawahnya yang merupakan sebab
bagi keberadaan yang lain, (3) benda21
benda langit (angkasa), (4)
benda-benda bumi. Al Farabi memiliki sikap
yang jelas karena ia percaya
pada kesatuan filsafat dan bahwa tokohtokoh
filsafat harus bersepakat di
antara mereka sepanjang yang menjadi
tujuan mereka adalah kebenaran.
Filosof lain yang terkenal
adalah Ibnu Sina dikenal di Barat dengan
sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai
seorang dokter dan penyair.
Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak
ditulis dalam bentuk syair.
Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin oleh
Gerard Cremona di Toledo. Buku ini
kemudian menjadi buku teks (text book) dalam ilmu kedokteran yang
diajarkan pada beberapa
perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas
betapa pentingnya penelitian
eksperimental untuk menentukan khasiat
suatu obat. Ibnu Sina
menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat
sangat tergantung pada
ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian.
Pemberian obat hendaknya
disesuaikan dengan kekuatan penyakit.
Kitab lainnya berjudul Al Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di
Barat dikenal dengan nama
Avendauth Ben Daud) di Toledo. Oleh
karena Al Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu
Daud terbatas pada pendahuluan
ilmu logika, fisika, dan De Anima. Ibnu
Sina membagi filsafat atas
bagian yang bersifat teoretis dan bagian yang
bersifat praktis. Bagian yang
bersifat teoretis meliputi: matematika,
fisika, dan metafisika, sedang
bagian yang bersifat praktis meliputi:
politik dan etika.
Ibnu Sina, mengatakan alam pada
dasarnya adalah potensi
(mumkin al wujud) dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya sendiri
tanpa adanya Tuhan. Ibnu Sina
mengelompokkan ilmu dalam tiga macam
yakni (1) obyek-obyek yang
secara niscaya tidak berkaitan dengan materi
dan gerak (metafisik), (2)
obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan
materi dan gerak (fisika), (3)
obyek-obyek yang pada dirinya immateriel
tetapi kadang melakukan kontak
dengan materi dan gerak (matematika).
Ibn Khaldun dalam kitabnya Al Muqaddimah membagi
metafisika dalam lima bagian. Bagian
pertama berbicara tentang hakikat
wujud (ontologi). Dari sini
muncul dua aliran besar yakni eksistensialis
(tokoh yang terkemuka adalah
Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan
esensialis
(tokoh yang
terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi).
Berikutnya Ibn Khaldun membagi
ilmu matematika ke dalam empat
subdivisi yakni (1) geometri;
trigonometrik dan kerucut, surveying tanah,
dan optik. Sarjana muslim
terutama Ibn Haitsam telah banyak
mempengaruhi sarjana barat
termasuk Roger Bacon, Vitello dan Kepler
(2)Aritmetika; seni
berhitung/hisab, aljabar, aritmatika bisnis dan faraid
(hukum waris), (3) musik, (4)
astronomi.
Dalam bidang ilmu mineral,
dikenal karya Al Biruni yang
berjudul Al Jawahir (batu-batu permata), selain itu pada abad ke-11 Al
Biruni dikenal sebagai The master of observation di bidang geologi dan
geografi karena Al Biruni
berusaha mengukur keliling bumi melalui
metode eksperimen dengan
menggabungkan metode observasi dan teori
trigonometri. Akhirnya ia
sampai pada kesimpulan bahwa keliling bumi
adalah 24.778,5 mil dengan
diameter 7.878 mil. Tentu saja ini merupakan
penemuan luar biasa untuk masa
itu, dengan ukuran modern saja yaitu
24.585 mil (selisih ± 139 mil)
dengan diameter 7.902 mil.
Dalam bidang ilmu farmakologi
dan medis dikenal karya Ibnu
Sina yakni Al Qanun fi al Thibb dan Al Hawi oleh Abu Bakr Al Razi,
bidang nutrisi dikenal karya
Ibn Bathar yakni Al Jami Li Mufradat Al
Adawiyyah wa Al Aghdziyah, di bidang zoologi dikenal karya Al Jahizh
yang berjudul Al Hayawan dan Hayat Al Hayawan oleh Al Damiri. Di
mencitakan ratusan alat bedah
yang sudah sangat maju untuk ukuran
zamannya.
Filosof lainnya adalah Al
Kindi, yang dianggap sebagai filosof
Arab pertama yang mempelajari
filsafat. Ibnu Al Nadhim mendudukkan
Al Kindi sebagai salah satu
orang termasyhur dalam filsafat alam
(natural philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai
cabang ilmu pengetahuan seperti
geometri, aritmatika, astronomi, musik,
logika dan filsafat. Ibnu Abi
Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai
penerjemah terbaik kitab-kitab
ilmu kedokteran dari bahasa Yunani ke
dalam bahasa Arab. Di samping
sebagai penerjemah, Al Kindi menulis
juga berbagai makalah. Ibnu Al
Nadhim memperkirakan ada 200 judul
makalah yang ditulis Al Kindi
dan sebagian di antaranya tidak dapat
dijumpai lagi, karena raib
entah kemana. Nama Al Kindi sangat masyhur
di Eropa pada abad pertengahan.
Bukunya yang telah disalin ke dalam
bahasa Latin di Eropa berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang
geometri dan ilmu optik,
mengacu pada pendapat Euclides, Heron, dan
Ptolemeus. Salah satu orang
yang sangat kagum pada berbagai tulisannya
adalag filosof kenamaan Roger
Bacon.
Filosof lainnya adalah Ibnu
Rushd yang lahir dan dibesarkan di
Cordova, Spanyol, meskipun
seorang dokter dan telah mengarang buku
ilmu kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab
Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Ibnu Rushd telah menyusun 3
komentar mengenai Aristoteles,
yaitu: komentar besar, komentar
menengah, dan komentar kecil. Ketiga
komentar tersebut dapat
dijumpai dalam tiga bahasa: Arab, Latin, dan Yahudi.
Dalam komentar besar, Ibnu
Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite
karya Aristoteles dengan bahasa
Arab dan memberikan komentar pada
bagian akhir. Dalam komentar
menengah ia masih menyebut-nyebut
Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada komentar kecil filsafat
yang diulas murni pandangan
Ibnu Rushd.
Pandangan Ibnu Rushd yang
menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk
mencapai kebenaran sejati dibanding jalan
yang ditempuh oleh ahli agama,
telah memancing kemarahan pemukapemuka
agama, sehingga mereka meminta
kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk
menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis.
Sebenarnya apa yang dikemukakan
oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan
pula oleh Al Kindi dalam
bukunya Falsafah El Ula (First Philosophy).
Al Kindi menyatakan bahwa kaum
fakih tidak dapat menjelaskan
kebenaran dengan sempurna, oleh
karena pengetahuan mereka yang tipis
dan kurang bernilai (Haeruddin,
2003).
C.
Kemajuan Ilmu Zaman Renaisans dan Modern
Pada zaman modern paham-paham
yang muncul dalam garis
besarnya adalah rasionalisme,
idealisme, dan empirisme. Paham
rasionalisme mengajarkan bahwa
akal itulah alat terpenting dalam
memperoleh dan menguji
pengetahuan. Paham idealisme mengajarkan
bahwa hakikat fisik adalah
jiwa, spirit. Ide ini merupakan ide Plato yang
memberikan jalan untuk
mempelajari paham idealisme zaman modern.
Paham empirisme dinyatakan
bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita
selain didahului oleh
pengalaman.
Renaisans merupakan era sejarah
yang penuh dengan kemajuan
dan perubahan yang mengandung
arti bagi perkembangan ilmu. Zaman
yang menyaksikan dilancarkannya
tantangan gerakan reformasi terhadap
keesaan dan supremasi Gereja
Katolik Roma, bersamaan dengan
berkembangnya Humanisme. Zaman
ini juga merupakan penyempurnaan
kesenian, keahlian, dan ilmu
yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa,
Leonardo da Vinci. Penemuan
percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya
benua baru (1492 M) oleh Columbus memberikan
dorongan lebih keras
untuk meraih kemajuan ilmu.
Kelahiran kembali sastra di Inggris,
Perancis dan Spanyol diwakili
Shakespeare, Spencer, Rabelais, dan
Ronsard. Pada masa itu, seni
musik juga mengalami perkembangan.
Adanya penemuan para ahli
perbintangan seperti Copernicus dan Galileo
menjadi dasar bagi munculnya
astronomi modern yang merupakan titik
balik dalam pemikiran ilmu dan
filsafat.
Bacon adalah pemikir yang
seolah-olah meloncat keluar dari
zamannya dengan melihat
perintis filsafat ilmu. Ungkapan Bacon yang
terkenal adalah Knowledge is Power (Pengetahuan adalah kekuasaan).
menghasilkan kemenangan dan
perang modern, kompas memungkinkan
manusia mengarungi lautan, percetakan yang mempercepat penyebaran
ilmu.
Lahirnya Teori Gravitasi,
perhitungan Calculus dan Optika
merupakan karya besar Newton . Teori Gravitasi
Newton dimulai ketika
muncul persangkaan penyebab
planet tidak mengikuti pergerakan lintas
lurus, apakah matahari yang
menarik bumi atau antara bumi dan matahari
ada gaya saling tarik menarik.
Teori Gravitasi memberikan
keterangan, mengapa planet tidak
bergerak lurus, sekalipun
kelihatannya tidak ada pengaruh yang memaksa
planet harus mengikuti lintasan
elips. Sebenarnya, pengaruhnya ada,
tetapi tidak dapat dilihat
dengan mata dan pengaruh itu adalah Gravitasi,
yaitu kekuatan yang selalu akan
timbul jika ada dua benda yang saling
berdekatan.
Perkembangan ilmu pada abad
ke-18 telah melahirkan ilmu
seperti taksonomi, ekonomi,
kalkulus, dan statistika. Di abad ke-9 lahir
semisal farmakologi, geofisika,
geormopologi, palaentologi, arkeologi,
dan sosiologi. Abad ke-20 mengenal
ilmu teori informasi, logika
matematika, mekanika kwantum,
fisika nuklir, kimia nuklir, radiobiologi,
oceanografi, antropologi
budaya, psikologi, dan sebagainya.
D.
China, India, dan Jepang
Peradaban India yang pada
awal telah mencapai teknologi tingkat
tinggi. Kontak Eropa dengan
peradaban India
sebagian besar melalui
sumber berbahasa Arab. Jelas
terlihat matematika India
dengan sistem
bilangan dan perhitungannya
yang telah mempengaruhi aljabar Arab dan
melengkapi angka utama Arab.
Tetapi ciri khasnya adalah pemikiran
dengan kesadaran yang tinggi.
Peradaban Cina, hingga zaman
renaisans peradaban Cina jauh
lebih maju dibanding Barat.
Menurut Francis Bacon, Tranformasi masyarakat
Eropa banyak berasal dari Cina
seperti kompas magnetik, bubuk mesiu,
dan mesin cetak. Namun Eropa
tidak pernah menyadari hutang budinya
kepada Cina. Kegagalan Cina
dalam membuat perkembangan ilmu dan
teknologi adalah filsafat yang
ada lebih berlaku praktis ketimbang
prinsip-prinsip abstrak,
filsafat yang ada didasarkan analogi-analogi
harmonis dan organis serta
pedagang sebagai kelas yang tidak dapat
dipercaya, sehingga ciri
renaisans yang terjadi di Eropa tidak terjadi di
Cina.
Peradaban Jepang selama
beberapa abad terimbas dari kultur
Cina. Pada awal abad ke-17
memutuskan untuk menutup pintu dari
pengaruh-pengaruh yang dianggap
membahayakan. Awal abad ke-19
memutuskan berasimilasi ke
bangsa luar dan melaksanakan dengan
sungguh. Saat ini satu sisi
Jepang hidup dengan teknologi yang tinggi
akan tetapi tetap mengikuti
tradisi sosial yang kuno seperti bangsa Cina.
1.7.
Ilmu dan Moralitas
Dari awal perkembangan ilmu
selalu dikaitkan dengan masalah
moral. Copernicus (1473-1543)
yang menyatakan bumi berputar
mengelilingi matahari, yang
kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-
1642) yang menyatakan bumi
bukan merupakan pusat tata surya yang
akhirnya harus berakhir di
pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2
abad mempengaruhi proses
perkembangan berpikir di Eropa.
