Selamat Datang Pada BLOG SYAFA'AT semoga bermanfaat
Home » » Menyelamatkan Harta Benda Wakaf

Menyelamatkan Harta Benda Wakaf



Sengketa masalah pertanahan bukan hanya terjadi antara masyarakat dengan Pemerintah saja, namun juga antar masyarakat serta antar perorangan dengan kelompok masyarakat, bahkan sampai pada kasus pidana. Salah satu yang sering menjadi persengketaan masalah tanah adalah tanah wakaf yang sebagian besar terjadi pada generasi kedua atau ketiga dari wakif (orang yang mewakafkan), hal ini karena kurangnya bukti outentik atas terjadinya perwakafan tersebut yang sebagian besar hanya dilakukan dengan lesan.
Praktik wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya, terlantar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu, tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan Nazhir (pengelola tanah wakaf) dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi dengan akta outentik demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Pengertian wakaf sebagaimana dimaksud dalam Undang undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Undang undang ini merupakan regulasi dari peraturan perundang undangan sebelumnya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang hanya mengatur tentang wakaf permanen. Pengertian Wakaf ini juga sejalan dengan Pasal 215 KHI adalah : Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hokum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam, jadi menurut KHI, salah satu rukun wakaf adalah permanen dan wakaf sementara adalah tidak sah.
Undang undang nomor 41 Tahun 2004 bukan hanya mengatur harta benda wakaf yang bersifat abadi atau harta tidak bergerak saja, namun juga mengatur dan membolehkan harta benda yang diwakafkan dalam jangka waktu tertentu saja serta wakaf harta bergerak seperti Uang tunai, logam mulia,surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Begitu juga dengan Nazhir (pengelola wakaf), yang dalam peraturan perundang undangan sebelumnya hanya mengatur pengelolaan tanah wakaf pada Nazhir Perorangan dan Nadzir Badan Hukum, pada Undang undang Nomor 41 Tahun 2004 juga ditambah dengan Nazhir Organisasi, serta dibentuknya Badan Wakaf Indonesia ( BWI ) sebagai lembaga yang secara khusus menangani masalah perwakafan.
Dengan adanya aturan masalah wakaf harta bergerak tersebut akan memberikan banyak peluang bagi terkumpulnya harta benda wakaf bagi kepentingan Umat Islam yang juga dapat membantu dalam program  penanggulangan kemiskinan, hal ini juga akan mempercepat proses pembangunan Nasional, karena dengan banyaknya harta benda wakaf serta harta harta lain yang dihimpun dari masyarakat, akan mengurangi beban pemerintah dalam pemberian dana bantuan sosial untuk pembiayaan pembangunan tempat tempat Ibadah dan sosial.
Seperti diketahui bahwa di Indonesia hampir semua tempat ibadah umat Islam merupakan tanah yang diperoleh dari wakaf. Bahkan banyak sarana pendidikan, rumah sakit dan sarana kepentingan umum lainnya merupakan tanah wakaf yang sebagian besar belum bersertifikat, bahkan belum ber Akta Ikrar Wakaf ( AIW ), dan jika hal ini dibiarkan, serta tidak dikelola dengan baik, maka akan banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan hukum yang pada akhirnya tanah wakaf dapat digunakan untuk kepentingan umat disalahgunakan oleh orang-orang atau kelompok orang yang menginginkan tanah tersebut untuk memperkaya diri sendiri atau kepentingan kelompoknya.
Kurangnya pengamanan domukentasi tanah wakaf ini terjadi karena umat Islam terlalu percaya diri bahwa harta tersebut sudah aman, karena sudah menjadi milik Allah SWT. Kepercayaan diri yang tidak disertai upaya preventif seperti ini, belakangan akan menjerumuskan umat Islam sendiri serta mendatangkan banyak masalah dalam penyelamatan harta benda wakaf. Keyakinan bahwa akad wakaf tidak perlu ditulis karena dianggap sebagai perbuatan murni ibadah secara dogmatis memang cukup berdasar. Namun keyakinan seperti tidak cukup komprehensif dan aman bagi status harta wakaf di Indonesia. Hal ini disebabkan di Indonesia harta wakaf tidak secara otomatis diakui sebagai sebuah harta wakaf, tanpa adanya legalisasi dari pemerintah melalui pencatatan data sertifikasi wakaf, yang jika tidak terdapat bukti bukti tertulis akan memberikan “peluang” adanya gugatan atas harta benda wakaf dimaksud.
Faham masyarakat yang menyerahkan perwakafan pada rasa keikhlasan tersebut terlihat sangat lugu karena tingginya sikap jujur dan saling percaya satu dengan yang lain dimasa masa awal. Praktik pelaksanaan wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya persengketaan persengketaan karena tiadanya bukti-bukti yang mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan. Baik bukti berdasarkan bukti-bukti catatan di Kantor Urusan Agama (KUA) di Kecamatan, maupun Sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Tiadanya bukti outentik perwakafan ini bukan hanya karena adanya rasa percaya diri dari pada Nazhir bahwa Wakif sangat Ikhlas mewakafkan harta bendanya, namun lebih dikarenakan tidak adanya biaya untuk pengurusan perwakafan dimaksud, meskipun peralihan hak wakaf di Badan Pertanahan Nasional ( BPN ) bisa tanpa biaya, namun bukan berarti pengurusan sertifikat tersebut bebas biaya, hal ini dikarenakan banyaknya tanah yang diwakafkan tersebut masih belum bersertifikat hak milik, sehingga untuk menjadikan sebagai tanah dengan sertifikat tanah wakaf dibutuhkan proses konversi dan proses lain yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan mengingat peran dan fungsi tanah wakaf tersebut bagi kebutuhan dan perkembangan masyarakat, maka tidak ada salahnya demi penyelamatan tanah wakaf sebagai asset masyarakar tersebut, jika Pemerintah Kabupaten membantu proses sertifikasi tanah wakaf tersebut dengan cara menganggarkan secara khusus dalam bentuk bantuan sosial untuk sertifikasi tanah wakaf, baik tanah wakaf yang sudah ber Akta Ikrar Wakaf ( AIW ) maupun tanah wakaf yang sampai saat ini belum memiliki bukti tertulis sama sekali berkaitan dengan keberadaannya serta tanah wakaf yang karena kondisi yang tidak disadari oleh pejabat saat itu sehingga menjadi tanah Negara yang pada akhirnya juga banyak menimbulkan persoalan terkait penguasaan dan penggunaannya.     
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

No comments:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2013. Blog Syafa'at - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger