Perselisihan Faham Setelah Nabi Muhammad wafat
Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 02 Rabi’ul Awwal 11 H atau 08 Juni 632M. Di hari wafatnya sekelompok Kaum Anshar (sahabat Nabi yang berasal dari Madinah) dibawah pimpinan Sa’ad bin Ubadah dari suku Khazraj berkumpul di sebuah tempat yang bernama Saqifah Bani Sa’idah untuk mencari Khalifah, pemimpin pengganti Nabi.Mendengar hal ini Kaum Muhajirin (sahabat Nabi yang berasal dari Makkah dan pindah ke Madinah) datang ke Saqifah dibawah pimpinan Abu Bakar as-Shiddiq .
Setelah terjadi perdebatan yang cukup sengit dimana Kaum Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah sebagai calon Khalifah dan Kaum Muhajirin mengajukan Abu Bakar atau Umar bin Khattab sebagai calon Khalifah, akhirnya semua sepakat untuk mengangkat sahabat yang paling utama yaitu Sayidina Abu Bakar as-Shiddiq sebagai Khalifah pengganti Nabi.
Dalam rapat itu tidak ada seorangpun yang mengemukakan Sayidina Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Faham Syi’ah belum ada ketika itu, yang ada hanya Kaum Anshar dan Muhajirin, tetapi perselisihan tersebut tidak menimbulkan firqah dalam Ushuluddin karena perselisihan tersebut telah selesai dengan diangkatnya Sayidina Abu Bakar sebagai Khalifah secara aklamasi.
Pada tahun 30 H timbul Faham Syi’ah yang disulut oleh Abdullah bin
Setelah terjadi Perang Siffin, perang saudara sesama Islam antara tentara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan tentara Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Gubernur Syria) pada tahun 37 H timbul pula Faham Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari Sayidina Ali dan Mu’awiyah.
Pada awal abad kedua Hijriah timbul pula Faham Mu’tazilah yaitu yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha’ (80-113 H) dan Umar bin Ubaid (wafat 145 H).
Kaum Mu’tazilah ini mengeluarkan pendapat yang aneh - aneh, berlainan dengan i’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat beliau.
Di antara pendapat yang ganjil tersebut adalah adanya “manzilah bainal manzilatain” yaitu ada tempat di antara dua tempat neraka dan surga, bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, Al-Quran adalah makhluk, mi’raj Nabi hanya dengan ruh saja, bahwa pertimbangan akal lebih didahulukan dari hadits Nabi, bahwa surga dan neraka akan lenyap dsb.
Kemudian timbul Faham Qadariyah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh manusia sendiri, tidak bersangkut paut dengan Tuhan. Hak mencipta telah diberikan Tuhan kepada manusia sehingga Tuhan tidak tahu dan tidak peduli lagi akan apa yang diperbuat oleh manusia.
Kemudian timbul pula Faham Jabariyah yang mengatakan bahwa sekalian yang terjadi adalah dari Tuhan, manusia tidak memiliki daya apa-apa, tidak ada usaha dan tidak ada ikhtiar.
Selanjutnya timbul Faham Mujassimah, yaitu faham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, punya tangan dan kaki, duduk di atas kursi, turun tangga seperti manusia, Tuhan adalah cahaya seperti lampu dan sebagainya.
Dan timbul pula faham-faham yang keliru tentang tawassul dan washilah, tentang ziarah dan istighatsah dari Ibnu Taimiyah yang semuanya mengacaukan dunia Islam dan kaum muslimin
Munculnya I’tiqad Ahlussunnah
wal Jama’ah
Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang menyeleweng tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari ( 260 – 324 H ) dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi ( w.333 H )
.
Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang disingkat menjadi Ahlussunnah atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Beliau pada mulanya adalah murid dari bapak tirinya, seorang ulama besar kaum Mu’tazilah yaitu Syaikh Abu ‘Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubai ( w.303 H ), namun kemudian beliau tobat dan keluar dari golongan Mu’tazilah
Pada masa itu (abad ketiga Hijriyah) banyak sekali ulama-ulama Mu’tazilah yang mengajar di kota-kotaIraq
termasuk Basrah, Bagdad dan Kufah. Pada masa
itu memang merupakan masa gemilang bagi Faham Mu’tazilah karena didukung oleh
pemerintahan yang berkuasa, dimana sekurang-kurangnya ada tiga kepala
pemerintahan (Khalifah) yang memberi dukungan yaitu Ma’mun bin Harun ar-Rasyid
(198-218H), al-Mu’tashim (218-227 H) dan al-Watsiq (227-232 H).
