FILSAFAT DAN TUJUAN PENDIDIKAN
A.
ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling
kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut
mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang
belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun
yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap
ada berdiri sendiri).
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:
ü kuantitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
ü Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga
mawar yang berbau harum.
Secara sederhana
ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan
konkret secara kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme
Istilah istilah
terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:
ü yang-ada
(being)
ü kenyataan/realitas
(reality)
ü eksistensi
(existence)
ü esensi
(essence)
ü substansi
(substance)
ü perubahan
(change)
ü tunggal
(one)
ü jamak
(many)
Ontologi ini
pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan
sebagainya).
B.
EPISTIMOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Epistemologi,
(dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan)
dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan
jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang
paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang
apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya
dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis.
C.
AXIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Aksiologi
berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang
berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai, penyelidikan
tentang kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai. Problem utama
aksiologi ujar Runes berkaitan dengan empat faktor penting, yaitu;
1. kodrat nilai berupa problem mengenai; apakah nilai itu
berasal dari keinginan (voluntarisme: Spinoza), kesenangan (Hedonisme:
Epicurus, Betham, Meinong), kepentingan (Perry), preferensi (Martineau),
Keinginan rasio murni (Kant), pemahaman mengenai kualitas tersier (Santayana),
berbagai pengalaman yang mendorong élan vital (Nietzsche), relasi benda-benda
sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau konsekuensi yang sungguh-sungguh yang
dapat dijangkau (Pragmatisme: Dewey).
2. jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan pandangan antara
nilai intrinsik, ukuran untuk kebijakan nilai itu sendiri, nilai-nilai
instrumental yang menjadi penyebab (baik barang-barang ekonomis atau
peristiwa-peristiwa alamiah) mengenai nilai-nilai intrinsik.
3. kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang
dipengaruhi sekaligus oleh teori psikologi dan logika.
4. status metafisik nilai mempersoalkan tentang bagaimana
hubungan antara nilai terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu
kealaman, kenyataan terhadap keharusan pengalaman manusia tentang nilai pada
realitas kebebasan manusia.
A. ONTOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Ontologis; cabang ini menguak tentang
objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?
bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?. Objek telaah
ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat
pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran
semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap
kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi
semua realitas dalam semua bentuknya.
1. Objek Formal
Objek formal ontologi
adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil
dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan
tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau
hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak.
Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural
ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh
aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli
selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi
menampilkan aspek materialisme dari mental.
2. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus
memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi
fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan
keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk
mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis.
Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua
realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan
menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu
dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran
kesimpulan.
Contoh : Sesuatu yang
bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu sesuatu yang
lahiri (S-Tt)
Jadi, badan itu fana’
(S-P)
Sedangkan pembuktian a
posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan
term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya
saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai
berikut:
Contoh : Gigi geligi
itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan
tumbuhan (Tt-P)
Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan
(S-P)
Bandingkan tata
silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi
akibat dari realitas dalam kesimpulan.
B. EPISTIMOLOGI FILSAFAT
PENDIDIKAN
Disebut the theory of knowledge atau teori
pengetahuan. Ia berusaha mengidentifikasi dasar dan hakikat kebenaran dan
pengetahuan, dan mungkin inilah bagian paling penting dari filsafat untuk para
pendidik. Pertanyaan khas epistemologi adalah bagaimana kamu mengetahui (how do
you know?). Pertanyaan ini tidak hanya menanyakan tentang apa (what) yang kita
tahu (the products) tetapi juga tentang bagaimana (how) kita sampai
mengetahuinya (the process). Para epistemolog
adalah para pencari yang sangat ulet. Mereka ingin mengetahui apa yang
diketahui (what is known), kapan itu diketahui (when is it known), siapa yang
tahu atau dapat mengetahuinya (who knows or can know), dan yang terpenting,
bagaimana kita tahu (how we know). Mereka adalah para pengawas dari keluasan
ranah kognitif manusia.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut didahului dengan pertanyaan dapatkah kita mengetahui (can we know?).
Di sini terdapat tiga posisi epistemologis:
Pertama, dogmatism. Aliran ini menjawab:
ya, tentu saja kita dapat dan benar-benar mengetahui (we can and do know) –
selanjutnya bahkan kita yakin (we are certain). Untuk mengetahui sesuatu kita
harus lebih dahulu memiliki beberapa pengetahuan yang memenuhi dua kriteria:
certain (pasti) dan uninferred (tidak tergantung pada klaim pengetahuan
sebelumnya). Contoh untuk itu: a = a dan keseluruhan > bagian.
Kedua, skepticism.
Aliran ini menjawab: tidak, kita tidak benar-benar tahu dan tidak juga dapat
mengetahui. Mereka setuju dengan dogmatisme bahwa untuk berpengetahuan
seseorang terlebih dahulu harus mempunyai beberapa premis-premis yang pasti dan
bukannya inferensi. Tapi mereka menolak klaim eksistensi premis-premis yang
self-evident (terbukti dengan sendirinya). Respon aliran ini seolah
menenggelamkan manusia kedalam lautan ketidakpastian dan opini.
Ketiga, fallibilism. Aliran ini menjawab
bahwa kita dapat mengetahui sesuatu, tetapi kita tidak akan pernah mempunyai
pengetahuan pasti sebagaimana pandangan kaum dogmatis. Mereka ini hanya
mengatakan mungkin (possible), bukan pasti (certain). Manusia hanya akan puas
dengan pengetahuan yang reliable, tidak pernah 100% yakin. Tidak ada yang dapat
diverifikasi melampaui posibilitas-posibilitas dari keraguan yang mencakup
suatu pernyataan tertentu. Inilah yang dikenal dengan istilah “doubting Thomas”
yang yakin bahwa kita selalu berhubungan dengan posibilitas-posibilitas dan
probabilitas-probabilitas (pengetahuan) dan tidak pernah dengan
kepastian-kepastian. Filosofi fallibilistik ini memandang sains senantiasa
berada dalam gerak (posture) dan tidak diam. Belajar pengetahuan selalu
bersifat terbuka untuk berubah dan bukannya final, bersifat relatif dan
bukannya absolut, bersifat mungkin daripada pasti. Moda kerja aliran ini
mengkaji pergeseran-pergeseran, melakukan cek dan re-cek, sekalipun hasil yang dicapai
selalu saja akan bersifat tentatif.
Para
filsuf kontemporer dengan pengecualian beberapa eksistensialis, percaya bahwa
kita (manusia) memang dapat mengetahui, tetapi bagaimana?
Idealisme menjawab bahwa pengetahuan itu
terdiri dari ide. Ide adalah produk akal (the mind) atau hasil dari
proses-proses mental dari intuisi dan penalaran. Intuisi –jika bukan
nalar—dapat meraih pengetahuan yang pasti. Analogi yang dipakainya adalah
analogi garputala.
Realis klasik menjawab bahwa daya rasional
dari akal mengurai kode pengalaman dan merajut darinya kebenaran. Pengetahuan
kita tentang dunia eksternal hadir melalui penalaran terhadap laporan-laporan
observasi. Sekalipun laporan tersebut dari waktu ke waktu sering menipu ktia,
kita dapat selalu bersandar pada nalar kita dan percayalah bahwa pengetahuan
pasti itu ada, kebenaran absolut itu ada, dan kita bisa menemukannya.
Kaum Thomis menjawab agar kita meletakkan
kepercayaan pada wahyu sebagaimana pada nalar. Bagi mereka ada kebenaran yang
ditemukan (truth finding) dan kebenaran yang diberikan (truth living). Adapun
orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil manfaat dari keduanya.
Aliran ini secara epistemologis bersifat dogmatis.
Sementara kaum realis modern, pragmatis,
empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan
adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif
sesuai dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah bidang
tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan
dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau
“ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna
bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan
pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.
Beberapa pandangan tentang konsep
pendidikan:
1. Pendidikan sebagai manifestasi
(education as manifestation).
Dengan analogi
pertumbuhan bunga atau benih, dikatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk
menjadikan manifes (tampak aktual) apa-apa yang bersifat laten (tersembunyi)
pada diri setiap anak.
2. Pendidikan sebagai akuisisi (education
as acquisition)
Dengan analogi spon,
pendidikan digambarkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan seseorang
dalam memperoleh (menyerap) informasi dari lingkungannya.
3. Pendidikan sebagai transaksi (education
as transaction)
Dengan analogi orang
Eskimo di Baffin Bay yang “berinteraksi” (work together) dengan bebatuan yang
ada di lingkungannya untuk membuat rumah batu (stone sculpture) yang secara
organic sesuai dengan materialnya dan selaras dengan kemampuan pembuatnya.
