Selamat Datang Pada BLOG SYAFA'AT semoga bermanfaat
Home » » Problematika Anak Angkat Dalam Pernikahan

Problematika Anak Angkat Dalam Pernikahan

Problematika yang sering timbul dalam masalah pengangkatan anak dalam pernikahan, terutama bagi anak perempuan adalah ketika sebuah keluarga mengangkat anak, yang tidak melalui sidang di Pengadilan, kemudian dicarikan Akta kelahiran dengan diakui dalam Akta Kelahiran sebagai anak kandung, sehingga semua surat surat tentang administrasi kependudukan dan ijazah akan tertulis anak kandung dari orang tua angkatnya ( meskipun dalam Ijazah tidak secara tersurat berbunyi anak kandung dari, tetapi Nama Orang tiia), ketika akan menikah, dalam penentuan wali nikah menurut Hukum Islam harus dilakukan oleh orang tua kandungnya, sering terjadi problem tarik ulur masalah penulisan orang tua dalam Akta nikahnya, apakah ditulis nama Orang Tua angkatnya sesuai dengan surat surat administrasi kependudukan dan Ijazah yang terlanjur tertulis nama orang tua angkatnya? Ataukah ditulis nama Orang Tua kandungnya.
Penulisan anak angkat kedalam anak kandung dalam Akta Kelahiran dan akta akta outentik merupaksan kesalahan dalam administrasi, yang tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan akibat pidana apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan timbulkan akta dimaksud, hal ini diakibatkan adanya mekanisme yang salah dalam proses adopsi anak yang pada akhirnya akan merugikan anak angkat tersebut.
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Anak angkat masuk kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambilnya, sebagai anggota rumah tangganya (gezinslid), akan tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan turunan bapak angkatnya. Anak angkat di sini telah menjadi bagian keluarga dari orang tua yang mengangkatnya. Sebagai bagian dari keluarga (anak), iapun berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang orang tua seperti yang lainnya serta hak-hak dan kewajiban anak pada umumnya yang merupakan jaminan yang terdapat dalam ketetentuan perundangan yang berlaku. Orang tua angkat/wali yang telah mengangkat seorang anak secara legal formal dan dengan perbuatan hukum tersebut telah mendapatkan hak asuh terhadap anak angkatnya, yang mana mereka tersebut (orang tua angkat/wali dengan anak) memiliki efek kausalitas pada hubungan hokum, hak dan kewajiban hokum yang melekat layaknya orang tua terhadap anaknya dalam komunitas keluarga.
Menurut Peraturan Pemerintah  Nomor 54 Tahun 2007, pengertian Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat ( Pasal 1 butir 2), sedangkan Menurut Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2002, pengertian anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut, ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. (Pasal 1 butir 9), Tujuan Pengangkatan Anak adalah untuk tujuan kepentingan kebaikan anak angkat tersebut dalam rangka melindungi kesejahteraan anak dan perlindungan anak tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Kesejahteraan Anak dan juga sesuai dengan Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 (bagian IV. A.2.2.2.) kemudian Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 39 ayat (1).
Sifat pengangkatan anak menurut peraturan perundang undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :
1.      Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum. (Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak).
2.      Pengangkatan anak adalah untuk melindungi kepentingan anak (Pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak); dan Pasal 39 ayat (1), (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jo dan Pasal 5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007.
3.      Pengangkatan anak harus menjaga kesamaan agama yang dianut oleh calon anak angkat dan calon orang tua angkat (Pasal 39 ayat (3), Pasal 19 butir d, Pasal 42, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002  Jo. Pasal 3Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007)
4.      Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya (Penjelasan Pasal 12 ayat (1), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 : Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 : Jo. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007). Dari segi hukum ini menimbulkan konsekensi sebagai berikut : 
·       Berlaku larangan perkawinan karna hubungan darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8  Undang Undang nomor 1 Tahun 1974:
a. berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; 
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; 
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; 
d. berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; 
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; 
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) . 
·       Tindak-tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 221 ayat (2), (menyembunyikan keluarga yang melakukan kejahatan),   Pasal 294 ayat (1), Pasal 295 dan Pasal 356 (penganiayaan dalam keluarga) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
·       Pembuktian dengan saksi dalam Pasal 145 dan 146 Reglement Acara Perdata Indonesia yang diperbarui (HIR), serta Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). tentang hubungan saksi dengan para pihak karena keluarga
5.      Kewajiban terbuka kepada anak angkat tentang asal-usul dan orang tua asalnya (UU Perlindungan Anak : Pasal 6 ayat (1) berserta penjelasaannya, Pasal 40 dan Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Pengangkatan Anak.
Dari uraian dan sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada, Setelah permohonan disetujui Pengadilan, maka Salinan yang telah diperoleh ini harus dibawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Sehingga dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam Akta Kelahiran tersebut disamping tertulis Nama Kedua Orang Tuanya juga disebutkan pula nama orang tua angkatnya.
Wali Nikah Bagi Anak  Angkat.
Apabila anak perempuan akan melaksanakan pernikahan, maka yang menjadi wali nikah adalah ayah kandungnya sebagaimana telah diatur dalam aturan Hukum islam tentang pernikahan, hal ini terjadi karena dalam Hukum Islam tidak mengenal Hukum pengangkatan anak secara penuh yang mengakibatkan dengan pengangkatan anak tersebut memutuskan semua hubungan perdata dan hubungan nasab. Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya, namun demikian anak angkat dapat memperoleh pemberian harta dari orang tua angkatnya dalam bentuk selain waris.
Masalah anak angkat ini dalam Al Qur’an dijelaskan dalam Surat Al Ahzab ayat 4-5) yang artinya “Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian….”
Dengan demikian maka apabila seorang anak angkat perempuan akan melaksanakan pernikahan, maka yang menjadi Wali Nikah adalah ayah kandungnya, dan boleh mewakilkan kepada ayah angkatnya untuk menikahkannya. Demikian juga dengan penulisan dalam administrasi pernikahannya, juga harus dicantumkan nama ayah kandung dan Ibu Kandungnya, sebab pencantuman nama orang tua angkat sebagai orang tua kandung dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat surat outentik.
Izin Menikah Anak Angkat Yang Belum Dewasa.
Usia minimal untuk menikah menurut UndangUndang nomor 01 Tahun 1974 adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. yang dirubah dengan UU No 16 Tahun 2019 menjadi Usia minimal untuk menikah laki laki dan perempuan adalah 19 tahun, Tetapi berdasarkan pasal 6 ayat (2) undang undang dimaksud,  keduanya harus mendapatkan izin dari kedua orang tua apabila usianya kurang dari 21 tahun. Hal ini disebabkan  Orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUH Per/BW adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Meskipun perkawinan dibubarkan sebelum mereka berumur 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa, sehingga untuk melangsungkan pernikahan diperlukan izin dari kedua orang tua. Persoalannya adalah untuk anak angkat, siapakah yang lebih berhak untuk memberikan izin bagi pasangan mempelai yang usianya kurang dari 21 tahun?
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, sehingga apabila seseorang yang belum dewasa akan melaksanakan pernikahan, maka yang lebih berwenang memberikan izin menikah bagi yang belum dewasa adalah orang tua angkatnya, adapun yang menjadi wali nikah tetap ayah kandungnya (syaf)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

No comments:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2013. Blog Syafa'at - Semua Hak Dilindungi
Template Modify by Blogger Tutorial
Proudly powered by Blogger