skip to main |
skip to sidebar
FILSAFAT HUKUM ISLAM
FILSAFAT HUKUM ISLAM
- LATAR
BELAKANG
Hukum islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat Teleologis. Artinya
hukum islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan
dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan
di akhirat. Jadi, hukum islam bukan bertujuan meraih kebahagian yang fana
dan pendek di dunia semata, tetapi juga meraih kebahagian yang kekal di
akhirat kelak. Inilah yang membedakan dengan hukum manusia yang
menghendaki kedamaian di dunia saja.
Tujuan dari hukum islam tersebut merupakan manifestasi dari sifat Rahman
dan Rahim (maha pengasih dan maha penyayang) Allah kepada semua
makhluk-Nya. Rahmatan lil la-lamin adalah inti syari’ah atau hukum islam.
Dengan adanya syari’ah tersebut dapat ditegakan perdamaiaan dimuka bumi
dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada semua orang.
keadilan sangat mulia dimata kholik, dan sifat adil merupakan jalan takwa
setelah iman kepada Allah.
Untuk biasa menegakan itu semua, hukum islam harus siap menghadapi
kejadian baru yang timbul karena perkembangan masyarakat dan perubahan
suasana. Untuk itu pengkajian ilmu filsafat hukum islam mutlak diperlukan.
Dengan tegak dan berhasilnya filsafat hukum islam, dapat dibuktikan bahwa
hukum islam mampu memberikan jawaban terhadap tangtangan zaman dan
merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam.
Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli
filsafat hukum islam, membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan,
yaiti Falsafah Tasyri dan Falsyafah Syariah.
Falsafah tasyri: Fasafah yang memancarkan hukum islam atau menguatkannya
dan memeliharanya. Filsafat ini bertigas membicarakan hakikat dan tujuan
hukum islam.
Filsafat tasyri terbagi kepada :
1. Da’aim al- Ahkam ( Dasar-Dasar Hukum Islam )
2. Mabadi al-Ahkam ( Prinsip-Prinsip Hukum Islam )
3. Ushul al-Ahkam ( Pokok-Pokok Hukum Islam ) atau mashadir al-ahkam (
Sumber-Sumber Hukum Islam )
4. Maqasid al-Ahkam ( Tujuan Tujuan Hukum Islam )
5. Qowa’id al-Ahkam ( Kaidah-Kaidah Hukum Islam )
Falsafat syari’ah: Filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi hukum
Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan sebagainya. Filsafat
ini bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam
pembagian Falsafat Syari’ah adalah:
1. Asrar al-Ahkam ( Rahasia-Rahasia Hukum Islam )
2. Khasha al- Ahkam ( Ciri-Ciri Khas Hukum Islam )
3. Mahasin al-Ahkam atau Majaya al-Ahkam ( Keutamaan-Keutamaan Hukum Islam
)
4. Thawabi al-Ahkam ( Karakteristik Hukum Islam )
B. PERTUMBUHAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
Sumber utama hukum islam adalah al-Quran dan as-Sunnah. Terhadap segala
permasalahan yang tidak diterangkan dalam kedua sumber tersebut, kaum
muslimin diperbolehkan berjihad dengan mempergunakan akalnya guna
menemukan ketentuan hukum. Dalil yang menjadi landasan berjihad adalah
hadist Nabi Saw. Ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal sebagai berikut:
عَنْ انََسٍ مِنْ اَهْلِ حِمْصِ مِنْ أَ صْحَابِ مُعَاذَ بْنِ جَبَلٍ اَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ لَمَّا اَرَادَ اَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ قَالَ
: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ : اَقْضِي بِكِتَابِ
اللهِ. قَالَ : فَاِلَم ْتجَِدْ فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : فَبِسُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ : فَاِلَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ
فِيْ كِتاَبِ اللهِ؟ قَالَ : أَجْتَهِدْ رَأْيِيْ وَلاَ الُوْ.فَضَرَبَ رَسُوْلِ
اللِه صَدْرَهُ وَ قَالَ : اْلحَمْدِللهِ اْلذِي وَفْقَ رَسُوْلِ اللهِ
لِمَايَرْضَى رَسُوْلِ اللهِ.
