UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG
PENYELENGGARAAN
IBADAH HAJI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia menjamin
kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut agamanya masing-masing;
b. bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib
dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu menunaikannya;
c. bahwa upaya penyempurnaan sistem dan manajemen
penyelenggaraan ibadah haji perlu terus dilakukan agar pelaksanaan ibadah haji
berjalan aman, tertib, dan lancar dengan menjunjung tinggi semangat keadilan,
transparansi, dan akuntabilitas publik;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum
dan tuntutan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji;
Mengingat
: Pasal 20, Pasal 20 A ayat (1), Pasal 21, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH
HAJI.
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan
kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
2. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan
pengelolaan pelaksanaan Ibadah Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan Jemaah Haji.
3. Jemaah Haji adalah Warga Negara Indonesia yang beragama
Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan.
4.
Warga Negara adalah Warga Negara
Indonesia.
5.
Pemerintah adalah Pemerintah
Republik Indonesia.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, yang
selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
7. Komisi Pengawas Haji Indonesia, yang selanjutnya disebut
KPHI, adalah lembaga mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
8. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya
disebut BPIH, adalah sejumlah dana yang harus dibayar oleh Warga Negara yang
akan menunaikan Ibadah Haji.
9.
Pembinaan . . .
- 3
-
9. Pembinaan Ibadah Haji adalah serangkaian kegiatan yang
meliputi penyuluhan dan pembimbingan bagi Jemaah Haji.
10. Pelayanan Kesehatan adalah pemeriksaan, perawatan, dan
pemeliharaan kesehatan Jemaah Haji.
11. Paspor Haji adalah dokumen perjalanan resmi yang diberikan
kepada Jemaah Haji untuk menunaikan Ibadah Haji.
12. Akomodasi adalah perumahan atau pemondokan yang disediakan
bagi Jemaah Haji selama di embarkasi atau di debarkasi dan di Arab Saudi.
13. Transportasi adalah pengangkutan yang disediakan bagi
Jemaah Haji selama Penyelenggaraan Ibadah Haji.
14. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan
Ibadah Haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
15. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus adalah pihak yang
menyelenggarakan ibadah haji yang pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya
bersifat khusus.
16. Ibadah Umrah adalah umrah yang dilaksanakan di luar musim
haji.
17. Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut DAU, adalah
sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau
sisa biaya operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji serta sumber lain yang halal
dan tidak mengikat.
18. Badan Pengelola Dana Abadi Umat, yang selanjutnya disebut
BP DAU, adalah badan untuk menghimpun, mengelola, dan mengembangkan Dana Abadi
Umat.
19. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang agama.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan
Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, profesionalitas, dan
akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Penyelenggaraan
Ibadah Haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan
yang sebaik-baiknya bagi Jemaah Haji sehingga Jemaah Haji dapat menunaikan
ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam.
BAB III
HAK
DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 4
(1) Setiap Warga Negara yang beragama Islam berhak untuk
menunaikan Ibadah Haji dengan syarat:
a. berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau sudah
menikah; dan
b.
mampu membayar BPIH.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 5
Setiap
Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji berkewajiban sebagai berikut:
a.
mendaftarkan diri kepada Panitia
Penyelenggara Ibadah Haji kantor Departemen Agama kabupaten/kota setempat;
b. membayar BPIH yang disetorkan melalui bank penerima
setoran; dan
c.
memenuhi dan mematuhi persyaratan
dan ketentuan yang berlaku dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Bagian Kedua . . .
- 5 -
Bagian Kedua
Kewajiban Pemerintah
Pasal 6
Pemerintah
berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan
menyediakan layanan administrasi, bimbingan Ibadah Haji, Akomodasi,
Transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan
oleh Jemaah Haji.
Bagian Ketiga
Hak
Jemaah Haji
Pasal 7
Jemaah
Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam menjalankan
Ibadah Haji, yang meliputi:
a.
pembimbingan manasik haji dan/atau
materi lainnya, baik di tanah air, di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
b. pelayanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan
Kesehatan yang memadai, baik di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab
Saudi;
c.
perlindungan sebagai Warga Negara
Indonesia;
d. penggunaan Paspor Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan
untuk pelaksanaan Ibadah Haji; dan
e.
pemberian kenyamanan Transportasi
dan pemondokan selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah
air.
