UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2014
TENTANG
PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu sebagaimana yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa jumlah warga negara
Indonesia yang mendaftar untuk menunaikan ibadah haji terus meningkat sedangkan
kuota haji terbatas sehingga jumlah jemaah haji tunggu meningkat;
c.
bahwa peningkatan jumlah
jemaah haji tunggu mengakibatkan terjadinya penumpukan akumulasi dana haji;
d.
bahwa akumulasi dana haji
berpotensi ditingkatkan nilai manfaatnya guna mendukung penyelenggaraan ibadah
haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif,
efisien, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e.
bahwa untuk menjamin
pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel
memerlukan payung hukum yang kuat;
f.
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Mengingat:
Pasal 5
ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI
1 / 28
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Keuangan Haji adalah semua
hak dan kewajiban Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang terkait dengan
penyelenggaraan ibadah haji serta semua kekayaan dalam bentuk uang atau barang
yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut, baik yang bersumber dari jemaah haji maupun sumber lain yang sah dan
tidak mengikat.
2.
Dana Haji adalah dana
setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji,
dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka
penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan
umat Islam.
3.
Dana Abadi Umat yang
selanjutnya disingkat DAU adalah sejumlah dana yang sebelum berlakunya
Undang-Undang ini diperoleh dari hasil pengembangan DAU dan/atau sisa biaya
operasional penyelenggaraan ibadah haji serta sumber lain yang halal dan tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.
Badan Pengelola Keuangan
Haji yang selanjutnya disingkat BPKH adalah lembaga yang melakukan pengelolaan
Keuangan Haji.
5.
Bank Umum Syariah adalah
bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
6.
Unit Usaha Syariah adalah
unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah.
7.
Bank Penerima Setoran Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS BPIH adalah Bank
Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang ditunjuk oleh BPKH.
8.
Kas Haji adalah rekening
BPKH pada Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang digunakan untuk
menampung Dana Haji.
9.
Penyelenggaraan Ibadah Haji
adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi
pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji yang
diselenggarakan oleh Pemerintah.
10. Penyelenggaraan
Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh
penyelenggara ibadah haji khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan
pelayanannya bersifat khusus.
11.
Penyelenggara Ibadah Haji
Khusus yang selanjutnya disingkat PIHK adalah pihak yang menyelenggarakan
ibadah haji khusus yang mempunyai izin dari Menteri sebagai PIHK.
12.
Biaya Penyelenggaraan
Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang harus
dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan ibadah haji.
13.
Biaya Penyelenggaraan
Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut BPIH Khusus adalah sejumlah dana
yang harus dibayar oleh Jemaah Haji yang akan menunaikan ibadah haji khusus.
14.
Jemaah Haji adalah warga
negara Indonesia yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk
menunaikan ibadah haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
15. Dewan
Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2 / 28
16.
Pemerintah Pusat yang
selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
17.
Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2
Pengelolaan
Keuangan Haji berasaskan:
a.
prinsip syariah;
b.
prinsip kehati-hatian;
c.
manfaat;
d.
nirlaba;
e.
transparan; dan
f.
akuntabel.
Pasal 3
Pengelolaan
Keuangan Haji bertujuan meningkatkan:
a.
kualitas Penyelenggaraan
Ibadah Haji;
b.
rasionalitas dan efisiensi
penggunaan BPIH; dan
c.
manfaat bagi kemaslahatan
umat Islam.
BAB II
KEUANGAN HAJI
Pasal 4
Keuangan
Haji meliputi:
a.
penerimaan;
b.
pengeluaran; dan
c.
kekayaan.
Pasal 5
Penerimaan
Keuangan Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
a.
setoran BPIH dan/atau BPIH
Khusus;
b.
nilai manfaat Keuangan
Haji;
c.
dana efisiensi
Penyelenggaraan Ibadah Haji;
d.
DAU; dan/atau
3 / 28
e.
sumber lain yang sah dan
tidak mengikat.
Pasal 6
(1)
Setoran BPIH dan/atau BPIH
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a diperoleh dari Jemaah Haji.
(2)
Setoran BPIH dan/atau BPIH
Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan ke rekening atas nama BPKH
dalam kedudukannya sebagai wakil yang sah dari Jemaah Haji pada Kas Haji
melalui BPS BPIH.
(3)
Saldo setoran BPIH dan/atau
BPIH Khusus terdiri atas setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus beserta nilai
manfaatnya.