Moral reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku
manusia, institusi atau
kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi
standar moral. Kriterianya:
Logis, bukti nyata yang digunakan untuk
mendukung penilaian haruslah
tepat, konsisten dengan lainnya.
Menurut Kohlberg (Valazquez,
1998) menyatakan perkembangan
moral individu ada 3 tahap
yaitu:
1. Level Preconvenstional. Level ini berkembang pada masa kanakkanak.
a. Punishment and obidience orientation: alasan seseorang patuh
adalah untuk menghindari
hukuman.
b. Instrument and relativity orientation; perilaku atau tindakan
benar karena memperoleh imbalan
atau pujian.
2. Level Conventional: Individu termotivasi untuk berperilaku sesuai
dengan norma-norma kelompok
agar dapat diterima dalam suatu
kelompok tersebut.
a. Interpersonal concordance orientation: orang bertingkah laku
baik untuk memenuhi harapan
dari kelompoknya yang menjadi
loyalitas, kepercayaan dan
perhatiannya seperti keluarga dan
teman.
b. Law and order orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas
seseorang pada lingkungan yang
lebih luas seperti kelompok
masyarakat atau negara.
3. Level Postconventional: pada level ini orang tidak lagi menerima saja
nilai-nilai dan norma-norma
dari kelompoknya, melainkan melihat
situasi berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang diyakininya.
a. Social contract orientation: orang mulai menyadari bahwa orangorang
memiliki pandangan dan opini
pribadi yang sering
bertentangan dan menekankan
cara-cara adil dalam mencapai
konsensus dengan perjanjian,
kontrak dan proses yang wajar.
b. Universal ethical principles orientation. Orang memahami
bahwa suatu tindakan dibenarkan
berdasarkan prinsip-prinsip
moral yang dipilih karena
secara logis, komprehensif, universal,
dan konsisten.
1.8.
Sarana Ilmiah
Dalam berpikir untuk
mengembangkan pengetahuan ilmiah, tentu
tidak terlepas dari alat atau
sarana ilmiah. Sarana ilmiah dimaksud meliputi
beberapa hal yaitu bahasa,
matematika, statistika, dan logika. Hal ini
mempunyai peranan sangat
mendasar bagi manusia dalam proses berpikir
dan mengkomunikasikan maupun
mendokumentasikan jalan pikiran manusia.
Bahasa merupakan suatu sistem
yang berstruktur dari simbolsimbol
bunyi arbitrer (bermakna) yang
dipergunakan oleh para anggota
sesuatu kelompok sosial sebagai
alat bergaul satu sama lain. Unsur-unsur
yang terdapat di dalamnya
meliputi: simbol-simbol vokal arbitrer, suatu
sistem yang berstruktur dari
simbol-simbol yang arbitrer dan yang
dipergunakan oleh para anggota
suatu kelompok sosial sebagai alat
bergaul satu sama lain. Bahasa
berfungsi sebagai sarana untuk
menyampaikan pikiran, perasaan
dan emosi kepada orang lain, baik
pikiran yang berlandaskan
logika induktif maupun deduktif. Hal ini
disebut bahasa ilmiah, tentu
beda dengan bahasa agama yaitu kalam ilahi
yang terabadikan ke dalam kitab
suci dan ungkapan serta perilaku
keagamaan dari suatu kelompok
sosial.
Matematika sebagai bahasa yang
melambangkan serangkaian
makna dari serangkaian
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Fungsi
matematika hampir sama luasnya
dengan fungsi bahasa yang berhubungan
dengan pengetahuan dan ilmu
pengetahuan. Matematika merupakan ilmu
deduktif yang memiliki
kontribusi dalam perkembangan ilmu alam
maupun ilmu-ilmu sosial.
Statistik mengandung arti
kumpulan data yang berbentuk angkaangka
(data kuantitatif). Penelitian
untuk mencari ilmu (penelitian
ilmiah), baik berupa survei
atau eksperimen, dilakukan lebih cermat dan
teliti dengan menggunakan
teknik-teknik statistik. Statistik mempunyai
peranan penting dalam berpikir
induktif, jadi bahasa, matematika,
statistik memiliki peranan yang
sangat mendasar dalam berpikir logika
dan tidak dapat terlepas satu
sama lain dalam berbagai bidang aspek
kehidupan ilmiah manusia.