BAB IV
PENGORGANISASIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan Ibadah Haji meliputi unsur kebijakan,
pelaksanaan, dan pengawasan.
(2)
Kebijakan . . .
- 6
-
(2) Kebijakan dan pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah
Haji merupakan tugas nasional dan menjadi tanggung jawab Pemerintah.
(3) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Menteri mengoordinasikannya dan/atau bekerja sama
dengan masyarakat, departemen/instansi terkait, dan Pemerintah Kerajaan Arab
Saudi.
(4) Pelaksanaan dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(5) Dalam rangka pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pemerintah membentuk satuan kerja di bawah
Menteri.
(6) Pengawasan Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tugas dan
tanggung jawab KPHI.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan pelaksanaan
dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Penyelenggaraan Ibadah Haji
dikoordinasi oleh:
a.
Menteri di tingkat pusat;
b. gubernur di tingkat provinsi;
c.
bupati/wali kota di tingkat
kabupaten/kota; dan
d. Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab
Saudi.
Pasal 10
(1) Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban
mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(2) Pelaksana Penyelenggaraan Ibadah Haji berkewajiban
menyiapkan dan menyediakan segala hal yang terkait dengan pelaksanaan Ibadah
Haji sebagai berikut:
a.
penetapan BPIH;
b. pembinaan Ibadah Haji;
c.
penyediaan Akomodasi yang layak;
d. penyediaan Transportasi;
e.
penyediaan konsumsi;
f.
Pelayanan Kesehatan; dan/atau
g.
pelayanan administrasi dan
dokumen.
(3) Ketentuan . . .
- 7
-
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Penyelenggara Ibadah
Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Panitia Penyelenggara Ibadah Haji
Pasal 11
(1) Menteri membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji di
tingkat pusat, di daerah yang memiliki embarkasi, dan di Arab Saudi.
(2) Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji, Menteri menunjuk
petugas yang menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a.
Tim Pemandu Haji Indonesia (TPHI);
b. Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI); dan
c.
Tim Kesehatan Haji Indonesia
(TKHI).
(3) Gubernur atau bupati/wali kota dapat mengangkat petugas
yang menyertai Jemaah Haji, yang terdiri atas:
a.
Tim Pemandu Haji Daerah (TPHD);
dan
b. Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD).
(4) Biaya operasional Panitia Penyelenggara Ibadah Haji dan
petugas operasional pusat dan daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan mekanisme
pengangkatan petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Komisi
Pengawas Haji Indonesia
Pasal 12
(1) KPHI dibentuk untuk melakukan pengawasan dalam rangka
meningkatkan pelayanan Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
(2)
KPHI bertanggung jawab kepada
Presiden.
(3) KPHI . . .
- 8
-
(3) KPHI bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap
Penyelenggaraan Ibadah Haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
(4)
KPHI memiliki fungsi:
a. memantau
|
dan
|
menganalisis kebijakan
|
||
operasional
|
Penyelenggaraan
|
Ibadah
|
Haji
|
|
Indonesia;
|
|
|
|
|
b. menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga
pengawas dan masyarakat;
c.
menerima masukan dan saran
masyarakat mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji; dan
d. merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan
operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(5) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, KPHI dapat bekerja
sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) KPHI melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis
kepada Presiden dan DPR paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 13
KPHI dalam melaksanakan tugasnya
bersifat mandiri.
Pasal 14
(1)
KPHI terdiri atas 9 (sembilan)
orang anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas unsur masyarakat 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah 3 (tiga) orang.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan
tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
ditunjuk dari departemen/instansi yang berkaitan dengan Penyelenggaraan Ibadah
Haji.
(5)
KPHI . . .
- 9
-
(5) KPHI dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
(6) Ketua dan Wakil Ketua KPHI dipilih dari dan oleh anggota
Komisi.
Pasal 15
Masa
kerja anggota KPHI dijabat selama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 16
Anggota
KPHI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri setelah
mendapat pertimbangan DPR.
Pasal 17
Untuk
dapat diangkat menjadi anggota KPHI, calon anggota harus memenuhi persyaratan:
a.
Warga Negara Indonesia;
b.
berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
c.
mempunyai komitmen yang tinggi
untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji;
d.
mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang luas dan mendalam tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
e.
tidak pernah dijatuhi pidana
karena melakukan tindak pidana kejahatan;
f.
mampu secara rohani dan jasmani;
dan
g.
bersedia bekerja sepenuh waktu.