(4)
Saldo setoran BPIH dan/atau
BPIH Khusus tidak dapat diambil oleh Jemaah Haji.
(5)
Pengambilan saldo setoran
BPIH dan/atau BPIH Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat
dilakukan apabila Jemaah Haji membatalkan porsinya, baik karena meninggal dunia
maupun alasan lain yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Pasal 7
(1)
Setoran BPIH dan/atau BPIH
Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a merupakan dana titipan Jemaah
Haji untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(2)
Dalam hal saldo setoran
BPIH dan/atau BPIH Khusus lebih besar daripada penetapan BPIH dan/atau BPIH
Khusus tahun berjalan, BPKH wajib mengembalikan selisihnya kepada Jemaah Haji.
Pasal 8
(1)
Nilai manfaat Keuangan Haji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b diperoleh dari hasil pengembangan
Keuangan Haji.
(2)
Nilai manfaat Keuangan Haji
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada Kas Haji.
Pasal 9
(1)
Dana efisiensi
Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(2)
Dana efisiensi
Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada
Kas Haji.
Pasal 10
Pengeluaran
Keuangan Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b meliputi:
a.
Penyelenggaraan Ibadah
Haji;
b.
operasional BPKH;
c.
penempatan dan/atau
investasi Keuangan Haji;
d.
pengembalian setoran BPIH
dan/atau BPIH Khusus Jemaah Haji yang membatalkan keberangkatan
4 / 28
dengan
alasan yang sah;
e.
pembayaran saldo setoran
BPIH Khusus ke PIHK;
f.
pembayaran nilai manfaat
setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus;
g.
kegiatan untuk kemaslahatan
umat Islam; dan
h.
pengembalian selisih saldo
setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus dari penetapan BPIH dan/atau BPIH Khusus
tahun berjalan.
Pasal 11
(1)
Besaran pengeluaran untuk
Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
ditetapkan oleh Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR.
(2)
Pengeluaran untuk
Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memindahkan dana dari Kas Haji ke kas satuan kerja Penyelenggara Ibadah Haji
secara berkala.
(3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pemindahan dana dari Kas Haji untuk Pembayaran Pengeluaran
Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk penahapan dan besaran
setiap tahapannya diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 12
(1)
Pengeluaran operasional
BPKH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi:
a.
belanja pegawai; dan
b.
belanja operasional kantor.
(2)
Pengeluaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip rasional, efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel.
(3)
Besaran pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan persentase dari nilai
manfaat Keuangan Haji.
(4)
Besaran pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh BPKH dan ditetapkan oleh
Menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR.
(5)
Pengeluaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memindahkan dana dari Kas Haji ke kas
BPKH.
(6)
Sisa anggaran operasional
BPKH dikembalikan ke Kas Haji.
Pasal 13
Pengeluaran
penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf c dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dewan pengawas.
Pasal 14
Pengeluaran
pengembalian setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus Jemaah Haji sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf d sebesar saldo setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus dan
dibayarkan ke setiap rekening Jemaah Haji yang batal berangkat.
5 / 28
Pasal 15
Pengeluaran
pembayaran saldo setoran BPIH Khusus ke PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 huruf e dibayarkan sesuai jumlah Jemaah Haji khusus yang telah melunasi BPIH
Khusus dan berangkat pada tahun berjalan.
Pasal 16
(1)
Pengeluaran pembayaran nilai manfaat setoran
BPIH dan/atau BPIH Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf f dilakukan
oleh BPKH secara berkala ke rekening virtual Jemaah Haji.
(2)
Besaran pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan persentase dari nilai
manfaat Keuangan Haji.
(3)
Besaran persentase dari
nilai manfaat Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
setiap tahun oleh BPKH setelah mendapat persetujuan dari DPR.
Pasal 17
Pengeluaran
kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf g pendanaannya berasal dari nilai manfaat DAU.
Pasal 18
Kekayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c meliputi uang dan barang yang dapat
dinilai dengan uang yang dikelola oleh BPKH.
Pasal 19
Ketentuan
lebih lanjut mengenai penerimaan, pengeluaran dan kekayaan Keuangan Haji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
BADAN PENGELOLA KEUANGAN HAJI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
(1)
Pengelolaan Keuangan Haji
dilakukan oleh BPKH.
(2)
BPKH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan badan hukum publik berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)
BPKH sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri.
(4)
Pengelolaan Keuangan Haji oleh
BPKH dilakukan secara korporatif dan nirlaba.