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah “Al-Quran adalah makhluk” yang sampai mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan Mu’tazilah.
Abu Hasan muda melihat bahwa dalam faham Mu’tazilah ini banyak terdapat kesalahan besar yang bertentangan dengan i’tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW serta sahabat-sahabat, serta banyak yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.
Karena itu beliau keluar dari golongan Mu’tazilah dan tobat kepada Tuhan atas kesalahan-kesalahannya yang lalu. Bukan itu saja, beliau tampil di muka untuk melawan dan mengalahkan Faham Mu’tazilah yang sesat itu.
Pada suatu hari beliau naik ke sebuah mimbar di Masjid Basrah yang besar dan mengucapkan pidato dengan suara lantang dan berapi-api di hadapan kaum muslimin yang sedang berkumpul.
Isi pidatonya adalah sebagai berikut :
“Saudara-saudara kaum muslimin yang terhormat!
Siapa yang sudah mengetahui saya, baiklah, tetapi bagi yang belum mengetahui maka saya adalah Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari, anak dari Ismail bin Abi Basyar.
Dulu saya berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah makhluk, bahwa Tuhan Allah SWT tidak bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, dan bahwa manusia menjadikan (menciptakan) perbuatannya sendiri, serupa dengan Faham Mu’tazilah.
Nah, sekarang saya menyatakan dengan terus terang bahwa saya telah tobat dari Faham Mu’tazilah dan sekarang saya lemparkan i’tiqad itu seperti saya melemparkan baju saya ini (sambil melemparkan bajunya) dan setiap saat saya siap untuk menolak Faham Mu’tazilah yang salah dan sesat itu”.
(Zhumrul Islam IV hal.67)
Sejak saat itu Abu Hasan berjuang melawan Faham Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan ulama-ulama Mu’tazilah di mana-mana, serta merumuskan dan menuliskan dalam buku-bukunya i’tiqad Faham Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga beliau terkenal sebagai seorang Ulama Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan Faham Mu’tazilah.
Beliau mengarang buku Ushuluddin banyak sekali, di antaranya adalah Al Ibanah fi Ushuluddiyanah, Maqalaatul Islamiyiin, Istihsanul Khaud fi Ilmil kalam dan sebagainya.
Keistimewaan beliau dalam menegakkan fahamnya dan dalam mengarang adalah dengan mengutamakan dalil-dalil Al-Quran dan hadits serta mempertimbangkan akal pikiran, berbeda dengan Faham Mu’tazilah yang mendasarkan pemikirannya atas akal dan falsafah Yunani dalam hal Ushuluddin, serta berbeda pula dengan Faham Mujassimah yang mendasarkan fahamnya atas arti lahir Al-Quran dan hadits sehingga sampai mengatakan bahwa Tuhan bertangan, memiliki wajah/muka, duduk di atas ‘Arsy dan lain sebagainya yang keliru.
Kemudian Imam Abu Mansur al-Maturidi yang ditetapkan juga sebagai pembangun Faham Ahlussunnah wal Jama’ah, telah berjasa besar dalam mengumpulkan, merinci dan mempertahankan i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah seperti Imam Asy’ari.Hingga sekarang makam beliau ramai diziarahi kaum muslimin.Dunia Islam sejak saat itu menganggap bahwa kedua Imam ini adalah pembangun Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pada tahun-tahun dan abad berikutnya banyak bermunculan ulama-ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menyebarluaskan faham-faham Asy’ari dan Maturidi, antara lain adalah :
Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang menyeleweng tadi, maka pada akhir abad ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Syaikh Abu Hasan Ali al-Asy’ari ( 260 – 324 H ) dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi ( w.333 H )
.
Istilah Ahlussunnah wal Jama’ah kadang-kadang disingkat menjadi Ahlussunnah atau Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah, dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama yaitu Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.
Beliau pada mulanya adalah murid dari bapak tirinya, seorang ulama besar kaum Mu’tazilah yaitu Syaikh Abu ‘Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubai ( w.303 H ), namun kemudian beliau tobat dan keluar dari golongan Mu’tazilah
Pada masa itu (abad ketiga Hijriyah) banyak sekali ulama-ulama Mu’tazilah yang mengajar di kota-kota
Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah “Al-Quran adalah makhluk” yang sampai mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefaham dengan Mu’tazilah.