Pasal 18
Segala
pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas KPHI dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 19 . . .
- 10 -
Pasal 19
(1) Dalam melaksanakan tugasnya KPHI dibantu oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin
oleh seorang sekretaris yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri atas
pertimbangan KPHI.
(3) Sekretaris dalam melaksanakan tugasnya secara fungsional
bertanggung jawab kepada pimpinan KPHI.
Pasal 20
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota KPHI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB V
BIAYA
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
Pasal 21
(1) Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri
setelah mendapat persetujuan DPR.
(2) BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk
keperluan biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 22
(1) BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah
dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Penerimaan setoran BPIH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan kuota yang telah ditetapkan.
Pasal 23
(1) BPIH yang disetor ke rekening Menteri melalui bank syariah
dan/atau bank umum nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dikelola oleh
Menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat.
(2)
Nilai . . .
- 11
-
(2) Nilai manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
langsung untuk membiayai belanja operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Pasal 24
(1)
Jemaah Haji menerima pengembalian
BPIH dalam hal:
a.
meninggal dunia sebelum berangkat
menunaikan Ibadah Haji; atau
b. batal keberangkatannya karena alasan kesehatan atau alasan
lain yang sah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian dan jumlah
BPIH yang dikembalikan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Laporan keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji disampaikan
kepada Presiden dan DPR paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Penyelenggaraan
Ibadah Haji selesai.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila
terdapat sisa dimasukkan dalam DAU.
BAB VI
PENDAFTARAN DAN KUOTA
Pasal 26
(1) Pendaftaran Jemaah Haji dilakukan di Panitia Penyelenggara
Ibadah Haji dengan mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah
ditetapkan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan persyaratan
pendaftaran diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 27
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Warga Negara di luar negeri yang akan menunaikan Ibadah
Haji diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 28 . . .
- 12 -
Pasal 28
(1) Menteri menetapkan kuota nasional, kuota haji khusus, dan
kuota provinsi dengan memperhatikan prinsip adil dan proporsional.
(2) Gubernur dapat menetapkan kuota provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ke dalam kuota kabupaten/kota.
(3) Dalam hal kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak terpenuhi pada hari penutupan pendaftaran, Menteri dapat
memperpanjang masa pendaftaran dengan menggunakan kuota bebas secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kuota diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 29
(1) Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, Menteri menetapkan:
a.
mekanisme dan prosedur Pembinaan
Ibadah Haji; dan
b. pedoman pembinaan, tuntunan manasik, dan panduan
perjalanan Ibadah Haji.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
tanpa memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar BPIH yang telah
ditetapkan.
Pasal 30
(1) Dalam rangka Pembinaan Ibadah Haji, masyarakat dapat
memberikan bimbingan Ibadah Haji, baik dilakukan secara perseorangan maupun
dengan membentuk kelompok bimbingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bimbingan Ibadah Haji oleh
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII . . .
- 13 -
BAB VIII
KESEHATAN
Pasal 31
(1) Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Ibadah Haji, baik pada
saat persiapan maupun pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji, dilakukan oleh
menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasi oleh Menteri.
BAB IX
KEIMIGRASIAN
Pasal 32
(1) Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji
menggunakan Paspor Haji yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Menteri dapat menunjuk pejabat untuk dan/atau atas namanya
menandatangani Paspor Haji.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB X
TRANSPORTASI
Bagian Kesatu
Pelaksanaan
Transportasi
Pasal 33
(1) Pelayanan Transportasi Jemaah Haji ke Arab Saudi dan
pemulangannya ke tempat embarkasi asal di Indonesia menjadi tanggung jawab
Menteri dan berkoordinasi dengan menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang perhubungan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34 . . .
- 14 -
Pasal 34
Penunjukan
pelaksana Transportasi Jemaah Haji dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan
aspek keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan efisiensi.
Pasal 35
(1) Transportasi Jemaah Haji dari daerah asal ke embarkasi dan
dari debarkasi ke daerah asal menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan Transportasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Bagian Kedua
Barang Bawaan
Pasal 36
(1) Jemaah Haji dapat membawa barang bawaan ke dan dari Arab
Saudi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan.
BAB XI
AKOMODASI
Pasal 37
(1) Menteri wajib menyediakan Akomodasi bagi Jemaah Haji tanpa
memungut biaya tambahan dari Jemaah Haji di luar BPIH yang telah ditetapkan.
(2) Akomodasi bagi Jemaah Haji harus memenuhi standar
kelayakan dengan memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, kenyamanan, dan
kemudahan Jemaah Haji beserta barang bawaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan Akomodasi bagi
Jemaah Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB
XII . . .
- 15 -
BAB XII
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI KHUSUS
Pasal 38
(1) Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji bagi masyarakat
yang membutuhkan pelayanan khusus, dapat diselenggarakan Ibadah Haji Khusus
yang pengelolaan dan pembiayaannya bersifat khusus.
(2) Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang telah mendapat izin dari Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksana Penyelenggaraan
Ibadah Haji Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 39
Penyelenggara
Ibadah Haji Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, yang akan diberi izin
oleh Menteri, wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
terdaftar sebagai penyelenggara perjalanan
umrah;
b. memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk
menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus; dan
c.
memiliki komitmen untuk
meningkatkan kualitas Ibadah Haji.
Pasal 40
Penyelenggara
Ibadah Haji Khusus wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a.
menerima pendaftaran dan melayani
Jemaah Haji hanya yang menggunakan Paspor Haji;
b.
memberikan bimbingan Ibadah Haji;
c.
memberikan layanan Akomodasi,
konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan secara khusus; dan
d. memberangkatkan, memulangkan, dan melayani Jemaah Haji
sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan Jemaah Haji.
Pasal 41 . . .
- 16 -
Pasal 41
Penyelenggara
Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dikenai sanksi administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang
berupa:
a.
peringatan;
b.
pembekuan izin penyelenggaraan;
atau
c.
pencabutan izin penyelenggaraan.
Pasal 42
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYELENGGARAAN PERJALANAN IBADAH
UMRAH
Pasal 43
(1) Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara
perseorangan atau rombongan melalui penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah.
(2) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dilakukan oleh
Pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 44
Biro
perjalanan wisata dapat ditetapkan sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah
Umrah setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
terdaftar sebagai biro perjalanan
wisata yang sah;
b. memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk
menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah; dan
c.
memiliki komitmen untuk
meningkatkan kualitas Ibadah Umrah.
Pasal 45
(1) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a.
menyediakan . . . .
- 17
-
a.
menyediakan pembimbing ibadah dan
petugas kesehatan;
b. memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa
berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.
memberikan pelayanan kepada jemaah
sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan
jemaah; dan
d. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi
pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan perjalanan
Ibadah Umrah diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 46
(1) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dikenai sanksi
administratif sesuai dengan tingkat kesalahannya, yang berupa:
a.
peringatan;
b.
pembekuan izin penyelenggaraan;
atau
c.
pencabutan izin penyelenggaraan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
PENGELOLAAN
DANA ABADI UMAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 47
(1) Dalam rangka pengelolaan dan pengembangan DAU secara lebih
berdaya guna dan berhasil guna untuk kemaslahatan umat Islam, Pemerintah
membentuk BP DAU.
(2)
BP . . .
- 18
-
(2) BP DAU terdiri atas ketua/penanggung jawab, dewan
pengawas, dan dewan pelaksana.
(3) Pengelolaan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan Ibadah Haji,
pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi, serta pembangunan
sarana dan prasarana ibadah.
Bagian kedua
Tugas dan Fungsi
Pasal 48
(1) BP DAU bertugas menghimpun, mengelola, mengembangkan, dan
mempertanggungjawabkan DAU.
(2)
BP DAU memiliki fungsi:
a.
menghimpun dan mengembangkan DAU
sesuai dengan syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
merencanakan, mengorganisasikan,
mengelola, dan memanfaatkan DAU; dan
c.
melaporkan pengelolaan DAU kepada
Presiden dan DPR.
Pasal 49
(1)
Dewan pengawas memiliki fungsi:
a.
menyusun sistem pengelolaan,
pemanfaatan, pengembangan, dan pengawasan DAU;
b.
melaksanakan penilaian atas
rumusan kebijakan, rencana strategis dan rencana kerja serta anggaran tahunan
pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU;
c.
melaksanakan pengawasan dan
pemantauan atas pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan DAU; dan
d.
menilai dan memberikan
pertimbangan terhadap laporan tahunan yang disiapkan oleh dewan pelaksana
sebelum ditetapkan menjadi laporan BP DAU.