6 / 28
Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 21
(1)
BPKH sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota negara
Republik Indonesia.
(2)
BPKH sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat memiliki kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di
kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Tugas, Fungsi, Wewenang, Hak, dan Kewajiban
Paragraf 1
Tugas
Pasal 22
BPKH
bertugas mengelola Keuangan Haji yang meliputi penerimaan, pengembangan,
pengeluaran, dan pertanggungjawaban Keuangan Haji.
Paragraf 2
Fungsi
Pasal 23
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, BPKH menyelenggarakan
fungsi:
a.
perencanaan penerimaan,
pengembangan, dan pengeluaran Keuangan Haji;
b.
pelaksanaan penerimaan,
pengembangan, dan pengeluaran Keuangan Haji;
c.
pengendalian dan pengawasan
penerimaan, pengembangan, serta pengeluaran Keuangan Haji; dan
d.
pelaporan dan
pertanggungjawaban pelaksanaan penerimaan, pengembangan, dan pengeluaran
Keuangan Haji.
Paragraf 3
Wewenang
Pasal 24
Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, BPKH berwenang:
7 / 28
a.
menempatkan dan
menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian,
keamanan, dan nilai manfaat; dan
b.
melakukan kerja sama dengan
lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji.
Paragraf 4
Hak
Pasal 25
Untuk
melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dalam Pasal 22 dan Pasal 23, BPKH
berhak memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program pengelolaan
Keuangan Haji yang bersumber dari nilai manfaat Keuangan Haji.
Paragraf 5
Kewajiban
Pasal 26
Untuk
melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana pada Pasal 22 dan Pasal 23, BPKH
wajib:
a.
mengelola Keuangan Haji
secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan Jemaah Haji
dan kemaslahatan umat Islam;
b.
memberikan informasi
melalui media mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil
pengembangannya secara berkala setiap 6 (enam) bulan;
c.
memberikan informasi kepada
Jemaah haji mengenai nilai manfaat BPIH dan/atau BPIH Khusus melalui rekening
virtual setiap Jemaah Haji;
d.
melakukan pembukuan sesuai
dengan standar akuntansi yang berlaku;
e.
melaporkan pelaksanaan
pengelolaan Keuangan Haji, secara berkala setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri
dan DPR;
f.
membayar nilai manfaat
setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap
Jemaah Haji; dan
g.
mengembalikan selisih saldo
setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus dari penetapan BPIH dan/atau BPIH Khusus
tahun berjalan kepada Jemaah Haji.
Bagian Ketiga
Organ
Paragraf 1
Struktur
Pasal 27
8 / 28
Organ
BPKH terdiri atas badan pelaksana dan dewan pengawas.
Paragraf 2
Badan Pelaksana
Pasal 28
(1)
Badan pelaksana memiliki
fungsi perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan Keuangan
Haji.
(2)
Dalam pelaksanaan fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan pelaksana bertugas:
a.
menyiapkan rumusan
kebijakan, rencana strategis, dan rencana kerja dan anggaran tahunan
pengelolaan Keuangan Haji;
b.
melaksanakan program
pengelolaan Keuangan Haji yang telah ditetapkan serta rekomendasi atas hasil
pengawasan dan pemantauan dari dewan pengawas;
c.
melakukan penatausahaan
pengelolaan Keuangan Haji dan aset BPKH sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d.
melaporkan pelaksanaan
program dan anggaran tahunan pengelolaan Keuangan Haji secara berkala kepada
dewan pengawas;
e.
menyiapkan laporan
pertanggungjawaban BPKH kepada Presiden dan DPR;
f.
menetapkan ketentuan teknis
pelaksanaan operasional BPKH;
g.
menyelenggarakan
administrasi pengelolaan Keuangan Haji sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
h.
membuat laporan keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan pelaksana berwenang:
a.
melaksanakan wewenang BPKH;
b.
menetapkan struktur
organisasi beserta tugas pokok dan fungsi, tata kerja organisasi, dan sistem
kepegawaian;
c.
menyelenggarakan manajemen
kepegawaian BPKH, termasuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai
BPKH serta menetapkan penghasilan pegawai BPKH;
d.
mengusulkan kepada Presiden
melalui Menteri mengenai penghasilan bagi dewan pengawas dan badan pelaksana;
dan
e.
menetapkan ketentuan dan
tata cara pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan tugas BPKH
dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
efektivitas.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang badan pelaksana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 29
(1)
Badan pelaksana paling
sedikit terdiri atas 5 (lima) orang anggota yang berasal dari unsur
profesional.