Artinya :
” Diriwayatkan dari sekelompok penduduk Homs, shahabat Mu’az Ibn Jabal, bahwa
Rasulullah Saw. ketika bermaksud untuk mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau
bertanya, ” apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana anda
memutuskannya? ”Mu’adz menjawab, ”saya akan memutuskannya berdasarkan
al-quran.” Nabi menjawab lagi, jika kasus tidak anda temukan dalam
al-quran” muadaz menjawab,” saya akan memutuskannya berdasarkan sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya, ”jika kasus tidak terdapat dalam
Al-Quran dan Sunnah Rasul?” Mu’adz menjawab ,” aku akan berijtihad
seksama.” Kemudian Rasulullh menepuk-nepuk dada Mu’adz dengan tangannya,
seraya berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk
kepada utusan Rasulllah kepda jalan yang diridhai-Nya. ” ( HR.Abu Dawud ).
Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam,
yang padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu direstui oleh
Rasulullah. Bahkan lebih tandas lagi Allah menyebutkan bahwa mempergunakan
akal dan pikiran atau berpikir falsafi itu sangat perlu dalam memahami
berbagai persoalan. Allah berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ (179)
Artinya :
” Dan dalam qishsah itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa. ” ( QS. Al- Baqarah : 179
)
Ayat diatas menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menangkap
ma’na yang terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-Quran
termasuk yang dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syri’ah atau
hukum islam melahirkan filsafat hukum islam.
Izin Rasulullah kepada Mu’adz untuk berijtihad diatas merupakan awal
lahirnya filsafat hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan
diselesaikan dengan wahyu. Pemikiran falsafi atau ijtihad yang salah
segera dibetulkan dengan datangnya wahyu. Akan tetapi, ketika Rasulullah
wafat dan wahyu pun telah usai, maka akal dengan pemikiran falsafinya
berperan, baik perkara yang ada nashnya maupun tidak ada nashnya.
Permasalahan yang timbul setelah Rasulullah wafat ialah mengenai siapa
yang memegang tapuk kepemimpinan bagi umat islam. Terhadap permasalahan
yang tidak ada nashnya itu memerlukan pemikiran mendalam tentang kreteria
apa yang diambil untuk menentukan pengganti Muhammad. Apakah kreterianya
berupa jasa, yaitu jasa kaum Anshor yang menerima Muhammad beserta
rombongannya dan menyelamatkan agama dari tekanan kaum kafir di mekkah,
ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum Muhajirin yang telah mengikuti
Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan harta kekeyaan demi
menyelamatkan agama Islam. Pemikiran yang mendalam tentang kreteria
pemimpin tersebut merupakan pemikiran falsafi.
Sedangkan pemikiran Falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya bermula
pada khulafaurrasyidin, terutama Umar Ibn Khattab. Penghapusan hukum
potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf dan lain-lain yang
dilakukan umar berdasarkan kesesuaian zaman dan demi menegakan keadilan
yang menjadi asas hukum Islam, merupakan contoh penerapan hukum
berdasarkan akal manusia.
Hukum diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kesejahtraan masyarakat,
sementara masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Untuk itu pengertian
dan pelaksanaan hukum harus sesuai dengan keadaan yang ada. Artinya, asas
dan prinsip hukum tidaklah berubah, tetapi cara penerapannya harus
disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, perubahan suasana, dan
perubahan keperluan hidup. Singkatnya penerapan hukum harus dapat
menegakan kemaslahatan dan keadilan yang menjadi tujuan dari hukum Islam.
C. PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKU ISLAM
Kegiatan penelitian terhadap penelutian hukum (Maqasid al-Sya’riah) telah
dilakukan oleh para ahli Ushul fiqh terdahulu. al-Juwaini, dapat dikatakan
ahli ushul fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid
sya’riah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa
seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam islam, sebelum ia
dapat memahami bener tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan
larangan-larangan-Nya . Kemudian ia mengelaborasi lebih lanjut Maqasid
as-Sya’riah itu dalam kaitannya dengan pembahasan illat pada masalah qias.
Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan illat, ashl dalam dibedakan
menjadi lima
kelompok, yaitu: kelompok Daruriyyat, al-Hajat al-Amanat, Makramat, dan
sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Pada dasarnya
al-juwaini mengelompokkan ashl atau tujuan hukum menjadi tiga kelompok,
yaitu daruriyyat dan makramat. Yang terakhir, dalam istilah lain disebut
Tahsiniyyat.
Kerangka berpikir al-juwaini di atas di kembangkan oleh muridnya
al-ghazali. Dalam kitabnya Syifa al-Ghali, al-Ghazali menjelaskan maksud
syariat dalam kaitannya dengan pembahasan al-Munasabat al-Mashlahiyyat
dalam qiyas, sementara dalam kitabnya yang lain ia memebicarakannya dalam
pembahasan Istishlah. Mashlahat, baginya adalah memelihara maksud
al-Syari, pembuat hukum. Kemudian ia memerinci Maslhahat itu menjadi lima, yaitu:
Memelihara agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Kelima aspek mashlahat
ini menurut al-Ghazali, berada pada peringatan yang berbeda, bila ditinjau
dari segi tujuannya, yaitu peringkat daruriyya, hajiat dan tahsiniyyat.
Dari sini teori makhasid al-Syariah susah kelihatan bentuknya. Ahli fiqh
yang berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama Maqasid al-
Syariah, adalah Izz al-Din Ibn Abd al-Salim dari kalangan mazhab Syafii.
Dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ia lebih banyak mengelaborasi
hakikat maslahat yang diejawantahkan dalam bentuk Daru al-Mafasid wa jalwu
al-Manafi (menghindari mafsadat dan menarikmanfaat ). Baginya Mashlahat
dunyawiyyat tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu: daruriyyat,
hijayyat, dan tatimmat atau takmillat. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa
taklif bermuara pada kemaslahat manusia, baik di dunia maupun diakhirat.
dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn Abd al-Salam telah mencoba
mengembangkan inti mashlahat yang menjadi pembahasan dalam Maqashid
al-Syariah. Dalam pandangan ahli fiqh lain dijelaskan tentang pembahasan
mashlahat yang menjadi bagian sangat penting karena tujuan Allah
mengsyariatkan hukumnya adalah untuk kemashlahatan manusia. Oleh karena
itu taklif dalam bidang hukum harus bermuara pada tujuan-tujuan hukum
tersebut. Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat
menjadi tiga peringkat, yaitu: Daruriyyat, Hajiyyat, Tahsiniyyat. Yang
dimaksud dengan mashlahat baginya adalah memelihara lima aspek utama, yaitu: Agama, Jiwa,
Akal, Keturunan dan Harta.
DAFTAR PUSTAKA ®
Al – Qur`an dan Terjemahannya, Depag
RI.
Chotib, Ahmad, Falsafat Hukum Islam, Fakultas Syari`ah IAIN Jakarta, Surabaya : 1989.
Endang Saifuddin Anshari, M.A., Ilmu, Filsafat dan Agama cet. VII, Surabaya, Bina Ilmu :
1987.
Al – Ghazali, Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad, al-Mustashfa Min `ilmi
Al-Ushul,t.t.: Nur al-Saqafat al-Islamiyyat, t.th.
__________, Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syibh wa al-Mukhilwa Masalik
al-Ta`lil, Baghdad,
Matba`at al-Irsyad, 1971.
Harun Nasution, Prof. Dr. Filsafat Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1991.
Harjono, Anwar, Drs. SH., Hukum Islam Keluasan Dan Keagungannya, Jakarta : Bulan
Bintang.
Djamili, Fathurrahman, Dr. MA. Filsafat Hukum Islam, jakarta: LogosWacanaIlmu,1997S
Artikel terkait yang mungkin anda cari :
No comments:
Post a Comment