(2)
Dalam . . .
- 19
-
(2) Dalam pelaksanaan pengawasan keuangan, dewan pengawas
dapat menggunakan jasa tenaga profesional.
Pasal 50
Dewan pelaksana memiliki fungsi:
a.
menyiapkan rumusan kebijakan,
rencana strategis, dan rencana kerja serta anggaran tahunan pengelolaan,
pemanfaatan, dan pengembangan DAU;
b. melaksanakan program pemanfaatan dan pengembangan DAU yang
telah ditetapkan;
c.
melakukan penatausahaan
pengelolaan keuangan dan aset DAU sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. melakukan penilaian atas kelayakan usul pemanfaatan DAU
yang diajukan oleh masyarakat;
e.
melaporkan pelaksanaan program dan
anggaran tahunan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengembangan DAU secara periodik
kepada dewan pengawas; dan
f.
menyiapkan laporan tahunan BP DAU
kepada Presiden dan DPR.
Bagian Ketiga
Struktur
dan Pengorganisasian
Pasal 51
Ketua/Penanggung
Jawab BP DAU adalah Menteri.
Pasal 52
(1) Dewan Pengawas BP DAU terdiri atas 9 (sembilan) orang
anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas unsur masyarakat 6 (enam) orang dan unsur Pemerintah 3 (tiga) orang.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas unsur Majelis Ulama Indonesia, organisasi masyarakat Islam, dan
tokoh masyarakat Islam.
(4)
Unsur . . .
- 20
-
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditunjuk dari departemen yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang agama.
(5) Dewan Pengawas BP DAU dipimpin oleh seorang ketua dan
seorang wakil ketua.
(6) Ketua dan wakil ketua dewan pengawas dipilih dari dan oleh
anggota Dewan Pengawas.
Pasal 53
(1) Dewan Pelaksana BP DAU terdiri atas 7 (tujuh) orang
anggota.
(2) Keanggotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas unsur Pemerintah dan ditunjuk oleh Menteri.
(3) Dewan Pelaksana dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk
oleh Menteri dari anggota Dewan Pelaksana.
Pasal 54
(1) Masa kerja anggota dewan pengawas dan dewan pelaksana
dijabat selama 3 (tiga) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu)
kali masa jabatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan anggota dewan
pengawas dan dewan pelaksana, hubungan kerja, dan mekanisme kerja masing-masing
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
Pengangkatan
dan pemberhentian ketua dan anggota dewan pengawas serta ketua dan anggota
dewan pelaksana ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 56
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BP DAU dibantu oleh
sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sekretariat BP DAU diatur
dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat . . .
- 21 -
Bagian Keempat
Pengembangan dan Pembiayaan
Pasal 57
Pengembangan
DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) meliputi usaha produktif dan
investasi yang sesuai dengan syariah dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 58
Hasil
pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dapat digunakan langsung
sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah ditetapkan.
Pasal 59
BP
DAU dapat memperoleh hibah dan/atau sumbangan yang tidak mengikat dari
masyarakat atau badan lain.
Pasal 60
(1) Biaya operasional BP DAU dibebankan pada hasil pengelolaan
dan pengembangan DAU.
(2) Dalam hal tertentu, biaya operasional BP DAU sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibiayai oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri sebagai
Ketua/Penanggung Jawab
BP DAU.
Pasal 61
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelolaan DAU diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pertanggungjawaban
Pasal 62
Ketua/Penanggung
Jawab BP DAU menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan DAU kepada
Presiden dan DPR setiap tahun.
BAB XV . . .
- 22 -
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 63
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak
sebagai penerima pembayaran BPIH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
dan/atau sebagai penerima pendaftaran Jemaah Haji sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak bertindak
sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah dengan mengumpulkan dan/atau
memberangkatkan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 64
(1) Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang tidak melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah yang tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
(1) KPHI sudah harus dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Pemerintah . . .
- 23
-
(2) Pemerintah menjalankan tugas dan fungsi KPHI sampai dengan
terbentuknya KPHI.
BAB XVII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 66
Semua
peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus
diselesaikan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak diundangkannya
Undang-Undang ini.