Pendidikan adalah proses memberi dan menerima (give and take) antara manusia
dengan lingkungannya. Di sana
seseorang mengembangkan atau menciptakan kemampuan yang diperlukan untuk
memodifikasi atau meningkatkan kondisinya dan juga lingkungannya. Sebagaimana
pula di sana
dibentuk perilaku dan sikap-sikap yang akan membimbing pada upaya rekonstruksi
manusia dan lingkungannya. Filsafat dan pendidikan berjalan bergandengan
tangan, saling memberi dan menerima. Mereka masing-masing adalah alat sekaligus
akhir bagi yang lainnya. Mereka adalah proses dan juga produk.
4. Filsafat sebagi proses (philosophy as
process)
Filsafat sebagai
aktivitas berfilsafat (the activity of philosophizing). Tercakup di dalamnya
adalah aspek-aspek: (a) analisis (the analytic), yakni berkaitan dengan
aktivitas identifikasi dan pengujian asumsi-asumsi dan criteria-kriteria yang
memandu perilaku. (b) evaluasi (the evaluative), berkaitan dengan aktivitas
kritik dan penilaian tindakan. (c) spekulasi (the speculative), berhubungan
dengan pelahiran nalar baru dari nalar yang ada sebelumnya. (d) integrasi (the
integrative), yakni konstruksi untuk meletakkan bersama atau mempertautkan
kriteria-kriteria atau pengetahuan atau tindakan yang sebelumnya terpisah
menjadi utuh. Jadi, proses filosofis itu membangun dinamika dalam perkembangan
intelektual.
5. Filsafat sebagai produk (philosophy as
product)
Produk dari aktivitas
berfilsafat adalah pemahaman (understanding), yakni klarifikasi kata, ide,
konsep, dan pengalaman yang semula membingungkan atau kabur sehingga bisa
menjadi jernih dan dapat dimanfaatkan untuk pencarian pengetahuan lebih lanjut.
Filsafat dengan “P” capital adalah suatu bangun pemikiran yang secara internal
bersifat konsisten dan tersusun dari respon-respon yang dibuat terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam proses berfilsat. Pertama-tama,
Filsafat memang tampak sebagai suatu jawaban, posisi sikap, konklusi, ringkasan
akhir, dan juga rencana final.
C. AXIOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN
Secara historis, istilah yang lebih umum
dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah
axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis.
Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai.
Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and
bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means
and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk
perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang
baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang
moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau
“sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis
tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka
menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis;
(1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang
sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia
(dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan
etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya
beraliran subyektivis.
Pertama, teori nilai intuitif (the
initiative theory of value). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa
dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang bersifat
ultim atau absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang ultim atau
absolut itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui
intuisi karena ada tata moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis
sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antarobyek, dan validitas
dari nilai obyektif ini tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia.
Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif,
ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras
dengan preskripsi-preskripsi moralnya.
Kedua, teori nilai rasional (the rational
theory of value). Bagi mereka janganlah percaya pada nilai yang bersifat
obyektif dan murni independen dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai
hasil dari penalaran manusia dan pewahyuan supranatural. Fakta bahwa seseorang
melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar,
sebagaimana fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu
berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi dengan nalar atau peran
Tuhan, seseorang menemukan nilai ultim, obyektif, absolut yang seharusnya
mengarahkan perilakunya.
Ketiga, teori nilai alamiah (the
naturalistik theory of value). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama
dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah
produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan, dipakai, diuji oleh
individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan
naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak
absolut atau ma’sum (infallible) tetapi bersifat relatif dan kontingen. Nilai
secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi
(kebutuhan/keinginan) manusia.
Keempat, teori nilai emotif (the emotive
theory of value). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan
status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa bahwa konsep moral dan etika
bukanlah keputusan faktual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi-emosi atau
tingkah laku (attitude). Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa
diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penilaian (valuing) menjadi bagian penting
dari tindakan manusia. Bagi mereka, drama kemanusiaan adalah sebuah axiological
tragicomedy.
KESIMPULAN
Ontologi
merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling
kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut
mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang
belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun
yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap
ada berdiri sendiri).
Epistemologi,
(dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan)
dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan
jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang
paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang
apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya
dengan kebenaran dan keyakinan. Epistomologi atau Teori Pengetahuan
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis.
Aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau
sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai,
penyelidikan tentang kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
DAFTAR BACAAN
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1996.
Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu,
Penerbit Rake Sarasin, Yogjakarta, 2001.
Louis O. Kattsouff, Pengantar
filsafat, Tiara Wacana, Yogjakarta
Sidi Gazalba, Sistematika
filsafat II, Yogjakarta, 1995.
Wikipedia. Epistemologi.
http//wikipedia/epistemologi/ontologi
No comments:
Post a Comment