(2)
Anggota badan pelaksana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
9 / 28
(3)
Anggota badan pelaksana
diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Paragraf 3
Dewan Pengawas
Pasal 30
(1)
Dewan pengawas memiliki
fungsi pengawasan terhadap pengelolaan Keuangan Haji.
(2)
Dalam pelaksanaan fungsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dewan pengawas bertugas:
a.
melaksanakan penilaian atas
rumusan kebijakan, rencana strategis, rencana kerja dan anggaran tahunan
pengelolaan Keuangan Haji;
b.
melaksanakan pengawasan dan
pemantauan atas pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji; dan
c.
menilai dan memberikan
pertimbangan terhadap laporan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan
Keuangan Haji dan pengelolaan BPKH sebelum ditetapkan menjadi laporan BPKH.
(3)
Dalam menjalankan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dewan pengawas berwenang:
a.
memberikan persetujuan atas
rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran tahunan pengelolaan Keuangan
Haji;
b.
memberikan persetujuan atas
penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji;
c.
mendapatkan dan/atau
meminta laporan dari badan pelaksana;
d.
mengakses data dan
informasi mengenai pengelolaan Keuangan Haji;
e.
melakukan penelaahan terhadap
data dan informasi mengenai pengelolaan Keuangan Haji; dan
f.
memberikan saran dan
rekomendasi kepada Presiden melalui Menteri mengenai kinerja badan pelaksana.
(4)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang dewan pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Presiden.
Pasal 31
(1)
Dewan pengawas terdiri atas
7 (tujuh) orang anggota yang berasal dari unsur profesional.
(2)
Dewan pengawas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) orang dari unsur dari Pemerintah
dan 5 (lima) orang dari unsur masyarakat.
(3)
Anggota dewan pengawas yang
berasal dari unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a.
1 (satu) orang dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama; dan
b.
1 (satu) orang dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(4)
Anggota dewan pengawas yang
berasal dari unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh
panitia seleksi yang dibentuk oleh Presiden.
(5)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pemilihan dan pengusulan anggota dewan pengawas diatur dalam
10 / 28
Peraturan
Presiden.
Pasal 32
(1)
Anggota dewan pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
(2)
Presiden menetapkan salah
seorang dari anggota dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebagai ketua dewan pengawas.
(3)
Anggota dewan pengawas
diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4)
Dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya, dewan pengawas dapat dibantu oleh sebuah komite audit.
(5)
Pembentukan komite audit
ditetapkan oleh dewan pengawas.
Bagian Keempat
Pegawai BPKH
Pasal 33
(1)
Pegawai BPKH berstatus
sebagai pegawai BPKH.
(2)
Pegawai BPKH adalah warga
negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai di BPKH.
(3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai BPKH diatur dalam Peraturan
Presiden.
BAB IV
PERSYARATAN,
TATA CARA PEMILIHAN DAN PENETAPAN, SERTA PEMBERHENTIAN ANGGOTA
BADAN PELAKSANA DAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS
Bagian Kesatu
Persyaratan Anggota Badan Pelaksana dan Anggota
Dewan Pengawas
Paragraf 1
Persyaratan Umum
Pasal 34
(1)
Untuk dapat diangkat
sebagai anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas, calon anggota badan
pelaksana dan calon anggota dewan pengawas harus memenuhi persyaratan:
a.
warga negara Indonesia;
b.
beragama Islam;
11 / 28
c.
sehat jasmani dan rohani;
d.
memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela;
e.
memiliki kualifikasi dan
kompetensi yang sesuai untuk pengelolaan Keuangan Haji;
f.
berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun dan paling tinggi 60 (enam puluh) tahun pada saat
dicalonkan menjadi anggota;
g.
tidak sedang menjadi
anggota atau menjabat sebagai pengurus partai politik;
h.
tidak sedang menjadi
tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan;
i.
tidak pernah dipidana
dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
j.
tidak merangkap jabatan;
dan/atau
k.
memiliki pengetahuan
tentang ekonomi syariah.
(2)
Selama menjabat, anggota
badan pelaksana dan anggota dewan pengawas dilarang merangkap jabatan di
pemerintahan, badan hukum lainnya, atau sebagai pejabat negara.
Paragraf 2
Persyaratan Khusus
Pasal 35
(1)
Selain harus memenuhi persyaratan umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), calon anggota badan pelaksana dan
calon anggota dewan pengawas harus memenuhi persyaratan khusus berupa
kompetensi dan pengalaman di bidang pengelolaan keuangan paling sedikit 5
(lima) tahun.
(2)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan khusus diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota Badan
Pelaksana dan Anggota Dewan Pengawas
Pasal 36
(1)
Untuk memilih dan
menetapkan anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas, Presiden
membentuk panitia seleksi.
(2)
Keanggotaan panitia seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) orang dari unsur
Pemerintah dan 6 (enam) orang dari unsur masyarakat.
(3)
Keanggotaan panitia seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Keputusan Presiden.
Pasal 37
(1)
Panitia seleksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 mengumumkan penerimaan pendaftaran calon anggota badan
pelaksana dan anggota dewan pengawas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
ditetapkan.
12 / 28
(2)
Pendaftaran dan seleksi
calon anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas dilakukan dalam waktu
30 (tiga puluh) hari kerja secara terus-menerus.
(3)
Panitia seleksi mengumumkan
nama calon anggota badan pelaksana dan nama calon anggota dewan pengawas kepada
masyarakat untuk mendapatkan tanggapan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
pendaftaran ditutup.
(4)
Tanggapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada panitia seleksi paling lama 15 (lima
belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diumumkan.
(5)
Panitia seleksi menentukan
calon anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas yang akan disampaikan
kepada Presiden sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang diperlukan paling
lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditutupnya masa
penyampaian tanggapan dari masyarakat.
Pasal 38
(1)
Presiden memilih dan
menetapkan anggota dewan pengawas yang berasal dari unsur Pemerintah dan
anggota badan pelaksana berdasarkan usul dari panitia seleksi.
(2)
Presiden mengajukan nama
calon anggota dewan pengawas yang berasal dari unsur masyarakat kepada DPR
sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang diperlukan paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari panitia
seleksi.
(3)
DPR memilih anggota dewan
pengawas yang berasal dari unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan usulan
dari Presiden.
(4)
Pimpinan DPR menyampaikan
nama calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Presiden paling
lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan.
(5)
Presiden menetapkan calon
terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal penerimaan surat dari pimpinan DPR.
(6)
Penetapan anggota dewan
pengawas dari unsur pemerintah dan anggota badan pelaksana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan bersama-sama dengan penetapan anggota dewan pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan dan penetapan
anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pemberhentian
Pasal 40
Anggota
badan pelaksana atau anggota dewan pengawas berhenti dari jabatannya dengan
alasan:
a.
meninggal dunia;
b.
masa jabatan berakhir; atau
c.
diberhentikan.
13 / 28
Pasal 41
(1)
Anggota badan pelaksana
atau anggota dewan pengawas dapat diberhentikan sementara dengan alasan:
a.
sakit terus-menerus lebih
dari 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya;
b.
ditetapkan menjadi
tersangka; atau
c.
dikenai sanksi
administratif pemberhentian sementara.
(2)
Dalam hal anggota badan
pelaksana atau anggota dewan pengawas diberhentikan sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Presiden menunjuk pejabat sementara dengan
mempertimbangkan usulan Menteri.
(3)
Anggota badan pelaksana
atau anggota dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan
pada jabatannya apabila telah dinyatakan sehat kembali untuk melaksanakan
tugas, apabila statusnya sebagai tersangka dicabut, atau sanksi administratif
pemberhentian sementaranya dicabut.
(4)
Pengembalian jabatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak dinyatakan sehat, statusnya sebagai tersangka dicabut, atau
sanksi administratif pemberhentian sementaranya dicabut.
(5)
Pemberhentian sementara
anggota badan pelaksana atau anggota dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan pengembalian jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
oleh Presiden.
Pasal 42
Anggota
badan pelaksana atau anggota dewan pengawas diberhentikan dari jabatannya
dengan alasan:
a.
sakit terus-menerus selama
6 (enam) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya;
b.
tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota badan
pelaksana atau anggota dewan pengawas secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga)
bulan karena alasan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.
merugikan BPKH dan
kepentingan Jemaah Haji karena kesalahan kebijakan yang diambil;
d.
menjadi terdakwa karena
melakukan tindak pidana;
e.
tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai anggota badan pelaksana atau anggota dewan pengawas;
dan/atau
f.
mengundurkan diri secara
tertulis atas permintaan sendiri.