Pasal 67
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 68
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3832) dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 69
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
- 24 -
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada
tanggal 28 April 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 28 April 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 60
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT
NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan
Bidang
Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2008
TENTANG
PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI
I. UMUM
Ibadah haji merupakan rukun Islam
kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang memenuhi syarat
istitaah, baik secara finansial, fisik, maupun mental, sekali seumur hidup. Di
samping itu, kesempatan untuk menunaikan ibadah haji yang semakin terbatas juga
menjadi syarat dalam menunaikan kewajiban ibadah haji. Sehubungan dengan hal
tersebut, Penyelenggaraan Ibadah Haji harus didasarkan pada prinsip keadilan
untuk memperoleh kesempatan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia yang
beragama Islam.
Penyelenggaraan
Ibadah Haji merupakan tugas nasional karena jumlah jemaah haji Indonesia yang
sangat besar, melibatkan berbagai instansi dan lembaga, baik dalam negeri
maupun luar negeri, dan berkaitan dengan berbagai aspek, antara lain bimbingan,
transportasi, kesehatan, akomodasi, dan keamanan. Di samping itu, Penyelenggaraan
Ibadah Haji dilaksanakan di negara lain dalam waktu yang sangat terbatas yang
menyangkut nama baik dan martabat bangsa Indonesia di luar negeri, khususnya di
Arab Saudi. Di sisi lain adanya upaya untuk melakukan peningkatan kualitas
Penyelenggaraan Ibadah Haji merupakan tuntutan reformasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Sehubungan
dengan hal tersebut, Penyelenggaraan Ibadah Haji perlu dikelola secara
profesional dan akuntabel dengan mengedepankan kepentingan jemaah haji dengan
prinsip nirlaba.
Untuk
menjamin Penyelenggaraan Ibadah Haji yang adil, profesional, dan akuntabel
dengan mengedepankan kepentingan jemaah, diperlukan adanya lembaga pengawas
mandiri yang bertugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap
Penyelenggaraan Ibadah Haji serta memberikan pertimbangan untuk penyempurnaan
Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia.
- 2 -
Upaya
penyempurnaan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan
Ibadah Haji secara terus-menerus dan berkesinambungan yang meliputi pembinaan,
pelayanan,Upayadan...
perlindungan
terhadap jemaah haji sejak mendaftar sampai kembali ke tanah air. Pembinaan
haji diwujudkan dalam bentuk pembimbingan, penyuluhan, dan penerangan kepada
masyarakat dan jemaah haji. Pelayanan diwujudkan dalam bentuk pemberian layanan
administrasi dan dokumen, transportasi, kesehatan, serta akomodasi dan
konsumsi. Perlindungan diwujudkan dalam bentuk jaminan keselamatan dan keamanan
jemaah haji selama menunaikan ibadah haji.
Karena
penyelenggaraan ibadah haji merupakan tugas nasional dan menyangkut martabat
serta nama baik bangsa, kegiatan penyelenggaraan ibadah haji menjadi tanggung
jawab Pemerintah. Namun, partisipasi masyarakat merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji. Partisipasi
masyarakat tersebut direpresentasikan dalam penyelenggaran ibadah haji khusus
dan bimbingan ibadah haji yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Untuk
terlaksananya partisipasi masyarakat dengan baik, diperlukan pengaturan,
pengawasan, dan pengendalian dalam rangka memberikan perlindungan kepada jemaah
haji.
Di samping menunaikan ibadah haji,
setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dianjurkan menunaikan ibadah umrah
bagi yang mampu dalam rangka meningkatkan kualitas keimanannya. Ibadah umrah
juga dianjurkan bagi mereka yang telah menunaikan kewajiban ibadah haji. Karena
minat masyarakat untuk menunaikan ibadah umrah sangat tinggi, perlu pengaturan
agar masyarakat dapat menunaikan ibadah umrah dengan aman dan baik serta
terlindungi kepentingannya. Pengaturan tersebut meliputi pembinaan, pelayanan
administrasi, pengawasan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah, dan
perlindungan terhadap jemaah umrah.