Logika merupakan sarana
berpikir sistematis, valid, cepat, dan
tepat serta dapat
dipertanggungjawabkan dalam berpikir logis dibutuhkan
kondisi-kondisi tertentu seperti:
mencintai kebenaran, mengetahui apa
yang sedang dikerjakan dan apa
yang sedang dikatakan, membuat
perbedaan dan pembagian,
mencintai defenisi yang tepat, dan mengetahui
mengapa begitu kesimpulan kita
serta menghindari kesalahan-kesalahan.
A.
Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem
simbol-simbol bunyi yang arbitrer
yang dipergunakan oleh suatu
kelompok sosial sebagai alat untuk
berkomunikasi. Bahasa adalah
suatu sistem yang berstruktur dari simbolsimbol
bunyi arbitrer yang
dipergunakan oleh para anggota sesuatu
kelompok sosial sebagai alat
bergaul satu sama lain. Perlu diteliti setiap
unsur yang terdapat di
dalamnya. Dengan kemampuan kebahasaan akan
terbentang luas cakrawala
berpikir seseorang dan tiada batas dunia
baginya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Wittgenstein yang
menyatakan: “batas bahasaku
adalah batas duniaku”.
Secara umum dapat dinyatakan
bahwa fungsi bahasa adalah: (1)
Koordinator kegiatan-kegiatan
masyarakat. (2) Penetapan pemikiran dan
pengungkapan.(3) Penyampaian
pikiran dan perasaan. (4) Penyenangan
jiwa.(5) Pengurangan
kegoncangan jiwa.
Bahasa sebagai alat komunikasi
verbal yang digunakan dalam
proses berpikir ilmiah di mana
bahasa merupakan alat berpikir dan alat
komunikasi untuk menyampaikan
jalan pikiran tersebut kepada orang
lain, baik pikiran yang
berlandaskan logika induktif maupun deduktif.
Dengan kata lain, kegiatan
berpikir ilmiah ini sangat berkaitan erat
dengan bahasa. Bahasa ilmiah
adalah bahasa yang digunakan dalam
kegiatan ilmiah.
B.
Matematika
Banyak sekali ilmu-ilmu sosial
sudah mempergunakan matematika
sebagai sosiometri, psychometri, econometri, dan seterusnya. Hampir
dapat dikatakan bahwa fungsi
matematika sama luasnya dengan fungsi
bahasa yang berhubungan dengan
pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Untuk dapat melakukan kegiatan
berpikir ilmiah dengan baik,
maka diperlukan sarana berupa
bahasa, logika, matematika dan statistika.
Penalaran ilmiah menyadarkan
kita kepada proses logika deduktif dan
logika induktif. Matematika
mempunyai peranan penting dalam berpikir
deduktif, sedangkan statistika
mempunyai peran penting dalam berpikir
induktif.
Matematika adalah bahasa yang
melambangkan serangkaian
makna dari serangkaian
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambanglambang
matematika bersifat
“artifisial” yang baru mempunyai arti setelah
sebuah makna diberikan
kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya
merupakan kumpulan rumus-rumus
yang mati.
1. Matematika sebagai Sarana Berpikir Deduktif
Matematika merupakan ilmu
deduktif. Nama ilmu deduktif diperoleh
karena penyelesaian masalah-masalah
yang dihadapi tidak didasari
atas pengalaman seperti halnya
yang terdapat di dalam ilmu-ilmu
empiris, melainkan didasarkan
atas deduksi-deduksi (penjabaranpenjabaran).
2. Matematika untuk Ilmu Alam dan Ilmu Sosial
Kontribusi matematika dalam perkembangan
ilmu alam, lebih
ditandai dengan penggunaan
lambang-lambang bilangan untuk
penghitungan dan pengukuran, di
samping hal lain seperti bahasa,
metode, dan lainnya. Berbeda
dengan ilmu sosial yang memiliki
obyek penelahaan yang kompleks
dan sulit dalam melakukan
pengamatan, di samping obyek
penelaahan yang tak berulang maka
kontribusi matematika tidak
mengutamakan pada lambang-lambang
bilangan. Kita akan mempelajari
sebuah kelompok sosial dengan
informasi tertentu mengenai
perasaan suka dan tidak suka di antara
pasangan manusia. Sebuah grafik
adalah suatu bahasa matematis
yang mudah di mana kita dapat
mengemukakan struktur semacam itu.