Pasal 43
Dalam hal
anggota badan pelaksana atau anggota dewan pengawas berhenti sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 huruf a atau diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42, Presiden mengangkat anggota badan pelaksana dan/atau anggota dewan
pengawas untuk meneruskan sisa masa jabatan yang digantikan.
Pasal 44
(1)
Dalam hal terjadi
kekosongan jabatan anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Presiden membentuk panitia seleksi untuk
memilih calon anggota pengganti antarwaktu.
14 / 28
(2)
Prosedur pemilihan dan
penetapan calon anggota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal
37, Pasal 38, dan Pasal 39.
(3)
Dalam hal sisa masa jabatan
yang kosong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari 18 (delapan belas)
bulan, Presiden menetapkan anggota pengganti antarwaktu berdasarkan usulan
Menteri.
(4)
Menteri mengajukan usulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan peringkat hasil seleksi.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemilihan dan penetapan calon anggota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan
Presiden.
BAB V
TATA CARA PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI
Pasal 45
(1)
BPKH menyusun rencana
strategis untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(2)
Berdasarkan rencana
strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPKH menyusun rencana kerja dan
anggaran tahunan.
(3)
Rencana kerja dan anggaran
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan ikhtisar rencana
kerja dan anggaran tahunan.
(4)
Rencana strategis serta
rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(3) ditetapkan oleh badan pelaksana, setelah mendapat persetujuan dari DPR.
(5)
Rencana kerja dan anggaran
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi acuan dalam pelaksanaan
pengelolaan Keuangan Haji.
Pasal 46
(1)
Keuangan Haji wajib
dikelola di Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah.
(2)
Keuangan Haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan.
(3)
Dalam melakukan penempatan
dan/atau investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sesuai dengan
prinsip syariah dan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai
manfaat, dan likuiditas.
Pasal 47
(1)
BPKH wajib mengelola dan
menyediakan Keuangan Haji yang setara dengan kebutuhan 2 (dua) kali biaya
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(2)
Penetapan mengenai besaran
kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 48
(1)
Penempatan dan/atau
investasi Keuangan Haji dapat dilakukan dalam bentuk produk perbankan, surat
berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.
15 / 28
(2)
Penempatan dan/atau investasi
Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
prinsip syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai
manfaat, dan likuiditas.
(3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 49
(1)
Penempatan dan/atau
investasi Keuangan Haji dilakukan atas persetujuan dewan pengawas
(2)
Penempatan dan/atau
investasi Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindahkan dari Kas
Haji ke kas BPKH.
Pasal 50
BPKH
dalam pengelolaan keuangan haji menggunakan satuan hitung mata uang rupiah.
Pasal 51
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan Keuangan Haji diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PERTANGGUNGJAWABAN
Pasal 52
(1)
Badan pelaksana wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji kepada dewan pengawas
secara bulanan, triwulan, semester, dan tahunan.
(2)
Laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas laporan kinerja dan laporan keuangan.
(3)
Laporan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi laporan realisasi anggaran, laporan
operasional, laporan arus kas, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
(4)
Laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi
keuangan yang berlaku.
(5)
BPKH wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji yang belum
diaudit kepada Presiden dan DPR melalui Menteri setiap 6 (enam) bulan.
(6)
Laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7)
BPKH wajib menyampaikan
laporan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji yang telah
diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Presiden dan DPR melalui Menteri
paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya.
(8)
Laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media elektronik paling
sedikit 2 (dua) media cetak yang berskala nasional dan paling lambat tanggal 31
Juli tahun berikutnya.
16 / 28
Pasal 53
(1)
Anggota badan pelaksana dan
anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap
kerugian atas penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji secara keseluruhan
yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaanya.
(2)
Anggota badan pelaksana dan
anggota dewan pengawas dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), apabila dapat membuktikan:
a.
kerugian tersebut bukan
karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.
telah melakukan pengelolaan
dan pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan
sesuai dengan tujuan pengelolaan Keuangan Haji sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3;
c.
tidak mempunyai benturan
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan
Keuangan Haji yang mengakibatkan kerugian; dan
d.
telah mengambil tindakan
untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
(3)
Pada akhir masa jabatan,
anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dan DPR.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 54
(1)
Pengawasan terhadap BPKH
dilakukan secara internal dan eksternal.
