Memasuki
akhir tahun ini, ketika memasuki halaman Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
yang saat ini selalu penuh oleh orang orang yang mendaftarkan Akta kelahiran,
dengan mengingat mulai tahun 2012 akan diberlakukan Undang undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dimana jika
suatu kelahiran lebih dari satu tahun, untuk mendapatkan Akta kelahiran harus
melalui sidang pengadilan. Kita akan membaca tulisan besar bahwa Akta Kelahiran bebas Biaya Restribusi.
Namun dengan mengingat Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Belum ada UPTD ditingkat Kecamatan, sehingga biaya transport
untuk mendapatkan Akta kelahiran tersebut tidaklah gratis, belum lagi segala
persaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan Akta kelahiran tersebut.
Masyarakat akan mengambil langkah mudah untuk mendapatkan Akta kelahiran
dimaksud, sebab apalah arti gratisnya biaya jika pengurusannya memakan waktu
dan jarak tempuh yang relatif jauh, masyarakat akan memilih memakai jasa biro jasa daripada harus ngantri,
memakan waktu, harus meninggalkan pekerjaan dirumah. Belum lagi jika kena tilang Polisi. Masyarakat merasa
lebih mudah dan murah melalui biro jasa daripada harus datang sendiri, apalagi
bagi yang tempat tinggalnya sangat jauh dari Ibukota Kabupaten.
Undang
undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
mengatur tentang tata cara administrasi kependudukan yang pada akhirnya dapat
memudahkan administrasi dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Undang Undang
tersebut hanya ada dua institusi pelaksana pencatatan administrasi
kependudukan, yakni Instansi pelaksana catatan kependudukan disatuan kerja
Pemerintah Kabupaten/Kota dan KUA Kecamatan yang melaksanakan pencatatan nikah,
cerai dan rujuk pada tingkat Kecamatan bagi penduduk yang beragama Islam.
Dua
lembaga pelaksanana administrasi kependudukan tersebut adalah dua lembaga yang
berbeda instansi, KUA Kecamatan dibawah naungan Kementerian Agama yang masuk
dalam instansi vertikal yang dalam pelaksanaan administrasi kependudukan saat
ini hanya berhak mengawasi administrasi Nikah dan Rujuk, sedangkan administrasi
dan pengeluaran Akta Perceraian berada di Panitera Pengadilan Agama yang masuk
kedalam lingkungan Peradilan (Mahkamah Agung). sedangkan Instansi pelaksana
catatan kependudukan disatuan kerja Pemerintah Kabupaten/Kota masuk dalam
lingkungan Pemerintah.
Sinkronisasi
administrasi tidak harus menjadikan institusi
pelaksana administrasi kependudukan menjadi satu wadah institusi, dengan
perkembangan Tehnologi dan Informatika,
dengan didukung satu aturan yang mengikat bagi pelaksana catatan sipil,
Sistim administrasi Kependudukan dapat dipadukan, sehingga nantinya tidak mudah
bagi seseorang untuk melakukan langkah administrasi kependudukan dan catatan
sipil secara ganda, Satu Penduduk tidak akan mendapatkan dua atau lebih KTP,
Tidak akan ada lagi pemalsuan identitas pernikahan, tidak akan ada lagi deal deal untuk menambah usia agar bisa
menikah walaupun sebenarnya usianya belum memenuhi syarat untuk menikah. Atau
bisa bekerja sebagai TKI. Pengurusan surat surat tidak perlu lagi dimulai dari
Ketua RT, namun cukup langsung ke Kantor Desa atau kelurahan dimana data bisa
diakses berdasarkan Nomor Induk Kependudukan, sehingga pelayanan kepada
masyarakat akan lebih cepat dan biaya akan lebih murah.
Peristiwa pernikahan bukan sekedar
hubungan keperdataan dua orang yang menyatu sebagai suami istri, atau sekedar
diperbolehkannya hubungan yang dilakukan yang sebelumnya sangat dilarang, namun
Pernikahan juga merupakan hubungan yang
lebih luas, sebab dalam pernikahan ada aturan aturan agama, ada hubungan cinta yang tidak cukup diatur
dengan perundang undangan. Dan seringkali dari akibat hubungan cinta yang tidak
mengenal batas wilayah, batas usia, dan masih banyak batasan lainnya ini sering
membuat seseorang untuk melakukan jalan pintas untuk mendapatkan pengesahan
dari pemerintah dengan melakukan pemalsuan data. Data Kependudukan dari
Instansi Pelaksana Administrasi Kependudukan, terutama yang berkaitan dengan
status penikahan belum terkoordinir dalam satu sistim tehnologi terpadu,
sehingga lebih mudah untuk dipalsukan atau dimanipulasi.