C.
Statistik
Pada mulanya, kata “statistik”
diartikan sebagai “kumpulan
bahan keterangan (data), baik
yang berwujud angka (data kuantitatif)
maupun yang tidak berwujud
angka (data kualitatif), yang mempunyai
arti penting dan kegunaan besar
bagi suatu negara”. Namun pada
perkembangan selanjutnya, arti
kata statistik hanya dibatasi pada
kumpulan bahan keterangan yang
berwujud angka (data kuantitatif) saja.
Dalam kamus ilmiah populer,
kata statistik berarti tabel, grafik,
daftar informasi, angka-angka,
informasi. Sedangkan kata statistika
berarti ilmu pengumpulan,
analisis, dan klasifikasi data, angka sebagai
dasar untuk induksi.
Abraham Demoitre (1667-1754)
mengembangkan teori galat atau
kekeliruan (theory of error). Pada tahun 1757 Thomas Simpson
menyimpulkan bahwa terdapat
sesuatu distribusi yang berlanjut dari
suatu variabel dalam suatu
frekuensi yang cukup banyak.
Pearson melanjutkan
konsep-konsep Galton dan mengembangkan
konsep regresi, korelasi,
distribusi, chi-kuadrat, dan analisis statistika
untuk data kualitatif Pearson
menulis buku The Grammar of Science
sebuah karya klasik dalam
filsafat ilmu. Penelitian ilmiah, baik yang
berupa survei maupun
eksperimen, dilakukan lebih cermat dan teliti
dengan mempergunakan
teknik-teknik statistik yang diperkembangkan
sesuai dengan kebutuhan.
Tujuan dari pengumpulan data
statistik dapat dibagi ke dalam dua
golongan besar, yang secara
kasar dapat dirumuskan sebagai tujuan kegiatan
praktis dan kegiatan keilmuan.
Perbedaan yang penting dari kedua
kegiatan ini dibentuk oleh
kenyataan bahwa dalam kegiatan praktis
hakikat alternatif yang sedang
dipertimbangkan telah diketahui, paling
tidak secara prinsip, di mana
konsekuensi dalam memilih salah satu dari
alternatif tersebut dapat
dievaluasi berdasarkan serangkaian perkembangan
yang akan terjadi. Di pihak
lain, kegiatan statistika dalam bidang keilmuan
diterapkan pada pengambilan
suatu keputusan yang konsekuensinya sama
sekali belum diketahui.
Pengambilan kesimpulan secara
induktif menghadapkan kita
kepada sebuah permasalahan
mengenai banyaknya kasus yang kita
hadapi. Dalam hal ini
statistika memberikan jalan keluar untuk dapat
menarik kesimpulan yang
bersifat umum dengan jalan mengamati hanya
sebagian dari populasi yang
bersangkutan. Statistika mampu memberikan
secara kuantitatif tingkat
ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut,
yakni makin besar contoh yang
diambil, maka makin tinggi pula tingkat
ketelitian kesimpulan tersebut.
Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Logika, Matematika dan
Statistika
Bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam
seluruh proses berpikir ilmiah
di mana bahasa merupakan alat berpikir
dan alat komunikasi untuk
menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada
orang lain. Ditinjau dari pola
berpikirnya, maka ilmu merupakan
gabungan antara berpikir
deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu,
penalaran ilmiah menyandarkan
diri kepada proses logika deduktif dan
logika induktif. Matematika
mempunyai peranan yang penting dalam
berpikir deduktif, sedangkan
statistika mempunyai peranan penting dalam
berpikir induktif. Jadi keempat
sarana ilmiah ini saling berhubungan erat
satu sama lain.
Peranan Statistika dalam Tahap-Tahap Metode Keilmuan
Statistika merupakan sekumpulan
metode dalam memperoleh
pengetahuan. Metode keilmuan,
sejauh apa yang menyangkut metode,
sebenarnya tak lebih dari apa
yang dilakukan seseorang dalam
mempergunakan pikirannya, tanpa
ada sesuatu pun yang membatasinya.