(2)
Pengawasan internal BPKH
dilakukan oleh dewan pengawas.
(3)
Pengawasan eksternal BPKH
dilakukan oleh DPR berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
BAB VIII
KOORDINASI DAN HUBUNGAN DENGAN LEMBAGA LAIN
Pasal 55
(1)
BPKH dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dengan
pengelolaan ibadah haji, jasa keuangan, dan investasi, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri.
(2)
BPKH dapat bekerja sama
dengan badan usaha dan/atau lembaga, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri, dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan Keuangan Haji serta
pengembangan dan pembinaan kelembagaan BPKH.
(3)
Koordinasi dan kerja sama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dalam penyusunan dan penentuan kebijakan
terkait peningkatan kualitas pengelolaan Keuangan Haji.
BAB IX
17 / 28
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 56
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan yang berkaitan dengan
pengelolaan Keuangan Haji dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 57
Peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 58
BPKH harus sudah terbentuk
paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 59
Dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak terbentuknya BPKH, semua aktiva dan pasiva serta hak dan kewajiban hukum
atas Keuangan Haji beserta kekayaannya beralih menjadi aktiva dan pasiva serta
hak dan kewajiban hukum BPKH.
Pasal 60
Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H.
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
18 / 28
AMIR
SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 296
19 / 28
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2014
TENTANG
PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI
I.
UMUM
Dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
Haji
merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang
mampu, sekali seumur hidup. Karena dorongan kewajiban itu, jumlah umat Islam
Indonesia yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji terus mengalami
peningkatan, sementara kuota haji yang tersedia terbatas. Akibatnya, terjadi
peningkatan jumlah Jemaah Haji tunggu dalam jumlah besar. Di sisi lain,
peningkatan jumlah Jemaah Haji tunggu itu menimbulkan terjadinya penumpukan
dana Jemaah Haji dalam jumlah besar.
Akumulasi
jumlah dana Jemaah Haji tersebut memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai
manfaatnya yang dapat digunakan untuk mendukung Penyelenggaraan Ibadah Haji
yang berkualitas. Peningkatan nilai manfaat dana jemaah haji itu hanya bisa
dicapai melalui pengelolaan keuangan yang efektif, efesien, transparan, dan
akuntabel.
Untuk
menjamin terwujudnya idealitis pengelolaan Keuangan Haji, perlu dibentuk
Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Undang-Undang ini, di samping
mengatur pengelolaan setoran BPIH jemaah haji, juga mengatur DAU dan sumber
lain yang tidak mengikat. Pengelolaan Keuangan Haji dilakukan dalam bentuk
investasi yang nilai manfaatnya digunakan untuk peningkatan kualitas
Penyelenggaraan Ibadah Haji, rasionalitas, dan efisiensi BPIH, juga untuk
kemaslahatan umat Islam. Di sisi lain, Undang-Undang ini juga mengamanatkan
pengelolaan Keuangan Haji dengan asas prinsip syariah, kehati-hatian, manfaat,
nirlaba, transparan, dan akuntabel. Untuk melakukan pengelolaan Keuangan Haji,
Undang-Undang ini membentuk BPKH sebagai badan hukum publik yang bersifat
mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BPKH berkedudukan
di ibu kota negara Republik Indonesia dan dapat memiliki kantor perwakilan di
provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota. Organ BPKH terdiri atas badan
pelaksana dan dewan pengawas. BPKH bertugas mengelola Keuangan Haji yang
meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban Keuangan
Haji. BPKH juga berwenang menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai
dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, nilai manfaat, dan likuiditas.
Selain itu, BPKH juga berwenang melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
Dalam
melaksanakan tugas dan fungsi tersebut BPKH berkewajiban mengelola Keuangan
Haji secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan Jemaah
Haji dan kemaslahatan umat Islam, memberikan informasi melalui media mengenai
kinerja, kondisi keuangan serta kekayaan, dan hasil pengembangannya secara
berkala setiap 6 (enam) bulan, memberikan informasi kepada Jemaah Haji mengenai
nilai manfaat BPIH dan/atau BPIH Khusus melalui rekening virtual setiap Jemaah Haji,
melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, melaporkan
pelaksanaan pengelolaan Keuangan Haji secara berkala setiap 6 (enam) bulan
kepada Menteri dan DPR, membayar nilai manfaat setoran BPIH dan/atau BPIH
Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap Jemaah Haji, dan mengembalikan
selisih saldo setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus dari penetapan BPIH dan/atau
BPIH Khusus tahun berjalan kepada Jemaah Haji.
20 / 28
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang
dimaksud dengan asas “prinsip syariah” adalah semua dan setiap pengelolaan
Keuangan Haji berdasarkan prinsip Islam yang kafah atau menyeluruh.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan asas “prinsip kehati-hatian” adalah pengelolaan Keuangan Haji
dilakukan dengan cermat, teliti, aman, dan tertib serta dengan mempertimbangkan
aspek risiko keuangan.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan asas “manfaat” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dapat
memberikan manfaat atau maslahat bagi Jemaah Haji dan umat Islam.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan asas “nirlaba” adalah pengelolaan Keuangan Haji dilakukan
melalui pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan hasil pengembangan dana
untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Jemaah Haji dan kemaslahatan umat
Islam, namun dengan tidak ada pembagian deviden bagi pengelolanya.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan asas “transparan” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus
dilakukan secara terbuka dan jujur melalui pemberian informasi kepada
masyarakat, khususnya kepada Jemaah Haji tentang pelaksanaan dan hasil
pengelolaan Keuangan Haji.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “akuntabel”
adalah pengelolaan Keuangan Haji harus dilakukan secara akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, khususnya kepada Jemaah Haji.
Pasal 3
Cukup
jelas.
Pasal 4
Cukup
jelas.
Pasal 5
Cukup
jelas.
Pasal 6
21 / 28
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dalam
kedudukannya sebagai wakil yang sah” adalah dapat menggunakan istilah Qualitate
Qua atau “qq” sehingga rekening atas nama BPKH dalam kedudukannya sebagai wakil
yang sah dari Jemaah Haji dalam perbankan dapat disingkat menjadi “rekening
a.n. BPKH qq Jemaah Haji”.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup
jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Dana
titipan Jemaah Haji merupakan dana yang tidak dicatat dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf b
Cukup
jelas.
Huruf c
Cukup
jelas.
Huruf d
Cukup
jelas.
Huruf e
22 / 28
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Kegiatan
untuk kemaslahatan umat Islam antara lain kegiatan pelayanan ibadah haji,
pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi umat, serta
pembangunan sarana dan prasarana ibadah.
Huruf h
Cukup
jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “rekening virtual” adalah rekening bayangan yang terhubung
dengan rekening induk. Rekening virtual memiliki nomor identifikasi BPKH yang
dibuka oleh bank atas permintaan BPKH untuk selanjutnya diberikan oleh BPKH
kepada Jemaah Haji sebagai nomor rekening tujuan penerimaan nilai manfaat.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup
jelas.
23 / 28
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang
dimaksud dengan “korporatif” adalah prinsip pengelolaan keuangan yang
didasarkan pada pola pengusahaan sebagaimana dilakukan oleh perusahaan atau
korporat, dengan mengutamakan efisiensi dan efektivitas terhadap penggunaan
sumber daya dan hasil.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
24 / 28
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
25 / 28
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup
jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “rencana kerja dan anggaran tahunan” adalah dokumen perencanaan
kerja dan
penganggaran tahunan yang berisi program,
kegiatan, target kinerja, dan anggaran pengelola Keuangan
Haji
Ayat (3)
Cukup
jelas.
Ayat (4)
Cukup
jelas.
Ayat (5)
26 / 28
Cukup
jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan “aspek keamanan” adalah pengelolaan Keuangan Haji harus
dilaksanakan dengan mengedepankan aspek keamanan dalam mengantisipasi adanya
risiko kerugian atas pengelolaan Keuangan Haji untuk menjamin pembiayaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji. Selain itu, dalam melakukan investasi juga
mempertimbangkan aspek risiko antara lain risiko gagal bayar, reputasi, pasar,
dan operasional.
Yang dimaksud dengan “nilai
manfaat” adalah sebagian Dana Haji dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan
dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan faktor risiko serta bersifat
likuid.
Yang
dimaksud “likuiditas” adalah mempertimbangkan kemampuan dan kelancaran
pembayaran dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji yang sedang berjalan dan
yang akan datang.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan kata “mengelola” adalah penempatan keuangan haji pada produk
perbankan syariah dengan mempertimbangkan aspek keamanan, nilai manfaat, dan
likuiditas.
Ayat (2)
Cukup
jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
27 / 28
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5605
No comments:
Post a Comment