Pelaksanaan
pernikahan yang merupakan peristiwa yang sudah diatur dalam aturan agama, dan
aturan aturan tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut juga diatur dalam
hukum positif di Indonesia dan harus dicatatkan, sehingga juga harus tunduk
pada peraturan perundang undangan yang berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa
Pernikahan bukanlah peristiwa perdata biasa, malainkan peristiwa perdata luar
biasa yang penangannya juga tidak dapat dilakukan seperti peristiwa perdata
lainnya.
Pelaksaan
pernikahan yang merupakan peristiwa
perdata luar biasa tersebut, dimana ada tradisi kuat di masyarakat,
sehingga sangatlah sulit jika dalam pelayanannya dari birokrasi disamakan
dengan pelayanan administrasi kependudukan lainnya. Hal ini disebabkan dalam
pernikahan ada dua hal yang harus dilakukan, yakni pelaksanaan pernikahan itu
sendiri dan pencatatannya. Sehingga bagi PNS yang diberi tugas untuk mencatat
peristiwa pernikahan bukan hanya mampu mengawasi dan pencatat adanya
pernikahan, namun juga harus faham masalah hukum dan tradisi pernikahan itu
sendiri. Biaya pelaksanaan pernikahan yang harus ditanggung bukan hanya biaya
pencatatan saja, namun juga biaya pelaksanaan yang besarnya bisa bervariasi.
Pelaksanaan
pernikahan yang dilakukan diluar Balai Nikah ternyata hanya diatur dalam
Peraturan Menteri Agama, dimana tidak dijelaskan berapa biaya yang harus
dikeluarkan oleh calon mempelai yang ingin melaksanakan pernikahan diluar Balai
Nikah, sehingga dalam satu Kabupaten terjadi ketidak samaan mengenai besaran
biaya tersebut. Begitu juga dengan pungutan yang terjadi ditingkat desa untuk
mendapatkan persaratan pernikahan tersebut, hal ini terjadi karena tidak adanya
ukuran besaran biaya kas desa yang diperbolehkan dipungut oleh Pemerintah Desa,
sehingga kas desa besarannya bisa melampaui besarnya biaya pencatatan pernikahan
Kas Negara.
Pelayanan
pernikahan yang menurut Komisi Penanggulangan korupsi ( KPK ) dianggap sebagai
pelayanan dengan biaya tinggi tidak dapat dilepaskan dari berbagai inststitusi
yang terlibat didalamnya, sehingga mahalnya biaya pernikahan bukan hanya
tanggung jawab Kantor Urusan Agama, melainkan juga tanggung jawab pemerintah
daerah. Hal ini disebabkan surat surat sebagai persaratan pernikahan
dikeluarkan oleh Kepala Desa/Kelurahan yang merupakan institusi dibawah naungan
pemerintah daerah, sehingga jika ingin memberantas pungutan liar dalam
pernikahan, terlebih dahulu harus menghapuskan pungutan liar yang ada ditingkat desa/kelurahan, adanya transparansi
kas desa yang harus dibayarkan oleh masyarakat dalam pengurusan persuratan
sangat membantu dalam penanggulangan
pungutan liar tersebut. Upaya yang dilakukan kementerian Agama yang berencana
melarang pelaksanaan pernikahan yang dilakukan diluar balai nikah adalah reaksi
yang berlebihan, yang tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan keresahan di
masyarakat, hal ini diakibatkan adanya tradisi dalam pelaksanaan pernikahan
tersebut. Upaya upaya tersebut juga cenderung sia sia bila Pemerintah Daerah
tidak berperan aktif untuk mengatur ditingkatan desa/keluarahan tersebut.
Reformasi
Birokrasi dalam penanggulangan pungutan liar dan korupsi adalah suatu hal yang
tidak dapat dipisahkan, sebab pungutan dikatakan liar karena pungutan tersebut
tanpa dasar hukum yang jelas sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
jelas, meskipun demikian yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua pungutan
yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas tersebut dikatakan pungutan liar?,
dan apakah semua pungutan yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas tersebut
semuanya adalah pungutan yang dilarang?.
No comments:
Post a Comment