Dalam
rangka mewujudkan akuntabilitas publik, pengelolaan biaya penyelenggaraan
ibadah haji (BPIH) dan hasil efisiensi BPIH dalam bentuk dana abadi umat (DAU)
dilaksanakan dengan prinsip berdaya guna dan berhasil guna dengan mengedepankan
asas manfaat dan kemaslahatan umat. Agar DAU dapat dimanfaatkan secara optimal
bagi kemaslahatan umat, pengelolaan DAU juga dilakukan secara bersama oleh
Pemerintah dan masyarakat yang direpresentasikan oleh Majelis Ulama Indonesia,
organisasi masyarakat Islam, dan tokoh masyarakat Islam.
- 3 -
Dengan
mempertimbangkan hal tersebut di atas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan lbadah Haji dipandang perlu disesuaikan dengan
kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan lbadah Haji perlu diganti agar
lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta memberikan perlindungan
bagi masyarakat yang akan menunaikan ibadah haji dan umrah.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang
dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji
berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak
sewenang-wenang dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Yang
dimaksud dengan “asas profesionalitas” adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji
harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya.
Yang
dimaksud dengan “asas akuntabilitas dengan prinsip nirlaba” adalah bahwa
Penyelenggaraan Ibadah Haji dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak untuk mencari
keuntungan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
|
- 4 -
|
|
Cukup jelas.
|
Pasal 7
|
Pasal 7 . . .
|
|
|
|
Huruf a
|
|
Cukup jelas.
|
|
Huruf b
|
|
Cukup jelas.
|
|
Huruf c
|
|
Cukup jelas.
|
|
Huruf d
|
|
Cukup jelas.
|
|
Huruf e
|
|
Yang dimaksud dengan “kenyamanan”
adalah tersedianya
|
|
Transportasi
dan pemondokan yang layak dan manusiawi.
|
Pasal 8
|
|
|
Ayat (1)
|
|
Cukup jelas.
|
|
Ayat (2)
|
|
Cukup jelas.
|
|
Ayat (3)
|
|
Cukup jelas.
|
|
Ayat (4)
|
|
Cukup jelas.
|
|
Ayat (5)
|
|
Yang dimaksud dengan “satuan
kerja di bawah Menteri”
|
|
adalah satuan
kerja yang mendukung
operasional
|
|
Penyelenggaraan
Ibadah Haji yang bersifat permanen dan
|
|
sistemik di tingkat pusat, di
tingkat daerah, dan di Arab
|
|
Saudi.
|
|
Ayat (6)
|
|
Cukup jelas.
|
|
Ayat (7) . . .
|
- 5 -
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan ”Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi”
adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi dan Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di Jeddah.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penetapan”
adalah penetapan
BPIH setelah mendapat persetujuan
DPR.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
- 6 -
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .
- 7 -
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengelolaan
BPIH dilakukan berdasarkan siklus Penyelenggaraan Ibadah Haji sesuai dengan
kalender Hijriah.
Pasal 22
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “Menteri” dalam hal BPIH disetorkan ke rekening Menteri” adalah
menteri sebagai lembaga yang dalam pelaksanaannya Menteri dapat menunjuk
pejabat di lingkungan tugas dan wewenangnya bertindak untuk dan/atau atas
namanya.
Bank
umum nasional yang dapat ditunjuk menjadi bank penerima setoran BPIH adalah
bank umum yang memiliki layanan yang bersifat nasional dan memiliki layanan
syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal
27 . . .
- 8 -
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan “kuota bebas secara nasional” adalah sisa kuota yang disediakan
bagi Jemaah Haji yang sudah terdaftar dalam daftar tunggu dengan memperhatikan
proporsionalitas kuota provinsi dan kuota Penyelenggara Ibadah Haji Khusus.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “Transportasi” termasuk Transportasi selama di Arab Saudi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal
34 . . .
- 9 -
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “dilakukan oleh Menteri Keuangan” adalah pelaksanaan
pemeriksaan atas barang bawaan oleh pejabat yang diberi otorisasi oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah meliputi, antara lain, persyaratan
Penyelenggara Ibadah Haji Khusus dan sanksi.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal
44 . . .
- 10 -
Pasal 44
Huruf a
Yang
dimaksud dengan ”biro perjalanan wisata yang sah” adalah biro perjalanan wisata
yang telah terdaftar pada lembaga/instansi yang lingkup dan tugasnya di bidang
pariwisata.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup
jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 11 -
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “unsur pemerintah” dapat terdiri atas instansi yang tugas dan
fungsinya berkaitan dengan pengembangan DAU.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup
jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65 . . .
- 12 -
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
No comments:
Post a Comment