Abu Hasan muda melihat bahwa dalam faham Mu’tazilah ini banyak terdapat kesalahan besar yang bertentangan dengan i’tiqad dan kepercayaan Nabi Muhammad SAW serta sahabat-sahabat, serta banyak yang bertentangan dengan Al-Quran dan Hadits.
Karena itu beliau keluar dari golongan Mu’tazilah dan tobat kepada Tuhan atas kesalahan-kesalahannya yang lalu. Bukan itu saja, beliau tampil di muka untuk melawan dan mengalahkan Faham Mu’tazilah yang sesat itu.
Pada suatu hari beliau naik ke sebuah mimbar di Masjid Basrah yang besar dan mengucapkan pidato dengan suara lantang dan berapi-api di hadapan kaum muslimin yang sedang berkumpul.
Isi pidatonya adalah sebagai berikut :
“Saudara-saudara kaum muslimin yang terhormat!
Siapa yang sudah mengetahui saya, baiklah, tetapi bagi yang belum mengetahui maka saya adalah Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari, anak dari Ismail bin Abi Basyar.
Dulu saya berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah makhluk, bahwa Tuhan Allah SWT tidak bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, dan bahwa manusia menjadikan (menciptakan) perbuatannya sendiri, serupa dengan Faham Mu’tazilah.
Nah, sekarang saya menyatakan dengan terus terang bahwa saya telah tobat dari Faham Mu’tazilah dan sekarang saya lemparkan i’tiqad itu seperti saya melemparkan baju saya ini (sambil melemparkan bajunya) dan setiap saat saya siap untuk menolak Faham Mu’tazilah yang salah dan sesat itu”.
(Zhumrul Islam IV hal.67)
Sejak saat itu Abu Hasan berjuang melawan Faham Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan ulama-ulama Mu’tazilah di mana-mana, serta merumuskan dan menuliskan dalam buku-bukunya i’tiqad Faham Ahlussunnah wal Jama’ah, sehingga beliau terkenal sebagai seorang Ulama Tauhid yang dapat menundukkan dan menghancurkan Faham Mu’tazilah.
Beliau mengarang buku Ushuluddin banyak sekali, di antaranya adalah Al Ibanah fi Ushuluddiyanah, Maqalaatul Islamiyiin, Istihsanul Khaud fi Ilmil kalam dan sebagainya.
Keistimewaan beliau dalam menegakkan fahamnya dan dalam mengarang adalah dengan mengutamakan dalil-dalil Al-Quran dan hadits serta mempertimbangkan akal pikiran, berbeda dengan Faham Mu’tazilah yang mendasarkan pemikirannya atas akal dan falsafah Yunani dalam hal Ushuluddin, serta berbeda pula dengan Faham Mujassimah yang mendasarkan fahamnya atas arti lahir Al-Quran dan hadits sehingga sampai mengatakan bahwa Tuhan bertangan, memiliki wajah/muka, duduk di atas ‘Arsy dan lain sebagainya yang keliru.
Kemudian Imam Abu Mansur al-Maturidi yang ditetapkan juga sebagai pembangun Faham Ahlussunnah wal Jama’ah, telah berjasa besar dalam mengumpulkan, merinci dan mempertahankan i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah seperti Imam Asy’ari.Hingga sekarang makam beliau ramai diziarahi kaum muslimin.Dunia Islam sejak saat itu menganggap bahwa kedua Imam ini adalah pembangun Faham Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pada tahun-tahun dan abad berikutnya banyak bermunculan ulama-ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah yang menyebarluaskan faham-faham Asy’ari dan Maturidi, antara lain adalah :
- Imam Abu Bakar al-Qaffal (w. 365 H)
- Imam Abu Ishaq al-Asfaraini (w. 411 H)
- Imam al-Hafizh al-Baihaqi (w. 458 H)
- Imamul Haramain al-Juwaini (w. 460 H)
- Imam al-Qasim al-Qusyairi (w 465 H)
- Imam al-Baqilani (w. 403 H)
- Imam al-Ghazali (w. 505 H)
- Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H)
- Imam Izzuddin bin Abdussalam (w. 660 H)
- Syaikhul Islam Syaikh Abdullah as-Syarqawi (w. 1227 H)
- Syaikh Ibrahim al-Bajuri (w. 1272 H)
- Syaikh Muhammad Nawawi Al Bantany (w.1315 H)
Mengidentifikasi Ahlussunnah wal Jama’ah itu
Ahlussunnah adalah Penganut Sunnah Nabi.Jama’ah adalah Pengikut i’tiqad Jama’ah Sahabat-Sahabat Nabi.