Statistika diterapkan secara
luas dalam hampir semua
pengambilan keputusan dalam
bidang manajemen. Statistika diterapkan
dalam penelitian pasar,
penelitian produksi, kebijaksanaan penanaman
modal, kontrol kualitas,
seleksi pegawai, kerangka percobaan industri,
ramalan ekonomi, auditing,
pemilihan risiko dalam pemberian kredit, dan
masih banyak lagi.
D.
Logika
Logika berasal dari bahasa
latin yakni Logos yang berarti
perkataan atau sabda. Dalam
bahasa arab di sebut Mantiq. Logika adalah
sarana untuk berpikir
sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu, berpikir logis
adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan
berpikir, seperti setengah
tidak boleh lebih besar daripada satu. Logis
dalam bahasa sehari-hari kita
sebut masuk akal.
Kata Logika dipergunakan
pertama kali oleh Zeno dari Citium.
Kaum Sofis, Socrates, dan Plato
dianggap sebagai perintis lahirnya
logika. Logika lahir sebagai
ilmu atas jasa Aristoteles, Theoprostus dan
kaum Stoa. (Russell, dalam
Mundiri 2006). Aristoteles meninggalkan
enam buah buku yang oleh
murid-muridnya disebut Organon. Buku itu
terdiri dari Categoriae
(mengenai pengertian-pengertian) De
Interpretatiae
(keputusan-keputusan), Analitica Priora (Silogisme),
Analitica Porteriora
(pembuktian), Topika (berdebat) dan De Sophisticis
Elenchis (kesalahan-kesalahan
berpikir). Theoprostus kemudian
mengembangkan Logika
Aristoteles dan kaum Stoa yang mengajukan
bentuk-bentuk berpikir yang
sistematis (Angel, dalam Mundiri 2006).
Logika dapat di sistemisasi
dalam beberapa golongan:
1. Menurut Kualitas dibagi dua,
yakni Logika Naturalis (kecakapan
berlogika berdasarkan kemampuan
akal bawaan manusia) dan
Logika Artifisialis (logika
ilmiah) yang bertugas membantu
Logika Naturalis dalam
menunjukkan jalan pemikiran agar lebih
mudah dicerna, lebih teliti,
dan lebih efisien.
2. Menurut Metode dibagi dua
yakni Logika Tradisional yakni
logika yang mengikuti
aristotelian dan Logika Modern
3. Menurut Objek dibagi dua
yakni Logika Formal (deduktif dan
induktif) dan Logika Material.
Dalam permasalahan logika
satuan proposisi terkecil yakni
“kata”. Kata menjadi penting
karena merupakan unsur dalam membentuk
pemikiran. Pada praktiknya kata
dapat dilihat berdasarkan beberapa
pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif (tidak
adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular (mengikat
keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat sedikit/terbatas),
konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk sifat, keadaan,
kegiatan yang terlepas dari
objek tertentu), mutlak (dapat difahami
sendiri tanpa hubungan dengan
benda lain), relatif (dapat difahami
sendiri jika ada hubungan
dengan benda lain), bermakna/tak bermakna.
Selain itu kata juga dilihat
berdasarkan predikatnya.
Selanjutnya adalah defenisi.
Defenisi adalah karakteristik
beberapa kelompok kata.
Karakteristik berarti melihat jenis dan sifat
pembeda. Jadi mendefenisikan
berarti menganalisis jenis dan sifat
pembeda yang dikandungnya. Agar
membuat defenisi terhindar dari
kekeliruan ada bebrapa hal yang
perlu diperhatikan yakni: (a) defenisi
tidak boleh luas atau lebih
sempit dari konotasi kata yang didefenisikan
(b) tidak menggunakan kata yang
didefenisikan (c) tidak memakai
penjelasan yang justru
membingungkan (d) tidak menggunakan bentuk
negatif.
Klasifikasi adalah
pengelompokan barang yang sama dan
memisahkan dari yang berbeda
menurut spesiesnya. Ada
dua cara dalam
membuat klasifikasi yakni
Pembagian (logical division) dan
Pengolongan.
No comments:
Post a Comment