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Faham yang menganut i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad beserta sahabat-sahabat Beliau.
I’tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syaikh Abu Hasan ‘Ali al-Asy’ari.Karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah.
Dalam Kitab ‘Ittihaf Sadatul Muttaqin’ Syarah Ihya Ulumuddin oleh Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni Az-Zabidi, dikatakan bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi.
Dalam disiplin keilmuan aqidah, hasil istinbath Al-Quran dan hadits oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari dinamai Madzhab Asy’ari atau Faham Asy’ari, walaupun sebenarnya Imam Asy’ari hanya menggali, merumuskan, memfatwakan, menyiarkan dan mempertahankan apa yang sudah ada dalam Al-Quran dan hadits, serta apa yang sudah di-i’tiqadkan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat.
Sikap Tentang Ayat Mutasyabihat
Ayat
dan hadits mutasyabihat adalah ayat atau hadits yang belum jelas makna dan
maksudnya, karena mengandung makna yang dapat disalahfahami sehingga harus
dihubungkan dengan ayat dan hadits yang muhkamat yang menjadi pokok dan tempat
kembali dalam menafsirkan segala yang bersangkut dengan Allah.
Sebenarnya
para Imam dan Muhadditsin selalu
berusaha menghindari untuk membahas ayat mutasyabihat ini, namun justru sangat
digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin yang menyimpang masa kini, mereka
selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yang sedikit saja salah memahami
maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada
dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yang hanya membuat kerancuan dalam
kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya
masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan
hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yang
sebagian kecil kaum muslimin sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa
Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”Istiwa” dengan makna
”Bersemayam atau Ada di Suatu Tempat”,. Dan ini adalah semacam keanehan, entah
darimana mereka menemukan makna kalimat
Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu
bersemayam di suatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash
hadits yang muhkamat.
Maka bila di suatu tempat tepat tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yang terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yang mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dengan hadits qudsiy diatas, yang berarti Allah itu tetap di langit yang terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsi mengatakan Allah dilangit yang terendah.
Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Malik Rahimahullah ketika ditanya seseorang tentang makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsy Istawa”, beliau menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah ( tidak diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah ), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, tentunya seorang Imam Mulia yang menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah al Munawwarah yang juga Guru Imam Syafii ini, di masanya tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yang tidak baik yang mempermasalahkan masalah ini.
Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yang berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yang turut berbai’at pada sahabat.
Juga sebagaimana hadits qudsiy yang mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yang fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yang sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yang ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yang ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya....” (shahih Bukhari hadits no.6137) Maka hadits Qudsi diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yang taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.
Terkait ayat dan hadits mutasyabih tersebut dan yang semakna terdapat dua pendapat atau madzhab dalam menafsirkannya, yaitu:
1. Madzhab Tafwidh ma’a Tanzih
Madzhab ini mengambil makna lahir lafadz dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala, dengan keyakinan tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan).Suatu ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal tentang masalah hadits sifat, ia berkata, ”Nu’minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dengan hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna). Madzhab inilah yang juga di pegang oleh Imam Abu Hanifah.
Namun muncul pula faham mujjassimah yang secara lahir memegang madzhab tafwidh, tapi menyerupakan Allah dengan mahluk, bukan seperti para imam yang memegang madzhab tafwidh.
2. Madzhab Takwil
Madzab ini menakwilkan ayat atau hadist tasybih sesuai dengan keesaan dan keagungan Allah Ta’ala, dan madzhab ini dipandang sementara ulama arjah (lebih baik untuk diikuti), karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (Syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
Seperti ayat : ”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67), dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).
Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dengan sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah Tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan juga diriwayatkan dalam hadits Qudsi bahwa Allah Ta’ala berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)
Apakah kita bisa mensifatkan dan menisbatkan sakit kepada Allah tapi yang tidak seperti sakitnya kita?
Imam Nawawi menafsiri hadits Qudsi di atas, berpendapat, bahwa yang dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala Shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yang berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yang mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182). (Referensi utama, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. Siradjuddin Abbas)
No comments:
Post a Comment